S1 - BAB 14

1003 Words
Dane dan Faya sampai di rumah sakit tepat saat sang muazin menyelesaikan azan di waktu Maghrib. Faya yang sejak tadi diam hanya mengikuti langkah kakaknya tanpa mau tahu ke mana ia akan dibawa. Karena ingin dianggap adik yang baik, tidak selalu dibentak, dan dipaksa untuk menjauh, ia jadi melakukan itu. Jujur saja, sebenarnya ia ingin sekali berlama-lama dengan kakak laki-lakinya itu, tapi sulit. "Kamu mau langsung pulang atau ikut aku menemui seseorang?" Faya mendongak, akhirnya kakaknya itu mau bicara lagi setelah tadi ia salah bicara. Dia menggeleng lalu mengangguk, bingung ingin bicara apa, pada intinya ia masih ingin berlama-lama dengan kakaknya. "Jadi mau ikut atau enggak?" Faya langsung mengangguk antusias saat guratan geram tampak di wajah kakaknya. "Iya, Faya, mau ikut Kakak, Faya masih mau sama Kakak." Dane mengembuskan napas pelan. "Nanti jangan banyak bicara, seperlunya aja." Sebenarnya Faya ingin tahu siapa yang dimaksud "seseorang" yang kakaknya ucapkan itu. Namun ia cukup tahu diri, kakaknya berbeda dengan kakak yang lain. Meski begitu, ia tidak akan suka kalau orang lain membandingkan kakaknya lebih buruk daripada kakak-kakak mereka. Akhirnya ia memilih mengikut saja, toh, nanti ia akan melihat sendiri siapa orangnya. Ia berjanji akan lebih berhati-hati lagi dalam berbicara, ia sangat sayang dengan kakaknya. Ia ingin sekali punya kakak yang juga menyayanginya. Ia yakin kakaknya pun menyayanginya, tapi cara menyayanginya saja yang berbeda dengan orang lain. Kalau tidak, mana mungkin kakaknya itu mau memberikan tumpangan untuknya kalau bukan karena rasa sayang. Karena sedaritadi jalan menunduk, Faya sampai tidak sadar, ia menubruk seorang perawat yang sedang berdiri di sisi jalan, seharusnya ia bisa berjalan lebih ke tengah, memepet ke kakaknya, tapi dia malah mengambil sisi pojok karena takut kakaknya marah didekati. "Ma-maaf, saya enggak sengaja," ucap Faya gugup. Perawat itu bukannya marah malah tersenyum ramah, Faya pun tidak mengerti kenapa. Ia terus melangkah setelahnya. Hingga akhirnya kini mereka sampai di depan pintu kamar VIP yang sepertinya sedang didatangi dokter. Dane membuka pintu tanpa permisi, memang anak ini krisis akhlak baik. "Lho ... Faya, ya? Mau jenguk ibu, Fay?" tanya seorang perawat yang sedang merapihkan bekas perban yang sudah dipakai Noura. Dokter ikut menoleh ke arah Faya dan Dane. Tinggallah Dane dan Noura kebingungan. Mereka saling menatap bingung. Noura yang tidak mengerti sama sekali, siapa Faya, siapa anak kecil yang dibawa Dane, dan apa maksud menjenguk ibu yang perawat itu katakan. Dan Dane, ia bingung, sejak kapan ibu dirawat. Ia menoleh ke arah Faya. "Siapa yang dirawat?" Faya menggedikkan bahu bingung lalu menggeleng. "Faya enggak tau, Kak." Dane mendekat ke arah perawat yang kira-kira sudah berusia kepala tiga itu. Perawat tampak bingung, kenapa ia malah jadi mendapat tatapan tajam dari orang yang tidak ia kenal. "Ibu Faya dirawat?" Dia mengangguk bingung. "Sejak kapan?" "Dari ... sekitar jam dua belas siang, dia nabrak mobil tronton, entah bagaimana awalnya, mobilnya bisa terjun ke danau sementara dia malah berdarah-darah di aspal jalanan. Dan sekarang ... lagi kritis karena kekurangan darah. Keluarganya pun yang datang cuma madunya, suaminya lagi di Dubai, anaknya ... ini Faya, anaknya, kan?" Dane menoleh ke arah Faya. Wajah Faya pucat. Air matanya menetes tapi wajahnya masih terlihat shock. "Fay?" panggil Dane pelan. Faya menggeleng. "Enggak mungkin, kan, Kak, yang tadi itu ibu? Mobil yang tadi kita lihat itu mobil ibu? Ibu ... ibu di mana? Faya ...." Belum sempat menyelesaikan ucapannya tiba-tiba tubuh Faya oleng. Namun Dane dengan sigap menahannya. Ia tidak pingsan, hanya terlalu shock sehingga tubuhnya jadi melemas. "Saudari Noura sudah boleh pulang, ya, sekarang," ucap Dokter yang baru saja menyelesaikan perbannya di kepala Noura. "Tiga hari ke depan balik lagi, ya, ke sini untuk ganti perban dan penyabutan benang jahit." Noura mengangguk. Dokter permisi lebih dulu karena ada pasien yang harus ditangani. "Di mana ibuku, Suster?" tanya Faya melemah. "Di ruang gawat darurat, lagi nunggu pendonor darah, katanya cuma anak pertamanya yang golongan darahnya cocok, saya permisi, ya." Tanpa banyak bicara lagi, perawat itu langsung pergi. Faya menatap wajah Dane dengan tatapan sayu. "Kakak ...." Dane melepas Faya dari rangkulannya lalu membuang muka ke arah samping. Ia tahu maksud dari tatapan itu. "Kakak mau, kan mendonorkan darah Kakak buat ibu?" Tangan Dane mengepal, ia masih membuang muka ke samping. Tiba-tiba Faya menggenggam jemari tangan Dane. "Kalau Kakak yang ada di posisi ibu, ibu pasti rela berikan segalanya untuk Kakak, ibu sangat sayang sama Kakak, setiap hari dia selalu puji Kakak di depan aku ...." Tiba-tiba Noura mendekat. Ia tatap wajah Dane dan Faya bergantian. Ia tidak berani menanya Dane saat seperti itu, tapi ia bisa bertanya dengan perempuan kecil yang ada di samping Dane, ia ingat, namanya Faya. Belum sempat Noura berbicara, Dane sudah lebih dulu pergi. Faya langsung mengejarnya, begitu pula dengan Noura. Dane tidak berlari, tapi langkahnya yang lebar ditambah dengan kecepatannya berjalan yang tidak biasa, membuat orang lain harus berlarian agar bisa menyejajarkan langkahnya. *** Dane masuk ke ruangan gawat darurat. Kulihat wajahnya sangat kacau. Aku benar-benar bingung, ingin rasanya bertanya, tapi aku tidak mau terlalu berlebihan, ini pasti menyangkut masalah pribadi Dane. Namun ... sungguh, aku sangat ingin mengetahuinya. Maafkan aku Dane. Aku menghentikan langkah saat berada di depan pintu ruangan gawat darurat. Dane dan Faya sudah melangkah masuk ke dalam. Aku bisa lihat dari kejauhan, Dane membuka hampir seluruh tirai pasien, padahal, orang yang ia ingin temui ada di bagian paling depan di dekat pintu, di mana aku berada. Terlewatkan ia buka. "Da-Dane," ucap seseorang yang tidak dapat aku lihat siapa, tapi ... suaranya seperti tidak asing. "Suster!" teriak Dane. Beberapa suster sampai terbirit-b***t menghampiri. "Saya akan donor darah, cepat!" Sekarang aku bisa simpulkan, perempuan kecil tadi adalah adik Dane, dan orang yang sedang kritis sekarang adalah ibu Dane. Namun ... ada yang mengganjal, mengapa yang dikenal perawat tadi sebagai anak ibu yang sedang kritis ini hanya Faya. Suster mendorong bed kosong ke samping bed ibu Dane. Dan kini ... tirai dibuka. Mataku membulat, begitu pun orang yang aku tatap. Aku kenal siapa orang itu, sangat kenal. "Tante Arafah," desisku pelan tanpa didengar siapa pun. Jadi, selama ini, ibu kedua yang Dane benci adalah ibu Athar? Bagaimana bisa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD