S1 - BAB 17

1014 Words
Di balkon rumah sakit, Dane menerawang jauh ke depan, menatap langit yang begitu megah, jalanan yang seakan tidak bertepi, terus sambung-menyambung. Suasana di sekitarnya begitu megah, tapi, dadanya justru terasa sesak. "Aku benci dunia ini, tapi dunia ini begitu baik padaku. Sama seperti aku membenci dia, tapi dia baik kepadaku. Jadi, semua orang terus mengatakan kalau aku adalah sumber masalah," ucapnya keras. Suaranya menyatu dengan angin, berembus penuh emosi. "Dahulu aku enggak percaya kalau orang jahat itu terlahir dari orang baik yang tersakiti, tapi, semakin ke sini, aku justru seolah berkaca, kalau itu adalah diriku. "Oh Tuhan, mana yang Kau bilang adil? Aku merasa enggak diadili sekarang. Dahulu ... aku butuh, hanya satu orang, yang bisa mengerti diriku. Athar pernah datang, dia membuatku lebih baik dalam hal pertemanan. Aku bisa mempunyai teman baru setelah Athar datang. Wira dan Gea. Namun, semakin ke sini, aku merasa ... selalu ditinggalkan, dan itu seolah menjadi kesalahanku, terus-menerus. Apa yang salah pada diriku? Mengapa aku diciptakan seperti ini?!" Dane mengembuskan napasnya berat. Sungguh sangat sesak. Ia butuh ruang sepi untuk mengutarakan apa yang ingin ia katakan. Semua orang selalu mengatakan ia salah, tanpa pernah bertanya, mengapa ia seperti itu. "Dane ...." Dane menoleh, ada Noura di sana. Noura tersenyum getir menatapnya. Ada rasa takut dan kasihan yang menjadi satu. Ia memang tak merasakan apa yang Dane rasakan, tapi ia bisa melihat betapa pelik masalah yang Dane derita, bukan antara ia dan keluarganya atau temannya, melainkan antara ia dan egonya. "Apa aku boleh mendekat?" Noura dapat pengetahuan baru tentang Dane dari Faya saat ia mengantar Faya ke ruangan ibunya. Dane itu paling tidak mau didekati saat ia marah, kalau orang itu nekat, tanpa berpikir panjang bisa jadi Dane langsung memukulnya agar pergi. Dane tidak menjawab. Noura pun tidak mendekat. Ia hanya bisa menatap punggung Dane dari kejauhan. "Biarkan aku sendiri," ucap Dane datar. "Aku bisa temani kamu, Dane, seperti kamu yang selalu menemani aku. Apa gunanya aku selama ini, kalau hanya bisa kamu bantu tanpa pernah membantu." Hening, Dane belum mengatakan apapun. Noura juga masih di tempatnya. Ia berharap, setidaknya, jika orang lain tidak membutuhkannya, Dane mau menerima bantuannya, agar ia merasa tidak sia-sia hidup di dunia ini. "Apa kamu mau temani aku ke bar?" Jantung Noura berdegup, ia bingung ingin berkata apa. Dane terkekeh. "Kamu enggak akan bisa bantu aku." Dengan segala keberanian yang ia punya, akhirnya Noura mengangguk. "Aku ... aku mau kok temani kamu." Lagi-lagi Dane terkekeh. "Kamu enggak takut aku macam-macam sama kamu?" Lagi-lagi jantung Noura berdegup kencang. Ia menggeleng. "Enggak, karena aku percaya kamu enggak akan sakiti aku." "Jangan membohongi dirimu sendiri, Ra. Aku tau kamu takut, bahkan kamu enggak berani mendekat." "Aku ... aku cuma berusaha enggak buat kamu marah. Faya bilang, kamu enggak suka didekati saat marah, aku enggak mau kamu malah benci aku." Dane memutar tubuhnya, menatap Noura dari atas sampai bawah dengan tatapan tajam. Noura gugup, bahkan kini jantungnya lebih kencang berdegup. Sebisa mungkin ia percayai, kalau Dane hanya sedang mengetes apakah ucapan yang ia lontarkan benar atau tidak, bukan ingin macam-macam. Sampai akhirnya Dane berada di hadapannya. Ia mendekat, sangat dekat. Bahkan kini ia menunduk, mendekatkan wajahnya ke wajah Noura. Noura menahan napas, matanya membulat, bibirnya merapat. Dane benar-benar mendekatkan wajahnya, hingga akhirnya, kepala Dane kini menumpu pada bahu Noura. Napas Dane terdengar jelas di telinga Noura. Ia yakin, Dane pasti bisa mendengar degupan jantungnya. "Aku sulit mengendalikan diri, tapi saat ada kamu, kamu seperti Athar dan Gea. Kalian punya sisi tersendiri saat menghadapi aku. Athar udah pergi, Gea udah pergi, sekarang ada kamu, aku enggak akan melepaskan kamu semudah melepaskan Gea, aku enggak akan berbuat jahat lagi, aku enggak akan membuat masalah lagi, aku ... aku emang sumber masalah. Semua orang menjauh, karena aku. Masalahku selama ini, karena aku. Aku ... butuh kamu." "Dane ... selagi aku di sini, aku bisa bantu kamu. Kita belajar memaknai hidup bersama. Dan ... berusaha mengenal pencipta kehidupan yang selama ini sangat jauh dari kita. Aku ... aku bahkan sangat awam perihal agama." Noura menatap nanar ke depan. "Kamu mungkin bisa belajar dari peliknya kehidupan yang kamu alami, tapi aku, aku justru mencari ketenangan dengan hal-hal enggak baik. Apa itu sumber masalah dari diriku?" "Maksud kamu?" "Aku selalu ke bar saat aku enggak sanggup nahan emosi, aku selalu cari ketenangan dari hal-hal haram, walaupun enggak selalu kayak gitu. Aku juga suka cari ketenangan di balkon, menikmati udara dari ketinggian, menatap jauh ke arah yang enggak ada ujungnya." "Alkohol itu berbahaya, Dane. Kamu bisa cari ketenangan dengan cara kedua kamu. Atau, aku bisa temani kamu jalan-jalan? Kamu mau?" Dane mendongak, ia menatap wajah Noura yang sudah tidak terlihat pucat menahan takut. "Jalan-jalan?" Noura mengangguk, senyumannya merekah. "Kita cari udara segar. Udara malam terkadang buat kita tenang, itu yang sering aku lakukan saat merasa sesak." "Sendirian?" Noura mengangguk kembali. "Iya, aku suka sendiri, tapi, sekarang kita berdua, Dane." Senyuman Dane merekah. "Apa kamu enggak takut sama aku, Ra?" "Takut karena apa? Kamu Dane yang aku kenal, walaupun belum lama, semua yang udah kamu lakukan ke aku menjadi bukti kalau kamu orang yang baik. Cover enggak selalu jadi patokan. Aku percaya kamu itu baik, ego aja yang sering kali nguasain diri kamu." "Saat aku bilang kalau aku ajak kamu ke bar, apa kamu enggak takut?" Lagi-lagi Noura menggeleng. "Enggak, aku percaya sama kamu." "Tapi alkohol itu bisa nguasain aku, Ra, lain kali, jangan mau kalau aku ajak. Aku ... aku enggak mau nyakitin kamu saat diri aku enggak sadar. Baik saat sadar atau enggak, aku enggak mau nyakitin kamu. Udah cukup semuanya, banyak orang yang udah aku sakitin." "Iya, aku bakal dengar ucapan kamu. Ayo kita jalan-jalan." "Naik mobil?" "Enggak usah, kita jalan kaki aja." "Sekalian cari makan malam, ya?" Noura mengangguk. Hingga akhirnya mereka berdua tersenyum. Bahkan Dane tidak sadar, Noura begitu mudah meredamkan amarahnya. *** Awalnya aku emang takut sama kamu, tapi, semakin ke sini, aku semakin kenal siapa kamu. Kamu yang buruk di mata orang yang pernah kamu sakiti, tetap terlihat baik di mataku. Semoga saja, aku tidak masuk ke kategori orang yang kamu sakiti nanti, Dane. - Noura Banafsha.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD