Wanna Her Back

1187 Words
Berjaga semenjak dari jam 2 pagi tidak serta merta membuat Rinjani mengantuk. Hanya saja tubuhnya terasa lelah di beberapa bagian. Sehingga membuatnya tetap memiliki keinginan untuk menyambung tidur yang belum terpuaskan tepat sebelum ponselnya kembali bergetar, lalu sejumlah pesan teks memenuhi notifikasinya. Rinjani menghela napas panjang, satu per satu dibacanya pesan tersebut. Meski berasal dari nomor yang berbeda, tetapi isi pesan yang disampaikan hanya satu. Yaitu permintaan agar Rinjani segera melakukan pembayaran atas segala utang yang ia miliki. “Kenapa?” tanya Akila dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. “Muka lo masam banget?” Rinjani melirik sebentar. “Suggar daddy-nya susah dihadepin?” Rinjani menggeleng. Kemudian ia menunjukkan layar ponselnya ke hadapan Akila. “Oh,” lirih Akila. “Lalu wanita itu kembali memejamkan matanya. “Lo mau pake duit gue?” “Emang lo ada?” “Nggak,” jawab Akila meskipun matanya sudah kembali terpejam. “Tapi gue bisa pinjemin ke nyokap.” “Nggak usah,” kata Rinjani. “Gue masih ada duit.” Lalu percakapan mereka terhenti sampai di sana. Mungkin karena kantuk lebih kuat untuk dilawan Akila, bisa juga karena Rinjani sudah mengambil kertas untuk merincikan semua keuangannya. * “Sebenernya lo dapet berapa dari private?” tanya Akila ketika mereka tengah menikmati makan malam di salah satu restaurant mewah di kota Bogor. Sebut saja mereka tidak tahu diri, tapi rencana untuk mencicipi makanan di tempat mahal seperti ini sudah lama mereka niatkan. Jadi meski keadaan cukup sulit untuk Rinjani, ia tidak mungkin melewatkan momen langka ini. “Dia ngeliatin elo dari tadi,” ujar Akila pelan. “Siapa?” “Cowok.” Akila berhenti sebelum melanjutkan perkataannya, “Or should I say that one is a man?” “Siapa sih?” tanya Rinjani enggan menolehkan kepala. Menikmati makanan lezat lebih menggoda disbanding harus memutar kepalanya untuk menemukan sosok yang tengah dilihat oleh Akila. “Nggak tau,” jawab Akila. “Tapi dia ngeliat ke arah sini dari tadi dan kalo gue bener, dia natap tajam banget.” “Hm.” Rinjani bergumam kecil. Pikirannya belum bisa dialihkan dari sajian yang ada di hadapannya. “Lo punya utang sama dia?” Akila masih bertanya. “Hah?” Kali ini Rinjani tertarik, dengan tidak terlalu menarik perhatian ia memiringkan sedikit tubuhnya untuk mengikuti arah pandangan Akila. Kemudian terdiam lantaran melihat Adam yang tengah menghunusnya dengan sorot tajam. “Salah satu orang tua siswa gue.” Rinjani tidak berminat untuk menatap Adam lama-lama. “Di Victory?” “Ya.” “Oh,” gumam Akila. “Dia pergi.” Akila bisa jadi tidak melihatnya, tetapi Rinjani menghembuskan napas lega. Jujur, ia merasa terintimidasi oleh alasan yang tidak jelas hanya kerena ditatap Adam. Padahal pria itu tidak berbicara, tidak juga duduk di hadapannya. “Jadi dapet berapa dari privat?” Seolah baru teringat ia memiliki pertanyaan yang belum dijawab, Akila kembali bertanya. “Tujuh something. Gue nggak tahu persis. Nggak pernah ngitung juga.” “Lo harusnya ngitung biar jelas. Pemasukan sama pegeluaran setiap bulan itu udah harus lo perhatiin.” “Disampein sama orang yang nggak pernah sadar udah check out barang di online shop?” ledek Rinjani. “Udah deh, Kil. Nasehat dari lo tentang keuangan mental semua di gue.” Akila terkekeh. Ia memang setidak sadar diri itu. Sebagai mahasiswa yang diberi uang saku setiap bulan, ia sama sekali tidak pernah merasa rugi kalau sudah menghamburkan rupiah. Di dalam benaknya sudah terpatri jika ia bisa langsung meminta kepada orang tuanya jika sewaktu-waktu kekurangan uang. Dengan kesadaran seperti itulah ia selalu memesan sesuatu di online shop, kemudian terkejut sendiri ketika menerima pesanannya datang. “Kalau untuk hidup gue sehari-hari, harusnya bisa dengan uang segitu,” ujar Rinjani. “Tapi gue kan punya utang, jadi mau nggak mau gue harus dapat kerjaan baru.” “Sekarang siswa privat elo ada berapa?” “Kalau yang di sini ada dua. Senin, Selasa, Kamis sama Jumat gue ke rumah mereka. Di luar negeri ada satu. Les setiap Rabu, Minggu jam 2 malem, karena perbedaan waktu.” Akila berhenti mengunyah. Matanya menelusuri tubuh Rinjani dengan cepat. “Tubuh lo sekuat apa sih, Rin?” Rinjani mengedikkan bahu. “Baja mungkin.” Akila menghela napas Panjang. “Gue yang traktir deh ini makan.” “Emang lo ada duit?” “Nggak.” “Oke.” * Adam sudah bosan mendengarkan penjalasan dari wanita tua yang memiliki postur tubuh lumayan berisi tersebut. Sementara di samping si wanita ada seorang perempuan yang bahkan tidak berani menatap matanya. Beberapa orang dewasa duduk di belakang Adam dengan kursi plastik yang sama dengan yang ia duduki saat ini. Dan ia tidak perlu menjadi jenius untuk menyimpulkan kalau mereka adalah sekelompok orang tua yang tengah menunggu anaknya selesai les. “Sekali lagi kami minta maaf atas kesalahpahaman ini, Pak.” Kalau bisa, Adam sudah menghela napasnya dari tadi. Berbicara dengan orang yang ia tidak tahu Namanya ini terlalu melelahkan. Salah paham, katanya? Nenek-nenek yang sudah buta pun tahu kalau tidak ada kesalapahaman di sini. Permasalahannya hanya satu. Bahwa mereka tidak jujur tentang puterinya, Himalaya. “Saya mau anak saya keluar dari sini,” kata Adam dengan tegas. “Tapi, Pak. Sayang sekali, Himalaya baru bergabung.” Si wanita berkata lagi. “Dan Bapak sudah bayar, sementara Himalaya baru ambil tiga kali pertemuan.” Sekarang Adam ingat dengan siapa ia berbicara. Adalah Hanum nama administrasi tersebut. “Saya tidak masalah dengan itu. Dan saya rasa itu bukan urusan, Anda.” Hanum tampak membuka bibir, tetapi langsung menutup kembali dan hanya mengangguk. “Baik, Pak. Kalau begitu, Himalaya mulai hari ini kami non-aktifkan.” Adam berdiri. Tidak mengucapkan terima kasih, tidak juga menjabat tangan Hanum. “Selamat siang,” ujarnya. * Adam melonggarkan ikatan dasinya sebelum menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Sudah hampir seminggu dan puterinya selalu merengek untuk datang ke Victory. Padahal dalam lima tahun kehidupan sekolah Himalaya, entah itu terapi maupun sekolah untuk bayi, Himalaya belum pernah merasakan ketertarikan untuk datang ke tempat belajarnya seperti ini. Ponselnya bergetar dan Adam langsung membuka chat yang masuk. Kemudian ia kembali menghembuskan napas kasar. Beberapa tempat ia datangi untuk trial class selama beberapa hari terkahir. Mereka semua berada jauh di atas Victory, tetapi tidak satu pun dari mereka yang memberikan keterangan bahwa Himalaya perlu beradaptasi. Adam hanya mendapatkan laporan bahwa Himalaya sangat baik dan penurut, menurut mereka Himalaya cocok untuk belajar di tempat mereka. Suatu kebohongan yang Adam rasa hanya untuk menarik minatnya untuk memasukkan Himalaya les di sana. Mereka ingin menaikkan jumlah siswa, tapi Adam rasa akan lalai tentang perkembangan siswa. “Himalaya tidak belajar sama sekali.” Tiba-tiba ucapan Rinjani terngiang di kepalanya. “Saya tidak memiliki kemampuan untuk mengajar Himalaya. Memaksanya berada di bawah bimbingan saya akan percuma. Himalaya tidak akan mendapatkan perkembangan yang berarti.” Hanya perempuan itu yang berani berterus-terang kepadanya. Namun Rinjani memilih menolak Himalaya dan bahkan resign dari Vitory. Emosi Adam tidak akan memuncak kalau dia tidak menemukan perempuan itu tengah berlibur ke kota Hujan dan terlihat santai sambal menikmati makanan. Berani-beraninya! Sebut saja ia gila, tetapi Adam pasti menginginkan Rinjani untuk menjadi guru Himalaya. Dan akan ia pastikan hal tersebut menjadi nyata.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD