MELAWAN RASA TAKUT

1081 Words
Tetes-tetes air hangat mengguyur otot tubuh Arini yang letih. Ia merasa segar kembali, setelah badannya ditimpa guyuran air shower. Namun, tiba-tiba saja, lampu di dalam kamar mandi mati, membuat ia menjerit kaget dan ketakutan. Matanya terasa perih karena lelehan sampo dari rambut dan juga sabun yang belum sempat ia bilas. Ia berjalan dengan tangan yang meraba-raba mencari bathrobe, yang ada di gantungan dinding kamar mandi. Tangannya menyentuh sesuatu yang terasa dingin, sedingin es. Ia pun menjerit kaget dan untungnya tangannya berhasil menyentuh kain yang ia duga bathrobe. Dengan cepat diraihnya jubah mandi itu dan ia pasang ke tubuhnya dengan tangan yang masih bergetar, karena menahan rasa takut. Kembali, ia meraba-raba dinding kamar mandi dan dapat dirasakannya sesuatu yang dingin berhembus di telinganya. Ia pun harus menahan sekuat hati rasa takutnya, Arini bertekad harus ke luar secepatnya dari dalam kamar mandi dan menghindari apapun yang terasa dingin dan berhembus dekat dengan telinganya tadi. Saat ini, ia berharap semoga saja lampu kamar mandi kembali menyala. Diusapnya lelehan sabun dan shampo di wajahnya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya, ia gunakan untuk meraba kembali, dinding kamar mandi mencari pintu. Akhirnya, tangannya pun berhasil juga memegang gagang pintu kamar mandi dengan cepat ia memutar gagang pintu dan berjalan ke luar. Ternyata lampu di luar kamar mandi tidak mati, “Akh, mungkin bohlam lampu di dalam kamar mandi putus,” gumam Arini dalam hati. Jumi keheranan melihat Arini yang ke luar dari kamar mandi dengan busa sabun dan shampo yang masih menempel. “Kenapa Kamu ke luar dari kamar mandi dengan tubuh yang masih ada busa sabun?” tanya Jumi kepada ku. “Saat Aku mandi tadi, tiba-tiba saja bohlam lampunya mati dan ada sesuatu yang sedingin es tersentuh oleh tanganku. Aku juga dapat merasakan hembusan napas di telingaku,” sahut Arinj. Ia lalu mengajak Jumi untuk melihat kamar mandi dengan emergency lamp. Keduanya beriringan menuju ke kamar mandi, dengan tangan yang bergetar karena gugup dan takut Arini membuka pintu kamar mandi. Cahaya yang berasal dari lampu emergency menerangi kamar mandi. Mereka pun mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar mandi, tidak ada apapun. 'Lalu apa yang tadi kusentuh begitu dingin dan sesuatu yang terasa berbisik di telingaku.' gumam Arini pelan. “Aku akan mandi lagi, lampu emergency nya biar tetap di sini,” kataku kepada Jumi. Ia lalu ke luar dari kamar mandi. Tunggu, Aku baru tersadar, tidak hanya lampu kamar mandi saja yang mati, tetapi air shower juga ikutan mati. Sementara lampu di luar tidak mati. “Akh, mungkin tadi showernya macet,” terang Arini, kebingungan. Arini pun melangkahkan kakinya menuju shower dan diputarnya, air dengan suhu yang panas mengenai kulitku. Membuatku terpekik kesakitan dengan capat kuputar shower dengan suhu hangat. Kuabaikan rasa heranku. Aku hanya mau cepat menuntaskan mandiku. Kulepaskan bathrobe yang kupakai dan kembali berdiri di bawah air pancuran. Dengan cepat kubilas tubuhku, khawatir kalau kembali mati air showernya. Selesai mandi kuambil bathrobe milikku yang tadi ku gantung. Aku kemudian ke luar dari kamar mandi, kubiarkan emergency lamp tetap di dalam kamar mandi. Kuhampiri Jumi yang masih duduk di ruang tengah menunggu gilirannya untuk mandi. Namun, Aku melihat keanehan pada diri Jumi. Tatapan matanya terlihat kosong dan raut wajahnya juga seperti orang yang bengong. Kusentuh pundaknya pelan, Jumi terlonjak kaget. Ditatapnya Aku dengan tajam dan mata yang melotot marah. Aku menjadi takut ditatap seperti itu, “Aku sudah selesai mandi, Kamu bisa pakai kamar mandinya,” ucapku dengan tergagap melihat tatapan marahnya. Ia berdiri tanpa menyahut ucapanku dan berjalan menuju kamar mandi. Tak ingin memikirkan keanehan tingkah Jumi, Aku segera masuk ke dalam kamar ku untuk menuntaskan kewajibanku sebagai seorang muslim. Selesai sholat, Aku segera menuju dapur untuk membuat makan malamku, cacing-cacing diperutku demo minta diisi. Aku tidak perduli apakah Jumi sudah selesai mandi atau belum. Wangi aroma masakanku memenuhi dapur kost kami yang sempit. Aku hanya membuat menu makan malam yang sederhana, nasi goreng telur ceplok. Kuambilkan nasi ke dalam piring untuk ku dan juga untuk Jumi. Aku yang awalnya cuek saja dengan sikap Jumi, menjadi kesal. Perut ku sudah meronta minta diisi, sementara Jumi belum juga masuk ke dapur untuk kami makan bersama. Aku tidak mungkin makan sendiri dan meninggalkannya. Dengan langkah kaki yang dihentak untuk menunjukan rasa kesalku kepada Jumi, Aku menghampiri Jumi. Pertama kudatangi kamar mandi, mungkin saja Jumi masih mandi, tetapi pintu kamar mandi terbuka. Tidak mungkin Jumi mandi tanpa menutup pintunya. Aku berbalik menuju kamar Jumi yang letaknya bersebelahan dengan kamar Jumi, kuketuk pintunya 3 kali, tetapi tidak ada sahutan. Mungkin Jumi sedang sholat, pikirku. Ku buka pintu kamarnya dan kulongokkan kepalaku, tidak ada Jumi. “Kemana dia?, aneh sekali” gumamku. Kali ini Aku melangkah menuju ruang depan, tempat yang tadi kami duduki. Namun, sesampainya di ruang depan tak kulihat jua keberadaan Jumi. Keningku berkerut dan rasa khawatir hinggap di hati ku. Ada apa dengan Jumi, tidakkah Ia merasa lapar, seingatku saat di kampus tadi Aku dan Jumi hanya menikmati soto di kantin kampus dan itupun sudah lama sekali. Mata ku menangkap pintu kost kami yang terbuka, seketika ketegangan kembali melandaku. Kutekan rasa takutku untuk mencari keberadaan sahabatku Jumi. Kulangkahkan kaki ku ke arah pintu. Lampu teras yang terang memudahkan ku untuk memindai sekeliling teras, tidak ada Jumi terlihat dan juga tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Aku melangkah ke luar menuju teras dengan hati yang berdebar, handphone milikku ada di tangan. Ku coba menghubungi nomor Jumi, semoga saja Ia membawa handphone miliknya dan memberitahukan keberadaannya kepadaku. Namun, meski berulang kali menghubungi Jumi, hanya nada dering yang terdengar. Meski takut, Aku tetap berjalan ke luar hingga ke halaman kost kami. Letak kost kami terpisah tembok dan pepohonan dengan rumah-rumah lain. Suara gemerisik dedaunan yang saling bergesekan tertiup angin dan sesekali suara lolongan anjing membuat rasa takutku semakin bertambah. Seandainya Jumi bukan sahabatku, takkan ku mau mencarinya. Aku terus melangkahkan kaki semakin jauh dari kost-an kami, sambil berteriak memanggil nama Jumi berulangkali. Namun, hanya suara angin dan jangkrik sebagai jawaban teriakan ku memanggil nama Jumi. Kaki ku sudah lelah melangkah menyusuri jalanan setapak mencari keberadaan Jumi, lampu penerangan jalan yang remang-remang menjadi penerangku, tanpa ada sinar bulan untuk mencari keberadaan Jumi. Langit gelap dengan awan yang pekat, menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Perutku berbunyi nyaring minta diisi, tetapi kuindahkan. Aku lebih mencemaskan keadaan sahabatku dibandingkan mengisi perutku. Aku mengambil sepotong kayu kering yang tergeletak di tanah. Ku pegang dengan erat kayu itu di tangan kanan. Bayangan daun yang bergerak-gerak, terkena pantulan cahaya hampir membuatku berteriak. Kupegang dadaku untuk menghentikan debarannya yang terasa kencang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD