ZERO: THE HACKER

1154 Words
Lyon tak jadi menenggak minumannya. Kaleng yang nyaris menyentuh bibirnya, ia letakkan kembali ke atas meja. “Lo ga lagi pengen nasehat dari gue kan?” Ditya terkekeh. Seraya menggeleng, ia membuka kaleng minuman pilihannya. “She's sick, man! Mental illness!” ujar Lyon lagi, tak mampu menahan geramnya. Ditya diam saja, meneguk minumannya beberapa kali, lalu meletakkan kalengnya kembali seraya menunduk lesu. “Dit, bokap gue bipolar. Sampai di tahap yang meresahkan keluarga. Lo sendiri tau kan, kalau bukan karena Daddy Wisnu, bisa-bisa gue udah jadi anak piatu plus putra seorang pembunuh yang bahkan ga pernah ingat saat dia menyiksa anak dan istrinya! Jadi, gue tau banget Dit mana orang yang jiwanya sehat dan mana yang ngga. Lebih dari setengah umur kehidupan gue, gue habiskan dengan orang yang seperti itu.” “I can’t leave her,” lirih Ditya. “Kenapa?” “Because she’s sick!” ketus Ditya, putus asa. “Lalu lo memilih jadi alate? Mendekati cahaya yang bahkan membunuh lo?” Ditya terdiam, tuduhan Lyon terasa tepat sasaran. “Ngga gitu solusinya, Dit. Dia punya keluarga, dan lo punya masa depan. Keluarganya yang bertanggung jawab menjaga dia, bukan lo! Man, lo tuh gelap banget setelah jalanin hubungan sama dia. Lo kehilangan jati diri lo! Lo bener-bener jadi b******n t***l tau ga!” Ditya memilih diam. Ia sangat butuh waktu untuk mencerna omongan Lyon yang penuh dengan kebenaran. Terbiasa hidup dengan kebohongan membuat Ditya takut menghadapi kenyataan. Ditya melepaskan sling bag yang sedari tadi masih menyilang di tubuhnya, membuka resletingnya, lalu merogoh ke dalam penyimpanan kecil itu, mengambil sebuah benda pipih berwarna hitam dengan gantungan tali berwarna emas. “I need your help, bro,” ujar Ditya seraya menyodorkan flash disk yang digenggamnya ke hadapan Lyon. “Ini apa?” “US$ 100 million!” “WHAT THE HELL!” pekik Lyon, sudahlah ia tak butuh adab untuk menyadarkan sahabatnya itu. “Program pemulihan,” ujar Ditya lagi. “Apa?” “DDos, backdoor. Lo pasti paham setelah liat sendiri. Lo yang paling tau kerjaan gue selain bokap.” “Dan duitnya ada di?” “Perusahaanya Bram.” “Lo bener-bener nyari mati Dit! ARE YOU INSANE?” “I am,” lirih Ditya. “Lord, help me!” kali ini Lyon yang ingin menangis. “Tinggal itu pertinggalnya. Kalau umur gue panjang, nanti gue sendiri yang akan ambil dari lo. Tapi kalau ngga, lo hancurin aja disk itu.” “Dit, mau ini disk ada atau ngga, mau dia dapetin ini program atau ngga, he’ll kill you! No matter what! YOU’RE JUST A BUG FOR HIM! Paham lo?” Ditya mengangguk. “Gue udah bilang berkali-kali, tinggalin Viona selagi lo bisa. Harusnya lo tinggalin dia sejak tindakan nekatnya Dit. She’s lunatic!” Ditya kembali terdiam. “Lo dengar gue ga sih?” “Iya, gue dengar. Gue pun udah mulai lelah, Yon.” “Gimana kalau kita acak-acak aja sahamnya? Kita bikin bangkrut? It’s easy for us, man! Dan ga akan ada orang yang tau!” Ditya malah terkekeh. “Bokap gue pasti tau!” ujar Ditya seraya tertawa. Ya, semua hacker di dunia ini punya caranya sendiri untuk meretas berbagai sistem. Jika polanya diketahui, dan identitas hacker tersebut diketahui banyak orang, maka ia adalah peretas yang baik. Tetapi jika tak ada yang mengenalinya kecuali orang-orang yang pernah bekerja dengannya, maka ia adalah hacker yang hebat. Dan Ditya ada di tipe kedua. Hanya beberapa orang yang mengetahui identitasnya; Wisnu sang Ayah, Lyon, dan beberapa orang peretas yang pernah bekerja membobol berbagai sistem bersamanya. Bahkan saat di bangku SMA, Ditya dan Lyon dikenal sebagai pelajar dengan uang saku tanpa limit, bukan dari orang tua mereka, tetapi dari keahliah mereka membobol dan memindahkan saldo dari rekening orang lain ke rekening mereka berdua. Biadab sekali memang! Jika bukan karena terpergok Wisnu dan dengan garangnya sang Ayah menghancurkan komputer milik Ditya dengan pemukul baseball, mungkin Ditya tak akan pernah kapok melalukan kegiatan cybercrime dalam hidupnya. It’s too easy for him. “Gue serius, Dit!” “I know, gue tau lo serius. Tapi gue ga bisa, Yon. Terlebih ngelibatin lo.” “We’re brother, man!” lirih Lyon, memelas. “I know. Justru karena itu.” “s**t! Lo bikin gue putus asa!” “Satu lagi,” ujar Ditya seraya membuka ranselnya, mengeluarkan sebuah laptop dan meletakkannya di atas meja. “Tolong cekin bro. Tinggal dokumentasi dan testing.” “Ini buat apa? Lo bikin spy app buat apa?” “Perasaan gue ga enak. Viona ngikutin Dirga terus, Dirga sekarang sama Kei. Gue takut Kei diapa-apain.” “Oh,” Lyon menanggapi dengan datar. “Kei kita,” ulang Ditya. “Kita?” “Kei. Keinara Andieni Tachsin!” “Oh, my Lord!” lirih Lyon. “Yoi, gebetan kita dulu, man!” “Anjritlah! Sempit bener dunia!” rutuk Lyon seraya berdiri dari tempatnya duduk, berpindah ke meja kerjanya untuk mengerjakan permintaan Ditya. Sementara Ditya sendiri mengusaikan tawa. Ia merebahkan diri, terlelap cepat karena terlalu lelah beberapa hari belakangan. *** Kedua netra Ditya masih terpejam, satu tangannya merogoh masuk ke dalam saku celananya, meraih ponsel yang sedari tadi bergetar di sana. “Hallo?” sapa Ditya, parau. “Dit!” Ditya membuka matanya, menatap layar ponsel yang ia posisikan tepat di hadapannya. Arseno, identitas sang pemanggil. “Ya?” tanya Ditya kembali. “Viona...” “Kenapa Viona?” Ditya spontan terduduk, bangkit dari tidurnya, panik mendengar nada putus asa di balik ponselnya. “Drop. Pendarahan. Sekarang lagi cito.” Ditya terdiam. Mematung. “Dit?” tegur Arseno lagi. “Oke, gue ke sana.” “Oke. Thanks.” “Hmmm!” “Kenapa?” tanya Lyon yang baru saja selesai menyimpan program yang Ditya buat ke dalam beberapa media penyimpanan. “Udah bro?” “Beres! Lo mau pergi?” “Iya!” “Come on, man! Lo baru datang lho!” keluh Lyon. “Sekalian nginstal spy app itu.” “Harus sekarang?” “Viona pendarahan, lagi operasi darurat.” “Pendarahan?” “Kanker rahim.” Lyon mendengus. Terdiam sesaat sebelum mengusap kasar wajahnya. “Gue bikin copy-nya beberapa,” ujar Lyon kembali, tak ingin menanggapi babak terbaru drama Viona yang tak kunjung usai. ‘Perempuan b*****t! Sampai kapan lo bakalan nyiksa Ditya?’ “Sip. Jangan lo jual!” Suara Ditya membuyarkan lamunan Lyon. “YES SIR!” “Thanks Yon!” Ditya menyambar sebuah flash disk dan dua buah OTG setelah memasukkan laptopnya kembali ke dalam ransel. Berjalan tergesa keluar dari gudang, turun ke lantai bawah, lalu berlanjut kembali masuk ke bangunan utama menuju pintu keluar. “Astrid?” “Nanti gue sampein lo balik.” “Begitu urusan beres, gue ke sini lagi.” “Yoi! Gue tagih janji lo!” Lyon menarik Ditya, memeluknya erat. “Listen man! Leave her! Please.” Ditya tersenyum, menangkup wajah Lyon sesaat, berbalik, melangkah meninggalkan sahabatnya yang menatap punggung Ditya dengan kedua netra berkaca-kaca.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD