Addiction: 3

1679 Words
            “Nicholas honey, percayalah, kau adalah laki-laki terakhir di bumi yang ingin kunikahi.” Emma tertawa kecil, sambil melepas ikatan rambutnya, lalu mengikatnya ulang sehingga lebih rapi. “Aku harap malam ini kau tidak memiliki agenda apapun karena aku ingin istirahat di kamar.”             Nicholas tersenyum. “Aku tidak memiliki agenda apapun kecuali memeriksa ulang laporan yang dikirim pegawaiku,” katanya.             Emma mereka ulang adegan saat Nicholas menerima telepon ketika mereka masih berada di dalam kapsul London Eye. Wajah pria itu begitu serius saat menerima telepon itu, membuat Emma tanpa sadar berdoa semoga apapun yang dibicarakan Nicholas di telepon dengan si penelepon di seberang sana bukanlah masalah yang serius, sampai-sampai waktu liburannya selama di sini menjadi sedikit terganggu. Emma tahu rasanya jika liburan tidak berlangsung baik seperti yang direncanakan; sangat menyebalkan, dan kau akan mengemis untuk waktu tambahan.             “Bahkan di Inggris bisa macet.” Nicholas menggerutu, mobilnya hanya bisa maju beberapa putaran roda saja.             “Biasanya tidak begini. Mungkin terjadi sesuatu di depan sana. Kau mau aku menmeriksanya?” tanya Emma.             “Tidak. Kau cukup duduk manis di sampingku, biarkan pengawal lain yang melakukannya untukku. Katakan pada mereka.” Nicholas memberi aba-aba agar Emma melakukan panggilan untuk seluruh pengawal melalui alat komunikasi di telinganya itu, dan Emma melakukannya. Tidak butuh waktu lama sampai salah satu dari mereka menjelaskan kalau ada kecelakaan di depan sana.             “Great,” gerutu Nicholas. “Seharusnya aku tidak meninggalkan laptopku di kamar.”             “Oh, Nicholas...siapa yang mengira akan begini? Lagipula orang macam apa yang membawa laptop saat akan berkunjung ke London Eye?” Emma menyahuti.             “Orang macam aku yang tidak ingin kehilangan ladang emas jutaan dollarnya.”             “You must be kidding me.”             “Jutaan, and i wasn’t just kidding.” Nicholas mengulangi. “Kira-kira berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membereskan kecelakaan di depan sana?” tanya Nicholas, ia mulai tidak sabaran.             “Agak lama—sepertinya,” jawab Emma. Ia kelihatan ingin mengatakan sesuatu, tapi menahan diri.             “Kau sepertinya ada ide bagus.” Nicholas menyadari gelagat Emma. “Katakan.”             “Well, aku tahu beberapa jalan pintas di sini. Tapi, aku tidak yakin apakah kau rela membiarkan mobilmu yang mulus ini lecet di beberapa tempat.” ***             “Semoga kau tidak memotong gajiku atas apa yang terjadi hari ini,” ujar Emma, sambil meletakkan segelas teh s**u hangat di nakas di samping kasur Nicholas, yang sedang duduk sambil meluruskan kakinya menghadap laptop yang bertengger di atas meja kecil di atas pahanya.             “Tentu saja tidak, Em. Kau pengemudi yang luar biasa. Tidak ada lecet di mobilku, tapi aku tidak tahu bagaimana dengan jantung Frank.” Nicholas membubuhkan tawa geli di ujung kalimat, saat bayangan wajah Frank yang pucat pasi terlintas lagi di benaknya. Pria tua itu terus menerus memegangi dadanya, seolah-ola takut jantungnya akan melompat keluar tiba-tiba.             “Cukup, Nic. Kau membuatku semakin merasa bersalah, aku sudah meminta maaf padanya tadi.”             “Permintaan maaf roti bakar?”             “Kau melihatnya?”             “Yeah, aku melihat saat kau sedang memanggang roti di dapur. Kau terlalu serius sampai-sampai tidak menyadari kehadiranku yang mengawasi hanya berjarak dua langkah dari balik punggungmu.” Nicholas berbicara panjang lebar. “Aku jadi sedikit meragukanmu, bagaimana kalau kau tidak menyadari ada musuh di belakangmu saat sedang melindungiku?”             “Itu lain cerita, Nic.” Emma terdengar tidak terima dengan ucapan Nicholas. “Kau bisa mengandalkanku, jangan lupa kau sedang berhadapan dengan pemegang nilai tertinggi pada tes kelulusan pasukan keamanan elit.”             “Kita lihat nanti.” Nicholas tersenyum penuh arti. “Kau akan tidur sekarang?” tanyanya.             Emma mengeleng. “Tidak sekarang, Nic. Aku tidak diijinkan tidur sampai kau terlelap lebih dulu.”             Kedua alis Nicholas mengernyit. “Peraturan darimana itu?”             “Peraturan dariku sendiri,” jawab Emma cepat. “Aku penjamin keamananmu, Nic.”             “Dan aku bisa lihat sangat jelas kalau matamu sudah memerah. Kau mengantuk. Tidurlah, tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Lagipula keamanan di luar sana sudah lebih dari cukup untuk membuatku aman, Em.” Nicholas mengatakan itu dengan mantap, nyaris membuat Emma lemah akan keputusannya sendiri, tapi wanita itu berhasil bertahan.             “Tidak, Nic.”             Nicholas menghembuskan napas tertahan. “Baiklah, kalau begitu aku ingin kau menemaniku di sini.” Nicholas menepuk-nepuk tempat kosong di sebelahnya.             “Aku lebih suka di sini.” Emma menyilangkan tangannya ke belakang pinggang.             “Berdiri? Aku bisa menghabiskan waktu hampir semalaman untuk menyelesaikan laporan ini. Ayolah, aku tidak akan melakukan apapun padamu, Em. Kau bukan tipeku.”             “Kau juga bukan tipeku, Nic.”             “Oh? Bukan tipemu, tapi kau sempat mengagumiku yang hanya mengenakan handuk di pinggang, eh?”             Emma memutar bola matanya. “Itu hanya perasaanmu saja, Nic.” Astaga, bagaimana dia bisa tahu?             “Kemarilah, atau aku yang akan menyeretmu, Em.”             “Okay, you’re the boss.” Emma menyerah. Ia menghampiri Nicholas, lalu duduk di atas kasur bersamanya. “Seharusnya ini dilarang, Nic.”             “Kau yang bilang aku bosnya. Kalau begitu tidak ada masalah, anggap ini perintah.” Nicholas tersenyum puas, lalu kembali berkonsentrasi pada layar laptopnya.             Emma mengamati dari samping. Kepalanya sedikit pusing melihat neraca-neraca penjualan yang terpampang di layar laptop Nicholas. Tidak menampik, dari dulu ia selalu unggul dengan apapun yang berhubungan dengan kekuatan fisik ketimbang urusan otak. Bukan berarti nilainya buruk. Hanya selalu berada di rata-rata saja, pertengahan antara buruk dan baik. Namun dalam kekuatan fisik? Emma selalu di atas rata-rata. Ia beberapa kali mendapatkan medali karena mengikuti perlombaan olahraga. Hampir semuanya dia ikuti, tapi yang paling ia sukai adalah karate. Karate yang membawanya ke pekerjaannya sekarang, dan ia menyukai posisinya. Ia mendapatkan lebih banyak uang ketimbang teman-temannya yang bekerja dengan teori-teori buku.             Emma menutupi mulutnya yang menguap.             “Apa kubilang? Kau mengantuk,” ujar Nicholas, jemarinya masih bergerak lincah di atas keyboard laptop.             “Aku masih bisa menahannya, Nic.” Emma menguap lagi. Kedua ujung matanya berair. Ia menyandarkan punggungnya pada kepala kasur Nicholas, sementara kedua kakinya ia tekuk ke atas. “Kau tidak keberatan kalau aku seperti ini, kan?”             “Sama sekali tidak, Em. Buat dirimu senyaman mungkin.”             Emma masih mengamati Nicholas saat perlahan sorot matanya semakin sayu, dan pandangannya mulai buram berganti bulatan-bulatan cahaya yang acak, lalu hitam. Tapi, ia masih merasakan tubuhnya sendiri meskipun matanya terpejam, namun lebih lemah. Jadi ketika ia merasakan tubuhnya melayang ke atas dan kedua tangannya tergeletak tak berdaya di atas perutnya sementara kakinya mengayun bebas mengikuti pergerakan seseorang yang mengangkat tubuhnya seperti bulu; pelan-pelan dan penuh kehati-hatian, menuju ruangan yang ia yakini adalah kamarnya sendiri.             Emma tidak bisa melakukan apapun bahkan untuk membuka mata. Ia seperti bermimpi, tapi mimpi yang teramat nyata. Terutama saat seseorang yang menggendongnya itu merebahkannya di atas kasur, lalu membisikkan sesuatu yang sayangnya tidak terdengar jelas karena wanita itu sudah semakin terhisap kedalam kelelapan tidurnya sendiri. Ia baru terbangun saat cahaya matahari menerpa wajahnya dengan anggun tapi menyengat melalui jendela kamar yang tidak ditutupi gorden.             Emma mengerang, ia melihat ke seluruh tubuhnya yang masih mengenakan pakaian pengawal hanya saja tanpa sepatu. Siapapun yang membawanya ke kamarnya semalam layak mendapatkan ucapan terima kasih, jadi ia berencana menanyakannya pada Nicholas nanti. ***             “Tidurmu nyenyak semalam?” tanya Nicholas, saat Emma memasuki ruang makan, lalu bergabung dengan Nicholas, duduk bersama di satu meja. Meja itu hanya meja kecil segiempat sederhana dari kayu yang bertaplakkan kain putih bersih. Emma duduk di seberang kiri Nicholas, bukan di sampingnya. Tapi karena lebar meja yang tidak seberapa besar , dari jauh mereka jadi terlihat seperti duduk berdampingan.             “Tidurku nyenyak. Maaf, aku jadi ketiduran di kamarmu,” ujar Emma, sambil mengambil dua lembar roti bakar lalu mengolesnya dengan mentega. “Kau tidur jam berapa semalam?”             “Tidak lama setelah kau tertidur, Em.” Nicholas mengambilkan dua potong telur mata sapi setengah matang, dan beberapa potong sosis kecil ke piring Emma. “Kau harus makan banyak.”             “Aku berniat mengambilnya nanti. Trims, Nic.”             “Sama-sama.” Nicholas menambahkan beberapa potong sosis lagi di atas piringnya sendiri. “Em, hari ini aku akan bermain golf bersama beberapa temanku. Mereka akan datang sekitar jam 15.00.”             “Baiklah, akan kuberitahukan pada rekan yang lain untuk memperketat keamanan.”             Nicholas melahap sosis-sosis yang baru ia ambil dengan cepat, lalu menenggak habis jus jeruknya. “Temui aku di ruang nonton setelah kau selesai sarapan, Em.” Nicholas menggeser kursinya ke belakang, sambil berdiri dan mengelap bibirnya dengan tisu makan. Ia terpaku beberapa saat mengamati penampilan Emma yang berbeda dari biasanya; wanita itu sedang tidak mengenakan pakaian dinas pengawalnya, melainkan sweter hijau lumut berkerah tinggi yang membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna, dan celana jeans biru dongker panjang yang membalut kedua kaki jenjangnya. Nicholas melirik lebih ke bawah, dan menemukan Emma hanya bertelanjang kaki.             “Emma.”             Emma menoleh, mendapati Nicholas tiba-tiba memutar kursinya ke samping menjadi berhadapan dengannya. Pria itu lalu berlutut, memasangkan Emma sepasang sandal bulu berwarna abu-abu terang yang menutupi separuh kaki putih kemerahan mungil itu. Terlalu kebesaran untuk kakinya. Tentu saja, karena itu milik Nicholas.             “Apa yang kau—“             “Jangan meniru kebiasaanku yang terkadang gemar bertelanjang kaki di dalam rumah, Em. Bulan ini cuaca sedang tidak menentu dan suhu udara bisa menurun drastis tiba-tiba. Aku tidak ingin kau terkena flu.” Lalu Nicholas berdiri. “Makanlah yang banyak, Emma. Aku sangat takjub begitu mengetahui kau kelewat ringan dari yang kuperkirakan.”             Kedua mata Emma membulat kaget. “Nic, kau yang menggendongku semalam? Astaga—maafkan aku, itu sungguh tidak pantas. Seharusnya kau tidak perlu melakukan itu, Nic. Kau bisa membangunkanku dan—“             “Dan menganggu tidur nyenyakmu? Em, aku bukan penghancur mimpi indah. ”Nicholas berlalu, meninggalkan Emma yang belum menyelesaikan sarapan paginya di dalam ruang makan sendirian.             Emma menatap kepergian pria itu sambil menahan rasa penasarannya tentang apa yang dibisikkan pria itu semalam saat ia mulai terlelap. Tapi, ia memutuskan untuk tidak menanyakannya dan itu merupakan keputusan yang bagus. Entah bagaimana reaksi wanita itu saat mengetahui apa yang dibisikkan oleh pria yang sedang menaiki tangga menuju kamarnya itu.             “I swear to God, when you take off that shitty s**t uniform, you really are my type, Em.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD