Bab 3. Jeremia Rodriguez

1953 Words
Jeremia berdiri di depan cermin, gadis itu sedang menyisir rambut cokelat sepunggungnya, dengan tatapan yang entah kemana. Sehingga yang melihatnya akan ragu, apakah Jeremia sedang menyisir rambutnya atau hanya berdiri di depan cermin sambil melamun? Bibir mungil Jeremia mengulas senyum. Entah kenapa rasanya dua hari ini sangat menyenangkan di sekolah. Biasanya dia tidak terlalu menyukai hari-harinya selama kegiatan belajar, sekarang dia justru sangat menantikannya. Bahkan rasanya tak sabar untuk kembali sekolah besok. Seandainya saja dia dapat membuat malam lebih pendek, mungkin dia akan melakukannya. Dia ingin cepat-cepat pagi agar dapat kembali ke sekolah dan bertemu dengan pemuda itu lagi. Pemuda yang dua hari yang lalu bertabrakan dengannya saat di tikungan koridor sekolah mereka. Siapa namanya, Jeremia lupa. Dia belum pernah bertemu dengan pemuda itu sebelumnya, baik di sekolah apalagi di luar sekolah. Sepertinya pemuda itu murid baru. Tapi Jeremia tak perduli pemuda itu murid baru atau bukan, satu yang pasti pemuda itu sudah melukiskan warna di hidupnya yang dulunya abu-abu. "Not sleep yet?" Jeremia tersentak kemudian menoleh mendengar pertanyaan itu. Sedikit terkejut melihat ayahnya sudah duduk di belakang meja belajarnya. Jeremia menggeleng. "Belum, ayah," jawabnya sambil tersenyum manis. "Aku belum mengantuk." Jeremia meletakkan sisir kembali ke tempatnya. Gadis itu memutar tubuh, duduk membelakangi cermin menghadap sang ayah. "Tidak ada pekerjaan rumah?" tanya sang ayah lagi. Jeremia menggeleng lagi. "Tidak ada untuk hari ini. Pekerjaan rumah yang akan dikumpulkan besok sudah aku kerjakan kemarin malam. Armando Rodriguez mengangguk pelan. Senyum bangga menghiasi bibir pria berusia empat puluh empat tahun itu. Putrinya sudah tumbuh menjadi gadis yang pintar dan penurut. Kecantikan almarhumah istrinya menurun pada putri mereka, Isabelle pasti bangga. Jeremia tak pernah membantah perkataannya, sedikitpun. Jeremia selalu menuruti apa yang dikatakannya. "Baiklah, sayang. Kalau begitu ayah tidur lebih dulu." Armando berdiri. Melangkah ke arah putrinya yang juga ikut berdiri. Mengecup kening Jeremia sebagai ucapan selamat tidur. "Besok ayah ada pekerjaan dan harus ke kantor pagi-pagi." Jeremia mengangguk. "Kau jangan tidur terlalu malam. Ingat, besok sekolah." Sekali lagi Jeremia mengangguk. "Iya, ayah," sahut Jeremia. "Aku akan tidur sebentar lagi." Tentu saja Jeremia akan tidur cepat malam ini, dia ingin cepat-cepat pagi dan pergi ke sekolah. "Selamat malam, sayang," ucap Armando di depan pintu kamar Jeremia yang dibukanya. "Tidur yang nyenyak." Jeremia mengangguk lagi. "Mimpi indah," sambung Armando sebelum benar-benar keluar dari kamar putrinya. Jeremia langsung berlari menuju tempat tidur. Setengah melompat Jeremia menaiki tempat tidur besarnya. Berbaring dan memejamkan mata. Hanya sekejap, mata indah kembali terbuka. Jeremia lupa kalau dia belum berdoa. Segera gadis itu bangun, kedua tangannya saling menggenggam di depan d**a, matanya terpejam rapat. Kira-kira sepuluh menit kemudian Jeremia menyelesaikan doanya. Gadis itu kembali berbaring. Menarik selimut sebatas d**a, Jeremia tersenyum. Dia sudah berdoa yang baik-baik tadi, juga berdoa agar mimpinya indah malam ini. Tak ketinggalan berdoa semoga besok dia bisa bertemu atau paling tidak bisa melihat pemuda itu lagi. Syukur kalau bisa lebih. Jeremia memejamkan mata. Lagi-lagi senyum menghiasi bibir peach-nya. Bayangan pemuda asing itu hadir lagi saat matanya terpejam. Ini yang kedua, yang pertama adalah tadi malam. Jeremia tak akan melupakan tubrukan tubuhnya dengan pemuda itu. Tubuhnya terasa panas saat itu, bahkan rasanya sampai ke wajah. Untung saja dia harus memunguti buku-bukunya yang jatuh berserakan gara-gara tabrakan, sehingga dia bisa menyembunyikan wajahnya yang sudah pasti merona. Sebenarnya dia bingung dengan reaksi tubuhnya saat itu. Dia sudah sering bertabrakan, baik yang tidak sengaja atau sengaja. Orang-orang iseng itu berpura-pura tidak sengaja menabraknya. Bukan sekali dua kali, tapi tubrukan dua hati yang lalu terasa lain. Seolah hatinya sudah tertarik, padahal dia belum melihat wajah orang yang menabraknya. Jeremia hanya bisa tersenyum manis untuk menutupi kegugupannya, apalagi saat mata mereka bertemu. Rasanya dia tenggelam di samudra biru mata itu. Ingin Jeremia menyambut uluran tangan pemuda itu, tapi sayang Kimberly terlebih dahulu memanggilnya. Dia dan teman-temannya memang buru-buru waktu itu, mereka hampir terlambat. Perkenalan jeremia dan pemuda itu tertunda. Bahkan jeremia tidak tahu nama pemuda itu, padahal pemuda itu menyebutkan namanya sewaktu mengulurkan tangan. Hanya saja dia tak terlalu mendengarnya. Jeremia hanya mendengar pemuda itu menyebut 'Dan'. Apa nama pemuda itu Dan? Jeremia bisa saja mencari tahu tentang pemuda itu. Cukup mudah baginya, karena hampir seluruh siswa di sekolahnya pasti akan membantu. Mereka tidak akan menolak untuk membantunya. Tapi rasanya sangat memalukan, juga agak tidak pantas. Tidak ada sejarahnya seorang Jeremia yang merupakan ratu sekolah mencari tahu tentang murid baru. Tidak. Tidak. Dia tidak akan melakukannya. Tapi dia sangat ingin tahu nama murid baru itu. Jeremia sangat menyukai rambut pirangnya yang berkilau. Seperti saat makan siang tadi. Rambut pirang pemuda itu yang membuatnya kalau mereka sama-sama berada di kantin. Pemuda itu duduk bersama Gareth dan teman-temannya yang tidak populer. Sayang sekali. Apalagi mata biru pemuda itu, mata biru itu adalah bagian favoritnya. Jeremia serasa tenggelam saat menatapnya. Rasanya sangat sulit bernapas saat mereka bertatapan. Jeremia menggigit bibir. Mengingat pertemuan-pertemuannya dengan pemuda itu membuat pipinya memanas. Jeremia membuka matanya, tersenyum malu, kemudian kembali memejamkan mata. Meskipun matanya terpejam rapat tapi kenapa rasanya masih malu saja. Jeremia menarik selimut sampai menutupi kepala dan berharap mimpi segera menjemputnya. . . . . . . . . . . Sinar matahari menelusup masuk melalui celah gorden yang dibuka. Jeremia masih betah bergelung dalam selimut tebalnya. Sudah beberapa kali asisten rumah tangga yang bertugas membersihkan kamar Jeremia membangunkan gadis itu, tapi nona mudanya tetap tak mau bangun. Asisten rumah tangga yang masih seusia Jeremia itu menyentuh bahu nona-nya, mencoba membangunkan Jeremia sekali lagi. "Nona, bangun nona." Sophie mengguncang lembut bahu Jeremia. "Sudah pagi." Hanya suara lenguhan pelan keluar dari mulut Jeremia, tak ada gerakan sama sekali yang menandakan Jeremia akan bangun. Sophie, si asisten rumah tangga muda menggeleng pelan. Gadis itu menghela napas. Sekali lagi Sophie mencoba membangunkan Jeremia. Walaupun nanti akan kena damprat atau lebih buruknya kena marah nona mudanya, Sophie harus tetap melakukannya. Sophie tak ingin nona mudanya terlambat ke sekolah. "Nona, bangunlah. Anda nanti akan terlambat ke sekolah." Mendengar kata sekolah, Jeremia yang matanya masih terpejam rapat langsung bangun. Sampai-sampai Sophie yang duduk di sisi tempat tidur Jeremia uang kosong terkejut. Sophie mengelus dadanya. "Astaga, nona, jangan membuat saya jantungan. Saya tak ingin mati muda, saya belum menikah, nona," ucap Sophie panjang lebar. Jeremia memutar mata mendengar 'petuah pagi' Sophie. Jeremia menguap lebar seraya mengucek mata. "Jam berapa sekarang?" tanya Jeremia. Gadis itu turun dari tempat tidurnya. "Jam setengah delapan, nona," jawab Sophie sopan. Sophie merapikan tempat tidur Jeremia yang berantakan setelah ditinggal pemiliknya. "Apa?" Jam setengah delapan? Apa dia tidak salah dengar? Jeremia membelalak ngeri. Dia harus cepat-cepat menyelesaikan rutinitas paginya atau akan terlambat. Jarak rumahnya dengan sekolah tidak sedekat jarak rumah Kimmy. Kalau Kimmy hanya membutuhkan waktu lima menit ke sekolah menggunakan mobilnya, Jeremia tiga kali lipat. "Dasar Sophie, kenapa kau tidak membangunkanku lebih cepat!" gerutu Jeremia sambil kakinya melangkah menuju kamar mandi cepat. "Kalau begini aku bisa terlambat!" Sophie kembali menggeleng kecil mendengar gerutuan itu, dia sudah terbiasa. Jeremia memang seperti itu, padahal sebenarnya Jeremia sangat baik. Sering nona mudanya itu memberikannya barangnya yang sudah tidak terpakai dengan kondisi yang masih sangat bagus. Beberapa kali juga Jeremia membelikannya barang-barang baru. Katanya saat melihat barang itu nona mudanya ingat padanya, jadi membelikannya barang yang sangat mahal baginya. Sophie terperanjat saat mendengar suara pintu yang ditutup keras. Sekali lagi Sophie mengelus d**a, melanjutkan pekerjaannya setelahnya. *** "Dari mana saja kau? Kelas akan segera dimulai!" Pertanyaan Kimmy menyambut kedatangan Jeremia yang nyaris terlambat pagi ini. Mengacuhkan Kimmy, Jeremia meletakkan buku-bukunya di meja yang sudah disediakan teman-temannya untuknya. Setelah itu duduk dengan napas terembus keras. "Jeremia..." Jeremia mengangkat tangannya setinggi d**a untuk memotong ucapan Kimmy. Sudah cukup dia merasa kesal hari ini. Bangun terlambat, ayahnya yang sudah berangkat ke kantor lebih dulu sebelum dia bangun tidur. Tadi malam ayahnya memang mengatakan akan berangkat ke kantor pagi-pagi, tapi Jeremia tak menyangka kalau ayahnya akan berangkat tanpa berpamitan seperti biasa terlebih dulu. Dan sekarang hampir terlambat sampai ke sekolah. Jangan ditambah lagi dengan omelan Kimmy yang sangat memuakkan. "Tutup mulutmu, Kimmy!" bentak Jeremia. "Jangan membuatku bertambah pusing lagi." Jeremia memijit pelipisnya. Tak perduli pada Kimmy yang menggerutu. Untuk apa harus perduli, tidak penting menurutnya. Tidak sepenting pemuda berambut pirang yang memasuki kelas bersama beberapa orang pemuda lain dari klub basket. Jeremia mengerjap beberapa kali, untuk memastikan bayangan yang ditangkap indera penglihatannya tidak salah. Pipinya memerah setelah memastikan kalau itu memang dia, pemuda murid baru itu. Jadi mereka sesungguhnya berada di kelas yang sama? Kenapa dia tidak tahu? Atau memang hari ini saja mereka sekelas? Jeremia mengerang gusar, apalagi mendengar suara cempreng Kimmy yang berkasak-kusuk tentang pemuda itu. Seolah dia yang paling tahu saja. Jeremia cemberut, dia benar-benar kesal. Kenapa harus Kimmy yang lebih dulu tahu mengenai pemuda itu daripada dia? Merasa ada yang mengawasi, Jeremia menoleh ke samping kirinya. Deg! Jantungnya serasa berhenti berdetak, mata biru itu menatap ke arahnya. Benarkah? Jeremia merasa pipinya memanas. Secepat kilat kembali melihat ke depan. Gadis itu menepuk-nepuk pipinya beberapa kali, berharap panas di pipinya hilang. Jeremia menarik napas kuat, mengembuskannya melalui mulut. Dia perlu meredakan debaran jantungnya yang menggila. Oh my God, Jeremia. Please, focus focus focus, please. Jeremia merapalkan kata-kata itu bersamaan hembusan napasnya. Matanya terpejam rapat dengan mulut berkomat-kamit seperti orang yang sedang membaca mantra. "Jeremia Rodriguez, apa kau mendengar pertanyaanku?" Suara menggelegar Miss Graham mengagetkan Jeremia. Serta-merta gadis itu membuka mata. Dan mata biru Jeremia membulat melihat Miss Graham sudah berdiri di samping mejanya. "Se-selamat pagi, Miss." Jeremia tergagap, antara malu dan kesal. Malu karena dia mendapat teguran guru di depan pemuda murid baru. Kesal mengapa dia dan si murid baru harus satu kelas di kelas Miss Graham yang terkenal galak. Guru sastra mereka ini adalah salah satu guru killer di sekolah. Miss Graham mengabaikan sapaan Jeremia. Perempuan berkacamata itu melayangkan tatapan membunuh pada Jeremia yang terlihat gugup. Sementara siswa-siswa yang lain tak ada seorang pun yang bersuara, kelas mereka sepi seperti kuburan di makam hari. "Ku ulangi sekali lagi, apa kau mendengar pertanyaanku?" tanya Miss Graham dengan dagu terangkat. Dia tak perduli siapa Jeremia, setiap siswa yang memperhatikan pelajarannya pasti akan mendapat hukuman. Miss Graham tidak pernah pilih kasih pada seluruh siswa-siswanya. Jeremia menggigit bibir gugup, matanya liar menatap seluruh teman-teman sekelasnya. Dan tatapannya berhenti pada murid baru itu, yang mulutnya tampak bergerak. Sepertinya pemuda itu mencoba memberitahu apa yang ditanyakan Miss Graham kepadanya. Sayangnya, karena terlalu gugup Jeremia tak dapat menangkap kata-kata yang diucapkan tanpa suara itu. Miss Graham yang pada dasarnya selain galak juga tak sabaran, langsung menjauh ke depan kelas. Miss Graham akan menghukum Jeremia dengan berdiri di depan kelas selama jam pelajarannya. Sebelum pemuda itu berdiri seraya mengangkat tangannya. "Maaf menyela, Miss Graham. Am I right? You are Miss Graham." Mrs Graham membetulkan letak kacamatanya yang sedikit melorot. Lantas memperhatikan siswa yang berani menginterupsinya. "Yeah?" Alis Miss Graham terangkat sebelah memperhatikan siswa itu. "Siswa baru?" tanyanya. "Yeah." Miss Graham mengangguk. Pantas saja dia baru kali ini melihatnya. Pemuda yang tampan, ucap Miss Graham dalam hati. Matanya meneliti murid baru itu. Tubuh tinggi tegap dengan garis rahang tegas, rambut pirang yang berkilau, mata sebiru lautan, dan bibir kemerahan. Membuat Miss Graham yang masih sendiri gemas ingin merasakan bibir itu. Miss Graham melebarkan mata cokelatnya. Perempuan itu memukul kepalanya pelan. Bisa-bisanya dia terpesona pada muridnya. Tapi siapa yang dapat menolak bahu dan punggung lebar itu? Miss Graham tersenyum manis, membuat seluruh siswa di kelas terperangah. Karena selama mereka sekolah di sekolah ini baru kali ini melihat senyum di wajah judes Miss Graham. "Iya, apa yang mau kau tanyakan..." "Jordan." Jordan menyebutkan namanya dengan ekor mata melirik Jeremia. Mengetahui kalau Jeremia juga memperhatikannya membuat jantung Jordan berdegup kencang. "Jordan.. Jordan Alexiel." "Baiklah, Jordan Alexiel." Miss Graham mengangguk. Senyum masih menghiasi wajah cantiknya. "Kau mau bertanya apa?" Jordan tersenyum, sehingga lubang di kedua pipinya terlihat. Miss Graham melongo melihatnya. Manisnya. Miss. Graham melayang dalam angannya. Bukan hanya Miss Graham yang melting melihat senyum dari wajah tampan Jordan, siswi-siswi di kelas juga. Termasuk Jeremia. Jeremia tak berkedip menatap wajah tampan itu. Hanya setelah mendengar suara Kimmy memekik tertahan, Jeremia sadar. Cepat gadis itu memalingkan wajah, menghindari Jordan yang juga sedang menatapnya. Jeremia meniup-niup sambil mengipas-ngipas, entah kenapa tiba-tiba saja ruangan kelas mereka terasa panas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD