Be in Hot Water

1103 Words
        Dave duduk sendirian di ruangannya, memikirkan tindakannya dan mulai merasa tak nyaman. Ia terlalu ikut campur. Ia sangat menyadari itu. Hanya saja air mata Anna sangat sulit untuk diabaikan.         Kerapuhan yang diperlihatkan perempuan itu, sesaat membuat Dave mengira bahwa gunung es tinggi menjulang itu telah runtuh, hancur tanpa sisa. Sayangnya meskipun sempat dilepaskan, topeng dingin kembali melekat di wajah Anna. Bahkan terasa seperti Anna membangun gunung es miliknya menjadi lebih kokoh, terbukti sampai detik terakhir Dave menurunkan perempuan itu di lobi apartemennya, Anna memilih bungkam.         Pintu ruangannya terbuka bersamaan dengan sebuah suara yang sangat dikenalnya. “Kudengar kau mengunjungiku.”         Seakan tersadarkan, Dave menghela napas lalu mengangguk singkat. Tadinya ia memang berniat untuk menemui Daniel di rumah sakit. Kemudian terhambat ketika menghentikan Alex yang hendak masuk ke ruangan Anna. Akhirnya benar-benar terlupakan saat Dave tidak bisa menahan penasaran, lalu menahan dirinya di dalam ruangan Anna. Ia bahkan mengantarkan perempuan tersebut pulang ke apartemennya. Hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya.         Dave menyandarkan tubuhnya di kursi, memijit dahinya yang berdenyut. Sekali lagi didera rasa tak nyaman atas tindakannya.         “Masalahnya, aku tidak melihatmu di ruanganku hari ini.” Daniel menatapnya dengan senyum geli, “Beberapa orang melihatmu memasuki ruangan Anna, lalu kalian keluar bersama.”         Dave tidak berkomentar, hanya menatap Daniel dengan ekspresi datar.         “Apakah kau membohongi sekretarismu?”         Dave hanya menaikkan sebelah alis sebagai respons.         “Kau mengatakan padanya kalau kau mengunjungiku, tapi yang kau datangi adalah dokter dingin itu.” Daniel memajukan wajahnya, terlihat sekali senyum jahilnya ketika bertanya, “Jadi, apakah kalian berkencan?”         “Tidak.” Dave langsung membantah tegas.         Daniel berdecak, memasang wajah kecewa yang terlalu dibuat-buat. “Kau mengecewakanku. Kupikir kau sudah meninggalkan prinsip hidupmu yang aneh itu.”         Dave mengernyitkan dahi, tapi detik berikutnya ia kembali memasang wajah datar. Terlalu malas mendengarkan apa kata Daniel kali ini.         “Prinsip hidup yang kau pegang teguh bahwa semua wanita itu hama dan wajib untuk dimusnahkan.”         Dave tersentak, seperti mendapat oase di tengah gurun, pikirannya langsung terbuka. Daniel benar, perempuan itu hama. Sepertinya sudah waktunya bagi Dave untuk melenyapkan rasa tidak nyaman ini, juga tentang pertanyaan yang sejak tadi memenuhi ruang kepalanya. *         Suasana hingar binar membuat Anna mengernyitkan dahi. Dia tidak suka suasana ramai dan menyesakkan seperti ini. Dia terlalu mencintai sepi, tetapi malam ini senyap terasa mengerikan baginya.         Sejak ayahnya berselingkuh bahkan hampir membunuh ibunya, Anna merasakan dorongan untuk membenci terlalu banyak. Sampai-sampai benaknya dipenuhi oleh keinginan untuk melenyapkan nyawa sang ayah. Membuat Anna takut kalau pikiran kotornya mengambil alih kesadaran dirinya.         Anna menghubungi psikiater, kata psikiaternya bisikan jahat di kepalanya hanyalah bentuk kemarahan yang tidak bisa ia sampaikan secara langsung. Juga karena jiwanya terguncang dikala ia belum matang dalam mengelola emosi. Psikiater itu merawatnya dengan baik, sesi demi sesi terapi, sampai kemudian Anna dinyatakan sudah sembuh.         Anna meneguk vodka seperti orang kehausan, lantas terbatuk-batuk begitu cairan putih itu menyapu kerongkongannya dengan rasa perih, hampir seperti terbakar. Alkohol tidak pernah menjadi pilihannya untuk melarikan diri. Terlebih sistem pencernaannya tidak pernah bersahabat dengan minuman beralkohol. Dia pernah mencoba sekali dan Anna berakhir dengan memuntahkan semua isi perutnya selama tiga hari tanpa henti.         Anna mengangkat tangan, memangggil bartender, meminta ganti untuk minumannya. Beberapa saat kemudian, segelas orange juice tersaji di depannya. Tanpa pikir panjang Anna langsung menghabiskannya dalam satu kali teguk.         Musik berganti, terasa semakin keras. Perutnya bergejolak, Anna tahu bahwa lambungnya tengah memberikan protes atas vodka yang telah ditenggaknya. Tidak ingin berkahir dengan membuat kekacauan seperti yang telah ia lakukan dalam dua hari ini, Anna memutuskan untuk pulang.         Kalaupun sunyi membelenggunya dalam ketakutan, Anna akan menerimanya. Malah hal tersebut jauh lebih baik dibandingkan ia yang kehilangan kontrol atas emosinya, lantas membuat semuanya menjadi kacau.         Anna terhuyung, hampir terjerembab sebelum sebuah tangan meraihnya dan suara itu terdengar menjijikkan di telinganya.         “Kau baik-baik saja, Sayang?”         Anna bergerak cepat, melepaskan diri dari Alex. Wajahnya mengeras, menyimpan amarah tetapi masih dalam kendali yang sempurna.         “Karena kau di sini, aku tidak perlu repot-repot untuk mencarimu ke kandang si Leonidas sialan itu.” Alex tersenyum miring, “Sudah berubah pikiran?”         Anna menahan dirinya, ucapan merendahkan dari pria tak bermoral inilah kemarin yang berhasil membangun monster di dalam diri Anna. Monster yang telah lama ia paksa untuk tidur.         “Aku meralat ucapanku yang kemarin.” Alex menatap Anna seolah sedang berkonsentrasi. “Aku bisa mati bosan menunggumu sampai kau datang merangkak kepadaku. Aku tidak terlalu lihai memadamkan gairah. Jadi sudah kuputuskan untuk menjadikanmu sebagai kekasihku, kau hanya perlu melayaniku di ranjang, memuaskan aku dan aku akan memberikan apapun untukmu. Ditambah lagi, kau benar-benar akan kuperlakukan seperti kekasih sungguhan.” Alex tampak bersemangat dengan ucapannya sehingga tidak memperhatikan bagaimana raut wajah Anna yang sudah berubah menjadi sangat mengerikan.         “Lagi pula dari pada kau menghabiskan waktu untuk menjadi kacung di bawah kekuasaan Leonidas, akan lebih baik kau gunakan tubuhmu yang indah ini.”         Mata Anna berkilat tajam. Pengaruh alkohol mulai membuat kepalanya berdenyut. Denyutan itu semakin terasa, antara kewalahan menahan murka dan memaksa kewarasannya untuk terjaga.         Seseorang harus ada yang mengerti kalau keinginan membunuh Alex sangat sulit untuk ditahan. Khususnya bagi Anna.  Dia seseorang yang terluka oleh lelaki, meninggalkan trauma berkepanjangan dalam hidupnya. Dan tidak ada yang bisa ia lakukan untuk semua itu kecuali membenci kaum adam dengan segenap hatinya. Lalu, pria busuk di depannya ini merendahkannya sedemikian rupa, melemparkan kata-kata seolah ia makhluk yang hina.         Anna menyerah pada kegilaannya, dengan gerakan secepat kilat ia menyambar gelas kosong yang terletak di atas meja bar. Kali ini akan ia pastikan benda tersebut mampu memutuskan urat nadi di leher Alex. Namun langkahnya kembali terhuyung, pening yang begitu luar biasa menghantam kepalanya dan seluruh tubuhnya kepanasan.         Alex terkekeh. Matanya berkilat geli.         Satu kesimpulan merasuk ke dalam benak Anna, “Kau,” desisnya berbahaya.         “Aku menggunakan dosis yang biasa, tapi tidak menyangka efeknya akan secepat ini.”         Segala sesuatu terasa berputar di kepala Anna. Padangannya tidak fokus dan panas semakin membara di seluruh tubuhnya.         “Kau akan bertekuk lutut padaku.” Suara Alex terasa dekat di telinganya. Dan Anna tersentak oleh rasa asing juga jijik. Beruntung otaknya masih mampu meneriakkan peringatan akan bahaya. Sehingga Anna bergerak mundur, meskipun dengan susah payah karena kondisi tubuhnya benar-benar di luar kendali.         Alex kembali terkekeh, langkahnya pelan mengikuti Anna. “Mau kabur?” Alex bertanya mengejek, “Ke mana keberanianmu yang berapi-api itu?”         Anna terus bergerak mundur, meski kesulitan untuk tetap fokus, matanya menatap waspada pada pergerakan sekecil apapun yang dilakukan Alex. Tiba-tiba wajah Alex mengeras, binar geli di matanya berganti dengan kilatan benci. Dan Anna terkesiap ketika punggungnya menabrak sesuatu. Seseorang lebih tepatnya.         “Dave,” bisik Anna lemah sebelum memasrahkan kesadarannya dalam dekapan Dave.   *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD