Sebuah Tantangan

1571 Words
Desas-desus bermunculan setelah Jonathan mengatakan akan memberikan cincin kepada Julie, yang sialnya hal itu didengar dan disebarluaskan oleh Andre. Walau pria itu tak berhasil memasangkan cincin tersebut di jari manis Julie, tapi desas-desus ini sudah terlanjur tersebar. Bermula dari satu orang yang terus berlanjut ke orang-orang berikutnya. Alhasil Julie makin pusing. Ke mana lagi ia harus pergi untuk menenangkan diri? Pagi ini ia hanya berniat mencari makanan, tapi ia baru membuka pintu dan turun ke lantai bawah, para kurcaci-kurcaci nakal itu sudah mengerumuninya bak semut. Menodongnya dengan sekian banyak pertanyaan tentang kapan hari pernikahannya digelar atau bagaimana kisah cinta Ibunda Ratu dan Ayahanda Raja mereka bermula. Sial, bukan? Kurcaci-kurcaci nakal itu bahkan telah memiliki gelar pasangan untuk Julie dan Jonathan. Sang Ibunda Ratu dan Ayahanda Raja. Julie muak sekali mendengarnya. “Ibunda Ratu, kok cincin dari Ayahanda Raja gak dipake?” “Nanti kita-kita diundang kan ke acara nikahannya Ibunda Ratu dan Ayahanda Raja?” “Setelah nikah, Ibunda Ratu dan Ayahanda Raja bakalan tinggal di mana?” “Ibunda Ratu kenal Ayahanda Raja di mana?” Pertanyaan-pertanyaan sialan itu langsung membuat Julie merasa ditonjok. Seolah kepalanya sedang dipukuli dari berbagai arah. “RIBUT BANGET SIH KALIAN!” teriak Julie. “Kenapa kalian mengganggu Ibunda Ratu kalian?” Ah, suara menyebalkan itu. Julie makin muak mendengarnya. Ia sedang dibela, tapi kok kesal sekali jadinya. “Ciyeee … Ayahanda Raja belain Ibunda Ratu.” Kurcaci-kurcaci nakal itu menyoraki Julie dan Jonathan. Menggoda keduanya yang terlihat amat bertolak belakang. Julie yang getol menolak, sementara Jonathan yang kekeh PDKT. “Mau ke mana pagi-pagi gini?” tanya Jonathan saat ia berjalan mendekati Julie. “Ciyeee ….” Sorakan kurcaci-kurcaci nakal itu makin menjadi. “BISA DIAM, GAK!” Itu bukan pertanyaan, tapi perintah untuk diam. Dan perintah itu Julie teriakkan saat ia balikkan tubuhnya kepada cowok-cowok kepo dan cerewet itu. “Gak usah berisik. Kalo kalian segitu bersemangatnya, mending sana cari uang buat bayar kos, termasuk tunggakan-tunggakan kalian dari bulan lalu. Aish … Sial! Bikin mood orang berantakan aja.” “Sshh ….” Jonathan menaruh jarinya di depan bibir, mengode penghuni-penghuni kos yang lain agar tenang dan tak lagi menggoda Julie. “Jangan godain Ibunda Ratu kalian lagi.” “Om juga gak usah berisik banget!” ketus Julie. “Gak usah belagak belain Julie, gak usah belagak peduli, gak usah sok baik, gak usah pamer-pamer uang Om. Pokoknya gak usah ngapa-ngapain, mendingan Om balik ke tempat asal Om. Mau Om di sini atau gak, Julie gak bakalan nikah sama Om. Om sadar diri dong, Om tuh udah tua. Dibandingkan jadi istri Om, Julie tuh lebih cocok jadi anaknya Om. Atau Om punya anak, gak? Gimana kalo Om nikahin Julie sama anaknya Om aja?” Tatapan dan ucapan Julie mengiris hati Jonathan. Tapi, pria itu mencoba tetap memasang raut wajah sebiasa mungkin. Tak ingin menunjukkan bahwa ia menyimpan sedikit kesedihan setelah mendengar ucapan gadis itu. “Om sebenarnya sadar umur, gak? Kalo gak, biar Julie yang kasih tau berapa umur Om yang sebenarnya. Empat puluh enam tahun … hh ….” Julie mendengkus. “Apa umur segitu, Om pikir cocok menikahi Julie? Jangan kira hanya karena Om punya aset trilyunan akan membuat Julie tergila-gila.” “Kenapa kalo saya tua?” “Saya gak mau nikah sama orang tua seperti Om.” “Meskipun saya kaya?” “Iya. Saya lebih memilih yang miskin, asal masih muda.” “Kalo salah satu dari mereka … apa kamu mau?” Jonathan asal menunjuk salah satu dari kurcaci-kurcaci nakal itu. “Mereka masih muda, apa kamu mau? Yang untuk uang sewa kos saja masih menunggak. Apa kamu mau?” Julie diserang balik. Mendadak ia tak punya ucapan balasan. Hanya bisa menelan air liurnya, itu pun terasa amat berat. Maukah Julie menikah dengan salah satu penghuni kosnya? Walau memang masih muda, tapi bersediakah Julie menyerahkan hidupnya pada cowok-cowok yang untuk membayar uang kos saja masih tak jelas. Kadang bisa membayar, kadang tidak, kadang masih harus menunggu uang kiriman dari orang tua mereka di kampung. Lantas bagaimana cowok itu akan menghidupi Julie ke depan? Bagaimana cowok itu akan bertanggung jawab untuk keluarga mereka nantinya? Untuk kebutuhan sehari-hari, untuk kebutuhan anak-anak? Julie meringis …. Haruskah ia yang menjadi tulang punggung keluarga. Membiayai kuliah suaminya? Haruskah setelah ia menikah, lantas masih meminta uang pada Pak Pramudya agar biaya hidup mereka tetap terpenuhi. Tegakah ia meminta agar papanya membiayai kuliah suaminya? Haruskah ia melabeli dirinya sebagai beban keluarga semur hidup? “Tidak bisa menjawab?” Jonathan tertawa, mengolok-olok ucapan Julie. “Nikahilah salah satu dari penghuni kosmu.” Jonathan menantang. “Nikahilah cowok yang masih muda, walau secara finansial masih nol. Kita lihat, kamu bertahan atau tidak. Atau bahkan sebelum menikah, siapkah kamu atau tidak untuk menerima cowok muda itu?” Jonathan tersenyum miring, menunjukkan seringaiannya. Sementara Julie sudah gemetaran. “Saya kasih waktu satu bulan, nikahilah salah satu penghuni kosmu. Kalau dalam sebulan kamu tidak menikahi siapa pun, di awal bulan berikutnya kita yang menikah. Kamu …,” tunjuknya pada Julie. Telunjuk pria itu lurus terarah pada Julie, seolah menembus jantung gadis itu. Membuat ia merasa amat tersiksa mendengar ketegasan sekaligus ancaman pria itu. “… menikah dengan pria tua ini.” Jonathan berlalu dengan percaya diri, masuk ke mobilnya lalu meninggalkan tempat kos tersebut menuju kantornya. Meninggalkan Julie yang sesak napas karena keangkuhan dan ucapan ngasalnya. Sekali lagi ia ngomong ngasal, dan kali ini yang paling parah. Karena Jonathan menantangnya balik. Gadis itu terduduk di tanah berumput, bukan sedang bermaksud piknik. Tidak sama sekali. Hanya saja, ia sungguh tak mampu menopang tubuhnya lagi. Ia jatuh begitu saja, ditambah dadanya yang sesak. Bagaimana ia harus bersikap sekarang? Mulut terkutuk! “Ayo bangun, Ibunda Ratu. Ayo masuk, jangan duduk di sini.” Andre dan Aan membantu. Dua cowok itu di masing-masing lengan Julie, mereka mengamitnya untuk menarik Julie berdiri. Mereka membawa Julie untuk duduk di teras kos-kosan. Mereka dudukkan Julie di kursi plastik sembari beberapa cowok mengipas-ngipas Julie dengan kertas. Menenangkan Ibunda Ratunya yang hampir pingsan. “Ibunda Ratu baik-baik aja, ‘kan?” tanya Kino. “Mau dianterin ke rumah sakit, gak?” Sofyan—salah satu penghuni kos—menawarkan. Julie hanya menggeleng lemah sembari meremas cardigan rajut yang ia pakai, tepat di bagian dadanya. Gadis itu sedang mencoba menenangkan diri, menenangkan betapa ribut suara di jantungnya. Ia takut. Sumpah, pria itu sangat menakutkan. “Emak Brenda tuh sering ngomong gini di kampung, jangan suka ngatain cowok, tar kualat, jadi suami loh.” Cowok yang melabeli dirinya dengan nama Brenda, walau nama aslinya adalah Burhan. “Kalo macam Om Jonathan, Brenda mau ngatain, biar Brenda dijadiin istri. Auhh … Om Jon ah … jadiin Brenda istrimu.” “Preettt ….” Cowok-cowok lain langsung muak dengan kecentilan cowok melambai pemilik kamar 22 itu. “Ini lagi cewek jadi-jadian kegatalan sama Om Jonathan.” “Ambil aja, Bren. Sumpah ambil aja. Jadiin suami kamu. Aku dukung.” Julie meraih tangan Brenda dengan penuh harap. “Plisss … kamu aja yang nikah sama Om sialan itu.” “Kalo Om Jon mau, Brenda mah nurut aja atuh. Brenda rela diapain aja sama Om Jon.” Brenda melebarkan tangan, membusungkan d**a, seolah tengah memamerkan keseksiannya. Membayangkan jika di hadapannya sedang ada Jonathan yang memanggil-manggil dirinya untuk memeluk pria itu. “Om Jon, aww … awww ….” “Ngapain loe aww … aww …. Diienjek siapa?” “Bukan diinjek, tapi ditusuk Om Jon, aww … Om Jon … tusukin Brenda.” “Preeetttt … gatel banget ini orang.” Andre jijik sekali melihat wajah Brenda. Cowok itu sampai mengusap-usap lengannya, berasa merinding kalau sudah dengar kemesuman Brenda yang suka sekali membayangkan b******a dengan sesama pria hanya karena ia membelok. “Sakit parah nih orang.” “Sirik aja loe,” balas Brenda. “Berisik banget sih. Aku tuh pusing.” Julie bangkit berdiri, kakinya agak sempoyongan saat ia mendorong cowok-cowok itu agar ia bisa lewat dengan mudah. Sampai di kamarnya, sendirian … dan Julie makin merasa ketakutan. Ia tidak bermaksud mengatai atau bagaimana. Ucapannya tadi dipicu oleh ejekan-ejekan dari kurcaci-kurcaci nakalnya. Moodnya sudah jelek sejak beberapa hari terakhir, bahkan sejak beberapa pekan terakhir, dan makin menjadi sejak ia diumumkan sebagai pemenang oleh Pak Pramudya. Dan dalam kemenangannya mengelola kos-kosan, ia diberi hadiah berupa suami kaya. Itulah masalah utamanya. “Apa aku harus minta maaf?” tanyanya pada diri sendiri. “Tapi, kalo aku minta maaf, apa itu berarti aku bersedia menikah dengannya?” Ia pukuli mulutnya. Sial, sudah berapa kali ia berada dalam masalah karena mulut terkutuknya itu. Dan masalah paling besar adalah saat ini. Gara-gara ia mengatai Jonathan dan ia ditantang untuk menikahi cowok yang miskin selama cowok itu masih muda. Jujur saja Julie tak mau. Kalau disuruh menikah dengan cowok yang masih kuliah, uang kuliah dan uang kosnya masih menunggu kiriman dari orang tua. Jelaslah ia tak mau. Pantaskah cowok seperti itu dinikahi? Realistis saja, Julie menolak. Seumur hidupnya ia sudah dimudahkan dengan kenyataan lahir sebagai anak orang kaya. Mau makan apa pun, bisa pesan sesuka hati. Mau pakai baju-baju mahal, tinggal beli. Mau masuk kuliah walau nilainya kurang bagus, tinggal bayar dan bisa ikut kuliah Teknik Elektro. Nilainya tak tuntas, dituntaskan dengan uang. Lucu, tapi memang uang menjadi solusi segala permasalahan hidup Julie. Jadi, bersediakah ia hidup bersama pria muda tapi tanpa uang atau dengan pria tua tapi bergelimangan harta? “Bukan cuman tua, dia ubanan, menyebalkan, menakutkan, suka memaksa, dan sepertinya sangat suka pamer kekayaannya.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD