S1- BAB 10

1014 Words
Malam terasa lama tanpa nenek, aku tidur di pukul tiga setelah belajar dan berusaha untuk terlelap. Dan sekarang, jam sudah menunjukkan pukul lima pagi. Setelah salat Subuh aku langsung bersiap memakai pakaian sekolah, niatnya sebelum berangkat ke sekolah aku akan pergi ke rumah sakit untuk menjenguk nenek. Kutepuk pelan keningku. Hampir saja aku lupa kalau Dane ingin menjemput hari ini. Rasanya aku harus menghubungi dia. Biasanya dia akan menjemput di pukul enam pagi, sementara aku ingin ke rumah sakit dulu sekarang. Kalau memang dia tidak bisa berangkat sekarang, aku akan berangkat sendiri, ah rasanya itu lebih baik. Belum sempat kuraih ponsel di kamar, suara klakson mobil sudah lebih dulu terdengar. Aku berlari kecil untuk sampai ke pintu. Ternyata itu Dane. Bagaimana bisa? Dia keluar dari mobil sudah dengan pakaian sekolah. Dia mendekat ke arahku. "Kamu pasti mau ke rumah sakit dulu, kan?" tanyanya. Aku mengangguk. "Kok kamu bisa tau?" Dia mengetuk pelan kepala bagian kanannya dengan jari telunjuk. "Iya deh orang pintar emang selalu beda." Dia menoyor keningku pelan. "Kamu bukannya pintar? Kalau bodoh mana bisa masuk ke SMA Adiwangsa tanpa biaya?" Aku tersenyum kecil. "Kamu lagi nyindir atau muji, nih?" Dane meniup wajahku. Entah apa maksudnya. "Ayo kita ke rumah sakit." Dia memang sering seperti itu, mengalihkan pembicaraan, membuang pembicaraan, dan segala jenisnya. Terkadang aku kesal, tapi kalau dipikir-pikir memang lebih baik aku segera bergegas. "Sebentar aku ambil tas dulu." Dane tidak masuk ke dalam, dia memilih menunggu di luar sambil menyandarkan tubuhnya di tembok samping pintu. Tidak lama menunggu, aku sudah ada di sampingnya. Rumahku tidak besar dan tidak bertingkat, untuk ke kamar jaraknya sangat dekat. "Ayo." Dane berjalan lebih dulu, membukakan pintu untukku lalu ikut masuk ke dalam. Sebelum menyalakan mesin mobil dia memberikanku sebuah bingkisan yang entah ia dapat dari mana. "Tadi aku beli sarapan di jalan, sekalian buat kamu karena aku tau kamu enggak akan mikirin makanan dalam situasi kayak gini." Kubuka bingkisannya, ternyata salad, roti dan sebotol s**u. Aku tidak biasa makan sarapan seperti ini, biasanya setiap pagi aku makan nasi uduk atau nasi goreng buatan nenek. "Setiap hari kamu sarapan kayak gini?" Dane mengangguk. "Cuma ada makanan itu yang buka di pagi hari. Lebih banyak makanan instan, jadi aku milihnya yang sehat aja. Ngaruh lho untuk otak dan stamina." Kutelan saliva dalam-dalam. Ternyata Dane laki-laki yang teliti dalam mengurus tubuh. "Makan, mungkin pertama kamu bakal mual atau enggak suka, tapi lama-lama bakal suka kok. Aku biasain nanti setiap hari beliin kamu. Aku bakal antar-jemput kamu setelah ini dan seterusnya." Aku sampai tersedak air liurku sendiri. "Enggak usah, aku bisa naik angkutan umum, jangan aneh-aneh deh, Dane." "Apanya yang aneh? Aku cuma iseng setiap hari datang dan pulang sendiri. Teman-temanku semuanya naik mobil. Bisa aja, sih, aku ngajak perempuan lain, tapi emang kamu enggak apa-apa?" Aku terdiam beberapa saat. Tunggu ... kenapa aku ingin sekali mengatakan "tidak", aku tidak mau Dane pergi dan pulang dengan perempuan lain. Aku menggeleng lalu mengangguk. "Silahkan kalau kamu mau ajak perempuan lain. Itu hak kamu. Siapa aku harus atur hidup kamu." Dane terkekeh. "Enggak, aku enggak mau." "Kenapa?" "Karena ada hati yang harus kujaga setelah Athar pergi." Kali ini aku benar-benar tersedak, tersedak s**u tepatnya. Dane terbahak. "Aku udah memikirkannya matang-matang. Aku akan membuka lembaran baru sama kamu. Tanpa memikirkan orang yang udah kecewain aku lagi. Kata Athar, kamu anti pacaran, jadi, aku bakal setia jadi sahabat kamu, sampai nanti ...." Aku tidak bisa berkata apa-apa. Sepertinya Dane kurang tidur semalam. Mana mungkin dia mau dengan perempuan sepertiku. Aku si miskin yang berwajah pas-pasan dengannya yang kaya raya dengan wajah tampan. "Kamu mau?" Aku menoleh ke arahnya. "Masih ada perempuan yang lebih baik dari aku, Dane." "Aku pernah memilih perempuan terbaik, tapi nyatanya dia jauh dari kata baik. Di mataku kamu udah sangat baik. Mungkin orang lain yang enggak pernah lihat wajah kamu dari dekat, enggak akan pernah lihat kecantikan natural kamu, mereka yang enggak kenal kamu dari dekat, enggak akan pernah tau sifat kamu yang berhasil buat aku nyaman. Kali ini aku percaya kalau cover enggak selalu seiras sama isi. "Wajahmu bisa disetarakan dengan wanita lain, kalian cuma beda berapa tebal make up aja kok. Perempuan kalau udah berduit, bisa berubah jadi bidadari, ada masanya nanti kamu sukses, dan aku percaya itu." Entah mengapa hatiku mencelos, aku jadi teringat Athar. Dia juga pernah mengatakan itu kepadaku. Apa jangan-jangan Athar berpesan kepada Dane agar mengatakan itu dan Dane mengatakannya karena terpaksa. Kuhela napas pelan lalu kupejamkan mata sebentar. "Aku tau kok, melupakan orang yang udah menemani kita bertahun-tahun, yang udah buat kita nyaman, melindungi, menyayangi layaknya keluarga sendiri seperti Athar itu enggak mudah, tapi kamu harus ingat Athar udan enggak ada, Ra." "Kita jalani aja persahabatan ini dengan baik, Dane, jangan berpikir terlalu jauh. Hati bisa berubah sewaktu-waktu." "Kamu meragukan aku?" Aku menggeleng. "Itu emang realita kehidupan, kan?" Dane terdiam. "Oke, aku akan tunjukkan ke kamu." Kulihat cengkramannya pada stir mobil menguat, sepertinya dia sedang menahan kesal. *** Kita sampai di sekolah tepat saat bel masuk berbunyi. Kita terlalu lama di rumah sakit, padahal nenek belum sadarkan diri. Aku juga bingung kenapa aku dan Dane bisa selama itu di rumah sakit. Di sana pun kita hanya berdiri tanpa bicara apa pun karena memang dilarang berisik. Ah, mungkin saat itu kita berdua sama-sama kerasukan. Saat-saat bel seperti inilah puncaknya keramaian di sekolah. Ingin rasanya kututup wajah, malu sekali keluar dari mobil Dane, apalagi Dane membukakan pintu untukku. Orang-orang yang ada di halaman, lapangan, parkiran, lantai dua dan tiga, banyak sekali yang menyorot ke arahku. Aku berjalan beriringan dengan Dane, dan berpisah di persimpangan, dia ke kanan dan aku ke kiri, kelas kita lumayan jauh. Dahulu Dane satu kelas dengan Athar, di kelas pilihan yang rata-rata nilai siswa-siswinya di atas delapan. Langkahku terhenti saat Dane memanggil namaku. "Semangat ulangan hariannya," ucapnya sambil tersenyum miring. Apa ini, mengapa jantungku langsung berdetak cepat. Dane sudah berjalan kembali sementara aku malah diam menetralkan jantungku. Ketepuk keningku pelan. "Ya Allah ... ada apa denganku?" Aku langsung berjalan cepat ke kelas, sebentar lagi guru yang mengajar kelasku akan datang. Pelajaran pertama ulangan harian, aku tidak boleh telat masuk kelas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD