S1 - BAB 8

1005 Words
Dane mengantarku benar-benar sampai rumah. Setiap kali main ke rumah, dia seperti anak kecil yang datang ke sebuah wisata bermain. Padahal, rumahku tidak luas dan tidak bagus. Hanya rumah sederhana saja. Tidak hanya itu, dia juga akrab dengan nenekku. Entah mengapa aku jadi merasa kalau Dane itu seperti anak kekurangan kasih sayang. "Mau mampir?" tanyaku saat ia menghentikan mobilnya tepat di depan rumah. Sebenarnya kedatangan Dane ini sering kali memicu kasak-kusuk tetangga. Rumahku yang sederhana, dihuni dengan orang-orang sederhana, tapi semenjak setahun yang lalu sering didatangi mobil dan seorang laki-laki kaya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, mau menyuruh Dane untuk tidak datang ke rumahku lagi pun tak mungkin. Dia mengangguk. "Jangan bangun, biar aku bukain pintunya." Dia selalu seperti itu, padahal sama saja, kan, mau dibukain atau tidak intinya kita sama-sama keluar dari mobil. Dane membukakan pintu mobil untukku sambil terus menatapku tajam. Dia ini sebenarnya punya beban hidup apa, sih? Kenapa selalu saja menatap orang dengan tatapan tajam seperti itu. Kami berjalan beriringan menuju rumah yang jaraknya hanya beberapa langkah saja dari mobil Dane. "Assalamu'alaikum, Nek." Tidak menunggu lama, dengan jalan lamban dan suara batuknya Nenek mendekat ke arah kami. "Nenek udah siapin makanan, benar dugaan Nenek, Dane mampir," ucap Nenekku pelan. Nenek pernah bilang, dia menganggap Dane dan Athar seperti dia menganggap aku, sama-sama anaknya. Nenekku itu memang orang yang baik, bahkan selama aku tinggal bersamanya, tak pernah dia membentakku, mengasariku, tak pernah. Pantas saja ibu dan ayah dahulu sangat menyayangi nenek. "Wah ... kebetulan aku lapar," ucap Dane setelah mengecup punggung tangan nenek. Dia berubah drastis jika sudah berhadapan dengan nenek. Entah kerasukan apa manusia ini. "Mari kita makan bersama." Aku sering dikacangi kalau Dane dan nenek sudah bicara berdua, seolah ... mereka sudah akrab lama. Dan aku, aku hanya seperti panjangan dinding yang tak tampak di permukaan. Dane pulang setelah menghabiskan makanan buatan nenek dan tentunya tak lupa setelah bicara dan mengacangiku tadi. Nenek tidak mengantarnya sampai depan, karena nenek memang sedang tidak enak badan. Aku yang mengantarnya sampai depan. "Nanti pagi aku jemput, ya?" Aku menggeleng cepat. "Aku bisa naik angkutan umum." "Aku bakal datang, kalau kamu udah berangkat duluan, aku makan kamu." Aku menaikkan sebelah bibirku ke atas. Ada-ada saja manusia ini. "Yaudah, aku pulang, ingat besok aku jemput kamu." Setelah mengatakan itu dia langsung masuk ke dalam mobilnya. Aku sudah tidak bicara apapun setelahnya. Besok aku akan berangkat bersama Dane, itu tandanya aku akan menghadapi masalah baru. "Ya Allah," desisku seraya berjalan masuk ke dalam rumah. *** Walaupun aku masih awam tentang agama, aku masih tetap rajin mengerjakan salat lima waktu. Karena kata nenek, salat adalah tiang agama, hukum melaksanakan salat adalah wajib, yang artinya jika tidak melaksanakannya aku akan berdosa. Aku sudah tidak mau menumpuk dosa terlalu banyak. Dengan menjaga salat, aku berharap, Allah bisa menolongku. Setelah salat Maghrib aku keluar rumah, ada sesuatu yang harus aku beli di toko buku. Besok ada ulangan harian, sementara papan jalanku sudah patah. Aku tidak memiliki kendaraan apapun di rumah. Selama ini aku hanya naik angkutan umum jika jauh dan jalan kaki jika dekat. Dan sekarang, toko buku jaraknya tidak terlalu jauh, aku bisa jalan kaki untuk sampai ke sana Sampai di toko buku aku langsung memilih papan jalan dengan harga yang cukup untuk kantung pelajar. Sekalian keluar rumah, aku membeli beberapa alat tulis yang sudah mulai habis juga. Saat kembali ke rumah, azan Isya sudah berkumandang. Aku langsung bergegas mengingatkan nenekku yang telinganya sudah mulai kurang berfungsi baik, terlebih masjid sangat jauh dari rumah. Nenek selalu minta diingatkan olehku. Saat sampai di kamar nenek, nenek ternyata sedang tidur. Kugoyahkan tubuhnya pelan. "Nek, ayo kita salat bareng ...." Mataku membulat saat melihat ada cairan berwarna merah keluar dari mulut nenekku. Tanganku gemetar. Tubuhku tanpa aba-aba ambruk ke lantai. Darah adalah cairan yang paling aku benci. Selama beberapa hari ini nenek memang sering batuk berdahak. Dan aku pun rutin mengantarnya ke rumah sakit setelah mendapat surat rujukan dari puskesmas. "Nenek ...." Air mataku menetes. Aku tak sanggup, aku benar-benar tak sanggup. Aku bingung harus meminta pertolongan siapa. Tetanggaku kurang baik, dan aku tidak yakin mereka akan menolongku. Keluarga, jujur saja kami berdua ditelantarkan oleh keluarga kami sendiri. Tanganku semakin gemetar, bahkan aku tak sanggup untuk bangun. Kurogoh ponsel dari saku cardigan-ku. Tidak ada pilihan lain, hanya Dane yang dekat denganku. "Ada apa?" tanyanya di balik telepon, tampaknya dia baru bangun tidur, suaranya serak. "Aku minta tolong, Dane." Napasku terengah-engah. Tak sanggup berkata-kata lagi. "Aku ke sana." Tanpa menunggu jawabanku lagi, dia langsung mematikan saluran telepon. Aku memeluk diri, berusaha mencari ketenangan dari diri sendiri. Air mataku terus menetes. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan nenek. Bahkan belum satu kali pun aku membanggakannya. Aku selalu mengecewakannya, aku lebih sering membantah ucapannya. Cukup lama aku menunggu Dane dengan air mata yang tak henti menetes. Sampai akhirnya kudengar ada langkah kaki mendekat, aku tidak menutup pintu tadi, pantas saja Dane langsung masuk ke kamar nenek. "Kenapa?" tanyanya. Wajahnya ikut panik. Dia hanya memakai baju kaos putih polos dengan celana selutut. "Nenek ...." Dane langsung mendekat ke arah nenek. Dia membuang muka saat melihat darah. Tanpa menunggu lama, Dane langsung membopong tubuh nenek ke mobilnya. Aku mengintil di belakang. Langkahku melemah, kini tidak hanya tangan yang gemetar, tubuhku semuanya gemetar. Dane menyusulku, dia juga merangkulku, aku berontak, tapi tenagaku tak cukup kuat. Sampai akhirnya aku masuk ke dalam mobil Dane dan Dane langsung mengendarai mobilnya ke rumah sakit. "Jangan menangis lagi, nenek pasti baik-baik aja." Aku benci kata-kata semangat seperti itu. Kata-kata itu hanya akan membuat diri semakin terluka karena terlalu banyak berekspektasi. Aku tidak suka. "Kalau pun nenek ...." Aku langsung menoleh, walaupun aku benci kata-kata semangat semu, aku pun tidak suka dengan kata-kata yang membuatku semakin terpuruk. "Aku ... aku cuma punya nenek," ucapku terbata-bata. Dane menghela napas berat. "Aku kaget dengar kamu nangis di telepon, aku langsung berangkat tanpa cek pakaian lagi. Lihat nih, aku kayak gembel." Bisa-bisanya dia mementingkan penampilannya saat aku sedih seperti ini. Dane menepuk pelan bahuku. "Terlalu berekspektasi memang enggak baik, tapi mencegah pemikiran buruk itu lebih baik."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD