Rasa Bersalah

1410 Words
Rangga menunggu dengan gelisah. Ia terus berjalan mondar-mandir; beberapa kali mengusap kepalanya gusar. Sore itu, ia mendapat kabar kalau ibunya mengalami kecelakaan, korban tabrak lari. Dan di sinilah ia sekarang, di rumah sakit menunggu ibunya yang tak kunjung siuman. “Rangga, kamu makan dulu, gih. Biar ayah yang jaga Ibu,” ujar ayahnya yang merasa khawatir melihat anak semata wayangnya. “Aku nggak lapar, Yah,” sahut Rangga malas, ia sama sekali tidak nafsu makan. Yang ia inginkan hanyalah melihat ibunya siuman. Ia terlihat begitu cemas dan ketakutan. Takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada wanita yang paling berharga dalam hidupnya. Baginya, wanita yang kini tengah terbaring tanpa daya di dalam ruangan itu adalah segalanya. Ia bahkan tak bisa membayangkan jika ia harus hidup tanpa sang ibu. “Nak Rangga?” Sebuah suara yang terdengar familier menginterupsi Rangga, ia pun menoleh. “Mang Hajar?” tanya Rangga memastikan. Dan memang benar, itu adalah Mang Hajar, penjaga kebersihan di sekolahnya. “Sedang apa di sini? Ada keluarga yang sakit?” tanya Mang Hajar. “Iya Mang, ibu saya,” jawab Rangga. “Amang sendiri sedang apa di sini?” “Oh, ini anak Mamang juga lagi dirawat. Ibunya kenapa?” tanya Mang Hajar lagi. “Ibunya kena musibah, Pak.” Kali ini ayahnya yang menyahut. Mang Hajar pun mengangguk-angguk prihatin dan mendoakan kesembuhan untuk ibu Rangga. Lalu, seolah teringat, Mang Hajar kembali berujar, “Oh iya, pantas saja Neng Dhira tadi sendirian. Kasihan dia, sudah malam begini.” Mendengar penuturan Mang Hajar, Rangga tersentak. Dhira? Astaga! Seolah tersadar, ia segera membuka ponsel dan ternyata ada pesan dari Pak Adi yang memberitahunya untuk menyelesaikan mengecat dinding besok jika mereka belum selesai. Pesan itu dikirim pukul empat sore. Sial. Kenapa aku bisa melupakannya!? Rangga pun mencoba menghubungi Dhira, namun nomornya tidak aktif. Rangga menggeram frustrasi. Ia yakin gadis itu masih ada di sekolah, mengerjakan semuanya sendirian. Ia tahu betul orang seperti apa gadis itu. “Ayah, aku pergi dulu sebentar. Aku melupakan sesuatu,” pamit Rangga pada ayahnya. Setelah diberi anggukan, ia pun langsung pergi dan melesat dengan motornya. Sekitar lima belas menit, ia sampai di sekolah. Dugaannya benar, Dhira masih di sana dan hendak pulang. Rangga nampak sangat terkejut karena Dhira telah menyelesaikan semuanya. Dhira melihat Rangga yang terpaku, ia menatapnya tak acuh lalu melewatinya begitu saja. “Ra!” Rangga memanggilnya, namun Dhira tak menggubris. Ia nampak kelelahan. Bagaimana tidak? Dia mengerjakan semuanya sendirian dan itu bukanlah pekerjaan yang ringan. “Aku minta maaf,” ucap Rangga tulus. Ia nampak merasa bersalah. Seharusnya, sejak awal aku tidak melakukan ini. Rangga membatin. Dhira berhenti, namun enggan berbalik. Rangga beralih ke hadapannya takut-takut. Apalagi ketika mendapati tatapan sinis dari teman sekelasnya itu. “Ra, aku benar-benar minta maaf. Tadi akuㅡ” “Minggir,” tukas Dhira pelan dan tegas. Menatap Rangga tajam. Rangga terkesiap. Ini pertama kalinya ia melihat Dhira seperti saat iniㅡterlihat begitu membencinya. Rangga tak membantah, ia pun memberikan jalan pada Dhira. Namun saat melewatinya, Dhira oleng dan hampir jatuh pingsan jika saja Rangga tak menahan tubuhnya. “Kamu baik-baik aja, Ra?” tanya Rangga cemas. Ditatapnya wajah Dhira yang tampak pucat. Dhira berusaha bangun dan menepis tangan Rangga. “Jangan sentuh aku,” ucapnya dengan tatapan sinis dan terlihat jijik. “Pergi!” usirnya tegas. Rangga terdiam. Ia tidak mengerti, tapi melihat sikap Dhira seperti ini, hatinya terasa tak nyaman, ada rasa aneh di d**a. Seolah ada yang memelintir hatinya, sakit. Sebegitu bencinyakah kau padaku, Ra? Melihat Rangga yang masih terdiam, Dhira pun memutuskan untuk segera pulang, berjalan meninggalkan Rangga yang termangu. Jarak ke rumahnya tidak terlalu jauh, ia terbiasa berjalan kaki saat pulang. Hanya melewati beberapa g**g. Namun saat malam hari, g**g itu akan ramai, banyak pria yang mabuk-mabukan. Rangga mengikuti Dhira dengan motornya. Menjalankannya sepelan mungkin. Saat ia melihat para pria pemabuk hendak menghampiri Dhira, ia pun melajukan motor agar sejajar dengan Dhira hingga pria-pria itu pun tidak jadi mengganggunya—karena melihat Rangga. “Naiklah, aku akan mengantarmu pulang sebagai permintaan maafku. Di sini berbahaya,” ucap Rangga ketika berhasil menjajarkan motornya dengan Dhira. “Jangan ikuti aku. Aku bisa jalan sendiri,” tolak Dhira ketus. Padahal raut ketakutan itu begitu jelas di wajahnya. Dhira kembali berjalan dan Rangga masih mengikutinya. Ia tidak mau terjadi apa-apa pada gadis itu. “Sudah kubilang jangan ikuti aku! Apa kamu tuli?” bentaknya kesal pada Rangga. “Aku akan mengantarmu sampai rumah,” ucap Rangga kekeh. Ia tidak akan membiarkan gadis itu pulang sendirian. “Terserah!” tukas Dhira lalu kembali berjalan. Jalannya pelan dan agak sempoyongan, terlihat akan jatuh beberapa kali. Rangga menatapnya cemas, tapi ia tak bisa memaksanya. Akhirnya, mereka sampai di depan rumah Dhira. Rangga masih memperhatikan Dhira, memastikan gadis itu masuk ke rumahnya dengan selamat. Namun, setelah Dhira masuk ke halaman rumahnya, tiba-tiba ia ambruk. Rangga begitu terkejut dan berniat menolongnya, namun ia berpikir dua kali saat akan masuk gerbang. Ia akan membuat Dhira dalam masalah jika masuk dan membantunya. Ia pun mengurungkan niat dan menekan bel, berharap ada yang keluar—siapa pun itu. Seorang pembantu keluar dan segera memanggil tuan rumahnya­—sedikit histeris—saat melihat Dhira tergeletak di tanah. Tidak lama dua orang paruh baya pun keluar, menghampiri Dhira yang tergeletak tak berdaya. Lalu membawa anak gadis mereka masuk. Kini Rangga bisa bernapas lega karena sudah melihatnya sampai dengan selamat. Walau ialah yang telah membuatnya sampai seperti itu. “Maafin aku, Ra ....” Ponsel di saku Rangga berbunyi tanda panggilan masuk, ia pun segera menjawab panggilan tersebut. “Ya?” Mendapat kabar bahwa ibunya kembali kritis, ia pun segera kembali ke rumah sakit. Secepat yang ia bisa. Tuhan, selamatkan ibuku. Pintanya sungguh-sungguh dalam hati. *** Dhira masuk sekolah di hari berikutnya, karena ia harus istirahat untuk memulihkan tenaganya. Di depan sekolah, ia berpapasan dengan Rangga, namun ia tak berniat untuk berbicara atau sekadar menyapanya—hanya melewatinya begitu saja. Rangga pun tidak terlalu menggubris. Tidak seperti biasanya, ia akan mengikuti dan mengganggu Dhira, tapi kali ini tidak. “Dhiraa! Aku seneng banget kamu masuk hari ini. Aku kesepian tahu.” Karen langsung menghampiri Dhira begitu sahabatnya itu tiba di kelas. “Gimana keadaan kamu, Ra? Udah baikan?” tanya Latifah yang juga menyambut kedatangannya. Dhira hanya tersenyum mengiakan. Lantas duduk di bangkunya. Tidak lama, Rangga masuk dan langsung duduk di bangkunya. Semua orang memperhatikannya. Berbisik-bisik entah apa. “Kasihan Rangga ...,” gumam Karen dengan tatapan prihatin. “Emangnya kenapa dia? Bikin ulah lagi?” tebak Dhira ketus. “Ish, kamu ini, Ra!” sergah Karen lalu mulai bercerita, “Dua hari yang lalu, ibunya kecelakaan. Dan kemarin baru saja meninggal. Pasti dia sangat sedih. Dia juga baru masuk sepertimu, Ra.” Penjelasan Karen membuat Dhira terkejut. “Innalillahi wa inna ilahi raji'un. Kapan tepatnya?” “Pas ... sore hari?” jawab Karen mengingat-ingat. Dhira ingat ketika sore itu Rangga pergi begitu saja meninggalkannya, mengharuskan ia mengerjakan semuanya sendirian. Dan ia sudah berburuk sangka pada Rangga. Padahal Rangga menyempatkan menemuinya malam itu, tapi Dhira bahkan tak mendengar penjelasannya. Rasa bersalah menyeruak begitu saja di dadanya. Ia menatap Rangga prihatin, kehilangan seseorang yang berharga, pasti adalah hal sulit. Saat jam istirahat, Dhira berniat untuk meminta maaf padanya. Karena ia pikir, ia sudah keterlaluan. Dhira mencari Rangga dan menemukannya di ruang musik sedang memainkan gitar listriknya sendirian. Ia lantas membuka pintu, namun tidak masuk. Rangga yang menyadari kehadiran Dhira pun menaruh gitarnya sejenak. Menatap Dhira yang berdiri di ambang pintu. “Ada perlu apa? Mau memakiku lagi?” Rangga bertanya sinis. Ia mengira kalau Dhira tidak mengetahui soal ibunya dan hendak memakinya seperti kemarin. Dhira menarik napas sejenak. “Aku ingin meminta maaf. Aku juga turut berduka cita atas apa yang menimpa ibumu. Aku tidak tahu kalau—” “Sudahlah, jangan bahas itu lagi.” Rangga memotong ucapannya. “Aku tahu aku keterlaluan. Maka dari itu aku minta maaf,” ucap Dhira lagi sungguh-sungguh. Rangga beranjak lalu menghampiri Dhira. “Aku tahu. Kalau begitu kita impas,” ucapnya dingin lalu pergi meninggalkan Dhira. Dhira menatap Rangga yang berjalan menjauhi dirinya. Ia merasa ada yang berbeda dari Rangga—entah apa, namun apa pun itu ia tak ingin ikut campur. Dhira kemudian pergi untuk salat dhuha, dan entah kenapa Rangga terus menghantui pikirannya. “Ya Allah, ada apa ini? Apa aku begitu merasa bersalah hingga aku tak bisa menghilangkannya dari pikiranku?” Di sisi lain, Rangga melihat Dhira yang sedang khusyuk berdoa pada Tuhannya lewat jendela. Ia mulai merasa hatinya hampa. Saat ia akan pergi, ia mendengar lantunan indah dari dalam sana—tempat yang biasa Dhira sebut musala. Rangga kembali melihat ke dalam lewat kaca jendela, ia bisa melihat Dhira sedang membaca Al Quran. Suaranya sangat indah dan damai. Rangga bisa merasakan itu, tanpa terasa air matanya jatuh. Rangga bingung, kenapa ia menangis? Padahal ia tak memerintahkan matanya untuk menangis. Ia bahkan tak tahu apa yang sedang dibaca oleh perempuan berjilbab itu. Namun, untuk beberapa alasan, mendengar lantunan indah nan merdu itu membuat hatinya sedih. Kini Rangga berada di atap sekolah, berbaring di atas bangku; menatap langit biru sendirian. Ia memikirkan semua yang terjadi dalam hidupnya. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya. Ya, sebelum ia bertemu Dhira. Perempuan yang berhasil menggoyahkan hatinya. “Tuhan .... Tuhan seperti apa yang ia sembah? Kenapa ia begitu taat pada-Nya? Dhira ... dunia seperti apa yang dijalaninya?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD