AAR - 02

1808 Words
Menghirup udara segar alias bercampur polusi udara. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, akhirnya Roro Sri Widari sampai juga di terminal kota. Gadis itu merasa sangat senang, puas, dan jiwanya untuk bekerja bangkit kembali. Matanya menyisir segala penjuru terminal ini. Kemudian menggeleng keras, “nggak mungkin kerja di terminal. Mau jadi apa aku!? Penjual kacang?” “No!” Lulusan SMA, Roro tentu bisa sedikit-sedikit berbicara bahasa inggris, apa ia menawarkan dirinya untuk menjadi pemandu wisata di kota Yogyakarta ini? Keputusan yang tidak masuk akal. Menjadi pemandu wisata pun merupakan orang-orang yang berpendidikan, menguasai berbagai bahasa, dan semua itu tidak masuk pada apa yang terdapat dalam diri Roro. Ah, menyesal karena tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, padahal Roro merupakan murid yang cukup berprestasi dulu. Memenangkan lomba pidato—kemampuan mengocehnya sudah tidak bisa diragukan lagi, Teman.. Menelusuri jalan ramai penuh dengan kendaraan roda dua hingga roda empat ini, Roro merasa menjadi gembel di kota kelahirannya sendiri. Lapar mulai melandanya. Roro jadi teringat oleh bungkusan kertas minyak yang tadi sempat ibunya masukkan ke dalam tas besarnya ini. Mungkin beristirahat sejenak tidak membuatnya kehilangan kesempatan untuk mencari pekerjaan bukan? Toh, di sini—kesehatan nomor satu. Makan dengan lahapnya di sebuah ruko penjual bakso yang tutup, Roro bersyukur karena memiliki tempat untuk berteduh walau sejenak. “Jambrett!!” teriakan wanita itu nyaring di telinga Roro. Ternyata seorang ibu-ibu tengah mengalami tindak kejahatan. Roro tentu tidak bisa diam saja. Mengabaikan nasinya yang belum habis itu, Roro menyambar tas besarnya kemudian secepat kilat berusaha mengejar penjambret itu. Memasuki gang-gang, hingga penjambret itu kalang kabut saat dirinya memasuki kompleks orang kaya. Darimana Roro tahu? Penglihatan dan penilaiannya tidak pernah meleset. Pasalnya di sini semua rumah mewah, bertingkat dua hingga tiga! “Masuk ke lubang harimau, heh?” Roro tersenyum puas saat para satpam yang berjaga itu menangkap tersangka penjabretan. Bapak-bapak yang ikut berlari di belakangnya pun segera membantu untuk meringkus penjambret ini agar tidak menjadi sasaran para warga lainnya. Roro cukup lega, ia pun mengambil tas yang dijambret oleh pelaku—kemudian memberikannya langsung kepada seorang ibu yang kira-kira seumuran dengan ibunya. Nafas ibu itu terengah-engah karena mengikuti semua orang yang tengah mengejak pelaku tadi. Kasihan, Roro pun bermaksud memberikan sebotol air mineral yang ada di dalam tasnya. “Minum dulu, Bu..” “Terima kasih, Nduk.” Suaranya sangat lembut. Ah, Roro jadi teringat dengan suara ibunya yang lembut. Kapan terakhir kali ibunya menggunakan nada lembut? Mungkin sewaktu Roro SMA dan memenangkan piala lomba pidato! “Terima kasih banyak ya, Nduk. Kamu seorang penari? Riasan kamu—“ Roro menggeleng. “Saya memang sangat cantik, Bu. Tapi saya bukan penari.” “Saya gadis kampung yang merantau ke kota untuk mencari pekerjaan.” Mencoba peruntungan dari hasil jerih payahnya menolong si ibu, Roro pun membeberkan tujuannya pergi ke kota ini. Siapa sangka jika si ibu ini memiliki pabrik!? Penuh harap, Roro menunggu si ibu menanggapi ucapannya barusan. Ternyata hanya helaan napas yang didengarnya. “Oh kamu cari kerja. Andai ibu punya pabrik, sudah ibu jadikan managernya kamu, Nduk.” SI-AL. Terjawablah sudah prasangka Roro yang terlalu positif itu! Ternyata, tidak semua prasangka positif, akan membuahkan hasil yang positif pula. “Aamiin Ya Rabb, siapa tahu nanti Ibu punya pabrik..” “Aamiin.” Hanya sampai di situ pertemuannya dengan si ibu, mungkin. Karena setelahnya beliau berpamitan hendak pergi menjenguk putranya yang dirawat di rumah sakit karena mengalami kecelakaan sehabis balap motor liar. Baru saja, Roro keluar dari zonanya yang menjadi beban keluarga. Kini di kota ia justru menjumpai beban keluarga lainnya. Hendak pergi meninggalkan area kompleks orang kaya yang dijaga ketat oleh satpam itu. Mata Roro pun membulat sempurna tatkala melihat sebuah selebaran kertas yang tertiup angin itu melintas di hadapannya. Sepertinya rezeki anak sholeh karena ikhlas membantu orang yang tengah kesusahan tadi. Dicari seorang perawat lansia dengan kriteria sebagai berikut : Tanpa membaca-baca poin yang tertera di sana. Mata Roro langsung terfokus pada alamat yang tertera. Gerak cepat sebelum diserobot orang, Roro akhirnya mendapatkan alamat yang tertera dalam selebaran ini berkat berani bertanya pada beberapa satpam yang sedang berjaga. “Jadi saya boleh masuk ke dalam kompleks, Pak?” “Kamu serius mau melamar pekerjaan itu?” “Ya serius dong, Pak! Eits, jangan melihat saya dari penampilan saya ya, Pak. Saya gadis baik-baik dan lugu kok, bonus cantik mempesona. Jangan suka sama saya ya, Pak..” peringat Roro yang merasa satpam muda di hadapannya itu menelisik penampilannya dari atas ke bawah. Bayangkan saja, Roro memakai dress kado ulang tahun almarhumah eyangnya. Masih sangat muat karena dijahit dengan ukuran besar. Warnanya tidak pudar, padahal bermotif batik. Dandanan Roro yang menurutnya sudah sempurna paripurna itu, ternyata menyeramkan bagi orang-orang kota. Foundation keputihan karena ia hanya memiliki satu shade saja, Eyeshadow yang warnanya sangat mencolok, blush on merah yang terkesan kebanyakan, belum lagi lipstiknya yang berwarna merah cabai itu. Siapa pun yang melihat Roro, mungkin akan mengira Roro orang aneh yang tidak bisa menentukan warna yang cocok untuk riasan wajahnya. Menelan ludahnya sendiri ketika Roro memperingatkan dirinya untuk tidak suka kepada gadis dengan riasan aneh ini. Satpam itu pun tanpa berlama-lama membukakan akses masuk untuk Roro. “Silahkan, bisa mencari rumahnya sendiri ‘kan?” “Bisa dong! Saya gini-gini pintar lhoo, Pak.” Roro berjalan masuk ke dalam lingkup yang sudah seperti pameran istana itu. Semua orang yang tinggal di sini, rumahnya tidak ada yang tidak bertingkat. Minimal tinggal dua! Kaki Roro terus menyusuri jalan sepi ini, sembari sesekali melihat alamat yang tertera dalam selebaran itu. Hingga terhentilah langkah Roro saat yakin ia sudah menemukan alamat yang dimaksud di dalam selebaran. “Kata Ibu, apapun itu—kudu Bismillah dulu.” Langkah Roro terhenti tepat di depan rumah mewah bercat dominan serba putih bersih itu. Mengusap dadanya yang tiba-tiba berdegup kencang. Roro pun mengucap bismillah sebelum tangannya memencet bel rumah gedongan ini. Tak lama kemudian, muncullah seorang wanita paruh baya yang penampilannya cukup rapih, tetapi firasat Roro mengatakan, beliau ini bukanlah sang pemilik rumah. Terlihat dari serbet yang bertengger di pundak wanita itu. Dengan tatapan yang meragu pada Roro. Wanita itu bertanya, “Mohon maaf, dengan siapa ya?” “Saya,…saya Aurora Prita. Selebaran ini masih belum kadaluarsa ‘kan, Bu? Saya hendak melamar menjadi perawat lansia di rumah ini,” jelas Roro langsung pada intinya. Senyum lebar Roro mengembang, menciptakan keretakan foundationnya yang lupa diset menggunakan bedak tabur tadi. Aurora Prita. Nama gaulnya di seluruh sosial media! Nama agungnya Roro Sri Widari hanya ia gunakan saat di kampung. Di kota, ya jelas berbeda! “Ah iya, silahkan masuk. Apa sudah membuat janji dengan Nyonya Risda?” Roro menggeleng, dan berharap dirinya tidak diusir dari sini karena tidak mengenal siapapun sosok pemilik selebaran lowongan pekerjaan tersebut. Tuhan rupanya masih berbaik hati pada Roro. Roro dengan mudahnya diizinkan untuk masuk ke dalam rumah besar itu. Ah, mirip sekali dengan rumah-rumah orang kaya yang sering ia saksikan di ponselnya melalui aplikasi pemutar video online, logonya berwarna merah. “Siapa ini, Mbok?” “Oh ini, Nyonya. Pelamar kerja.” Bertemulah Roro dengan sang calon majikan. Dengan penuh hormat, Roro pun mencium tangan wanita itu. Sungguh, tangan Nyonya Besar itu sangat wangi, putih, bersih dan sangat halus. Sepertinya memang tidak pernah mencuci baju atau mencuci piring! Keinginan untuk mendapatkan suami kaya raya pun meningkat. Sabar, Ro.. “Ya sudah kalau begitu, saya ke pamit ke belakang, Nyonya.” “Iya, Mbok.” Setelah kepergian si Mbok itu, Roro kini gugup setengah mati karena sejak beberapa menit yang lalu, ia hanya duduk sembari berhadapan dengan tatapan Nyonya Besar yang sangat teliti. Menyisir penampilan Roro dari atas hingga bawah. Ah, Roro lupa melepas sandal jepit kampungnya! Andai saja ibunya tidak memarahinya karena memakai sandal berhak tinggi. Sudah pasti penampilan Roro yang menurutnya cantik paripurna ini akan terdukung dengan sandal tersebut. Menyisipkan rambutnya di belakang telinga. Roro malu-malu berucap, “Maaf, Nyonya. Sandal butut saya masuk ke dalam rumah.” Satu menit. Dua menit, hingga Nyonya Besar itu mencerna ucapan Roro yang merasa tidak enak hati itu. Tanpa diduga oleh Roro, wanita itu justru tersenyum lebar. “Tidak apa-apa. Anggap rumah sendiri ya..” Apa!? Roro tidak salah dengar? Anggap rumah sendiri? Apa itu tandanya ia benar-benar diterima dengan tangan terbuka di rumah ini? Tujuh keajaiban dunia sepertinya akan bertambah satu! Roro memecahkan rekor satu hari sudah mendapatkan pekerjaan di kota! “J—jadi saya diterima, Nyonya?” “Justru saya yang harusnya bertanya, kamu sudah yakin untuk menjadi perawat ibu mertua saya yang sudah lansia? Kamu masih muda lhoo, maaf, bukannya saya meragukan kamu. Tetapi, kami membutuhkan seorang perawat lansia yang telaten dan penyabar tentunya. Menghadapi orang yang sudah lansia tidaklah mudah.” Baru kali ini Roro bertemu dengan orang kaya yang dari tutur katanya sangat halus, lembut dan sepertinya penuh segala pertimbangan agar tidak menyakiti hati orang lain. Roro semakin senang saja karena ia tidak salah memilih tempat kerja. Walaupun nanti pekerjaannya merawat lansia. “Saya yakin, Nyonya. Saya sangat membutuhkan pekerjaan.” “Baiklah. Apa ini akan menjadi pekerjaan sampingan kamu? Sepertinya, kamu seusia anak ketiga saya. Kamu masih kuliah?” “Saya orang kampung, Nyonya. Pendidikan saya hanya sampai di jenjang Sekolah Menengah Atas.” Sempat terdiam sejenak. Risda pun tak mau ambil pusing. Dari penilaiannya pertama kali saat melihat gadis di hadapannya ini, gadis ini merupakan gadis baik-baik, bisa dibilang polos—hanya saja penampilannya begitu mencolok. Risda tak bisa membayangkan bagaimana nantinya reaksi putra-putrinya tatkala melihat gadis ini. Masa bodoh dengan hal itu, Risda kembali pada niat awalnya—mencari seorang perawat lansia tidaklah mudah. Kali ini, Risda telah mengambil keputusannya sendiri karena sang suami telah menyerahkan seluruh wewenang tentang hal yang satu ini pada Risda. “Tidak masalah, jangan berkecil hati. Kamu saya terima. Nama kamu siapa?” “Aurora Prita.” “Boleh saya melihat kartu identitas kamu. Kamu sudah memiliki KTP?” “Sudah, Nyonya. Ini..” Roro pun segera merogoh KTP-nya yang tersemat di dompet buluknya itu. Risda menyaksikan segala pergerakan gadis di hadapannya itu dengan seksama. Hal tersebut tentu saja membuat Roro semakin gugup. Barang-barangnya mungkin menjadi sampah di rumah mewah ini. “Roro Sri Widari?” Kening Risda mengkerut sempurna tatkala membaca sederet nama asing di KTP. “Alias Aurora Prita, Nyonya. Bagus tidak?” Tidak mengharapkan si nyonya akan menanggapi celotehan konyolnya itu. Roro tetap mencoba percaya diri dengan apa yang ia miliki. Memang inilah dia yang sesungguhnya. “Bagus..” puji Risda dengan senyum tulusnya. Seketika itu juga, Roro merasa sangat bersyukur karena dipertemukan dengan Risda. Wanita tulus yang mau merangkulnya dengan segala kekurangan dan juga sikap konyol Roro ke depannya. Semoga saja keputusan Risda menerima Roro ini tidak akan pernah diselalinya seumur hidup! “Nama saya, Risda. Mari saya antar menemui ibu mertua saya..” ajak Risda yang seketika membuyarkan lamunan Roro yang tengah memuji kebaikan Risda dalam hatinya itu. “Mari, Nyonya Risda.” ***

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD