S1 - BAB 6

1003 Words
Pagi-pagi sekali aku sudah berangkat menuju sekolah. Kalau tidak ada yang harus aku urus, aku bisa saja berangkat saat orang-orang belum datang, tapi tampaknya tidak bisa untuk hari ini. Walaupun aku berangkat pagi-pagi sekali, hari ini jalanan sangat macet, bahkan pagi-pagi aku sudah berkeringat karena itu. Aku sampai di sekolah tepat lima menit sebelum bel masuk berbunyi. Untung saja tidak telat, jujur saja sepanjang perjalanan aku was-was, takut benar-benar telat masuk sekolah dan mendapatkan poin. Salah satu persyaratan bisa terus sekolah di sini menggunakan beasiswa adalah tidak boleh membuat kesalahan, jadi aku khawatir karena itu. Untuk kesekian kalinya aku melihat kerumunan di lapangan. Dari jauh aku berdoa, semoga saja itu bukan Dane, aku tidak mau dia menjadi orang jahat hanya karena aku. Aku berlari untuk mendekat. Ternyata memang Dane, tapi kali ini ia tidak sedang bertengkar. Banyak perempuan di sampingnya. Hampir aku lupa, hari ini adalah hari di mana Dane akan berangkat mewakili sekolah dalam perlombaan basket. Aku batal mendekat, lebih baik aku mendukungnya melalui doa ketimbang ikut menggerumutinya seperti itu. Aku selalu aneh dengan Dane, kemarin dia ditakuti hampir satu warga sekolah. Namun lihatlah, hari ini justru ia seperti idola sekolah yang lahir tanpa cacat. "Tunggu, Ra." Ah, ternyata dia melihatku. Hancur sudah. Aku tidak akan boleh pergi, atau dia akan nekat menarikku. Terpaksa aku menoleh dengan wajah pucat karena sekarang aku menjadi pandangan banyak orang. Dia berjalan membelah kerumunan, perempuan-perempuan yang akan ikut menjadi pendukung itu langsung menoleh ke arahku. Dane, dengan langkah lebarnya mendekat ke arahku. Hingga akhirnya kini ia ada di hadapanku. Tinggiku hanya selengannya, aku harus mendongak untuk melihat wajah ia. Namun itu tak akan aku lakukan, menatapnya hanya akan membuatku canggung di situasi seperti ini. "Kamu enggak ikut dukung aku hari ini?" Aku menggeleng pelan. "Kamu berangkat bareng aku, pakai mobil aku, ayo kita ke parkiran, aku emang lagi nunggu kamu." Tanpa basa-basi lagi dia langsung menarik tanganku. Aku berontak, tapi dia malah mengeratkan pegangan tangannya. Sampai akhirnya kita sampai di parkiran, dia langsung menatapku dengan tatapan yang tak pernah berubah. "Aku merasa kamu semakin hari semakin bebas menitahku, setiap kali kamu berkata, aku selalu harus menurut, seolah, kamu itu ...." Belum sempat aku berkata, dia sudah mencegah ucapanku dengan tangannya. Ia tempelkan jari telunjuknya di bibirku. Bibirku mengatup-ngatup ingin bicara lagi, tapi kini aku bungkam dengan sendirinya saat ia berkata, "Diam atau aku akan membuatmu benar-benar diam." Matanya menatap lurus mataku. Ia bukakan pintu mobilnya untukku. Akhirnya aku menurut, itu terus terulang, lagi dan lagi. Aku yang mengalah dan Dane yang terus memerintah. *** Dane menghentikan mobilnya di lapangan, tidak hanya ada mobil Dane di sana. Para peserta rata-rata membawa mobil sendiri, dan Dane satu-satunya orang yang tidak mau menerima tumpangan selain aku. Dia memang aneh. "Aku belum izin untuk ikut, Dane," ucapku setelah sekian lama diam. Bukannya menggubris ucapanku, dia malah meraih ponsel yang berada di hoodie-nya. "Aku udah minta izin sama guru BK," ucapnya setelah mengetik sesuatu di handphone-nya, entah apa yang ia ketik. "Kamu kenapa, sih, mesti kayak gini sama aku?" ucapku akhirnya. "Karena aku butuh kamu dan aku peduli sama kamu," jawabnya enteng setelah aku mengimbang-imbangkan apa yang ingin aku katakan itu. Dia memang ... menyebalkan. "Butuh? Peduli?" Dia mengangguk seraya membelokkan arah pandangnya ke arahku. "Butuh tipe wanita seperti kamu, untuk menjadi pendampingku setelah Athar dan dia pergi. Peduli karena kamu adalah kesayangan orang yang aku sayangi." Sudah kukatakan, Dane hanya baik kepadaku karena Athar, dan ... butuh. Mengenaskan memang. Namun, siapa "dia" yang Dane maksud? "Enggak banyak wanita kayak kamu, Ra, aku merasa beruntung bisa bertemu kamu, dan diberi kesempatan untuk dekat sama kamu. Apa kamu tau? Wanita-wanita yang dekati aku itu hanya memandang wajah dan uangku, kalau kamu ... aku yakin kamu enggak suka sama wajah dan uangku bukan? Kamu mendekat pun karena Athar yang meminta?" Kini giliran dia yang mengira aku dekat dengannya karena Athar. "Dan aku berpikir ... apa salahnya aku membuka lembaran baru dengan kamu, sahabat baruku." Kulihat Dane menaik-turunkan alisnya. Aku bungkam, benar-benar bingung ingin bicara apa. Sebenarnya masih ada yang ingin aku tanyakan, yakni perihal "yang katanya" dia punya trauma dengan wanita. Namun, entah mengapa aku selalu enggan bertanya kepadanya. Harus punya keberanian tinggi untuk bertanya hal-hal yang berbau privasi seperti itu. Dane mulai menyalakan mesin mobilnya. Mobil-mobil peserta lain dan mobil para pendukung pun sudah mulai berjalan. "Nanti kamu duduk di depan, biar aku yang cariin tempat duduk buat kamu. Enggak usah gabung sama anak Adiwangsa, mereka malah nanti banyak tanya sama kamu, dan aku tau, kamu benci situasi itu, kan?" Aku mengangguk. "Terima kasih." Dia terkekeh kecil. "Untuk apa?" "Karena kamu peduli padaku." "Aku pernah peduli dengan orang tapi dikecewakan, aku pernah dipedulikan tapi aku mengecewakan, aku takut itu terulang. Bisakah kamu menjamin itu enggak terjadi lagi?" ucapnya tiba-tiba. Setahuku Dane yang ada di organisasi itu memang kritis, tapi ia jarang sekali bicara hal-hal tidak penting, apalagi masalah pribadinya. Dan Dane yang ada di umum, terlihat pendiam, tapi belum lama aku melihat dia lebih agresif dan ... kasar. Jadi, sebenarnya seperti apa Dane itu, aku merasa sulit memahaminya. "Aku enggak bisa menjamin, karena aku bukan Tuhan, tapi, aku bisa berada di sisi orang yang mengerti tentangku, selalu. Kalau perbedaan frekuensi ada di diri kita, aku enggak bisa meyakinkan kita bakal bersama-sama lagi, saling peduli lagi." Kulihat Dane tersenyum. "Itu jawaban yang aku tunggu, bukan jawaban meyakinkan yang nyatanya mengecewakan." Aku terdiam. Tampaknya ada masalah yang pernah Dane alami. Kalau dia sampai berani bercerita padaku, apakah dia memercayaiku? Ayolah, Ra, jangan mudah berspekulasi terlalu tinggi kalau nanti realita tak seindah ekspektasi. "Athar pernah cerita, katanya, kamu dulu enggak kayak gini, ada insiden, kan, yang buat kamu kayak gini?" Aku menghela napas pelan. Mengapa dia mudah sekali menanyakan privasiku, sementara aku malah enggan karena rasa takut lebih dominan. Aku mengangguk. "Kamu juga, kan?" Dane mengangguk sambil meniup ujung poninya. "Apa menurut kamu aku aneh?" Aku terdiam, ditanya apa jawabnya apa. "Aku sulit mendeteksi apalagi mengontrol emosiku, tapi denganmu, Athar dan dia, entahlah. Mungkin kalian punya sisi tersendiri yang membuat jiwa agresifku mengalah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD