Dighosting Julio

2360 Words
“Bodoh! Bodoh!” Julie mengumpati dirinya. Pun memukuli bantal-bantalnya. Ah, belum lagi aksi bergulingnya di atas kasur. “Kenapa aku mengatakan hal sebodoh itu?” Terhitung sudah 6 jam, 12 menit, dan 50 detik sejak Julio meninggalkan rumahnya. Dan sejak saat itu, tak sedetik pun Julie berhenti merutuki kebodohannya. “Dasar mulut gak tau diri! Bikin malu! Astaga!” Gadis itu menjerit. Ini sudah hampir subuh, hampir jam 4. Tapi, masih tetap melakakukan hal gila. Dan ia merasa sudah benar-benar gila sekarang. “Julio berengsek!” umpat Julie. Sebenarnya siapa yang salah? Ia atau Julio? Sampai-sampai membuatnya mengumpati pria itu subuh-subuh begini. “Tapi, dia manis banget. Mana dia manggil-manggil ‘Aiii …’ terus. Manggilnya bisa biasa aja gak sih? Gak usah bikin orang baper. Dasar!” “Aiii ….” Suara pria itu terus terulang, mengalun dengan amat lembutnya. Membuat Julie marah, kesal, tapi juga terkadang senyum-senyum sendiri. “Kenapa aku malah ngajakin dia pacaran?” Yah, Julie yang mengajak pria itu pacaran. Sayangnya Julio tak menjawab apa pun hingga ia meninggalkan rumah gadis itu. Membuat Julie sibuk menerka berbagai kemungkinan. Seperti Julio tak menyukainya balik. Atau justru Julio saking senangnya sampai pria itu tak bisa menjawab. Senang apanya? Julio justru terlihat kaget saat Julie dengan beraninya menanyakan hal itu. Tak ada jawaban, karena Julio justru mendapat telepon yang membuat ia harus segera meninggalkan kediaman gadis itu. Tak ada kata-kata Julio yang menunjukkan bahwa ia akan mempertimbangkan ucapan gadis itu. Begitu ia selesai menjawab teleponnya, ia langsung bergegas pergi. Begitu saja, seolah apa yang dikatakan Julie tak pernah terucap. “Ini artinya aku ditolak? Atau cuman digantung? Cih, cowok berengsek! Bikin perasaan orang kacau aja.” **** Tiga hari Julie ditinggalkan tanpa kabar dan tanpa jawaban. Pria itu tak pernah lagi mengunjunginya. Pun tak ada percakapan melalui ponsel karena sampai hari ini, ponsel Julie tetap berada di kos-kosan dan ia masih belum ke sana untuk mengambilnya. Singkat cerita, kisah itu seolah telah terputus bahkan sebelum dimulai. Julie uring-uringan tiga hari terakhir. Gadis itu banyak mengurung diri di kamar, yang dikira Bu Margaretha karena sedih gara-gara masih mengkhawatirkan masalahnya dengan Jonathan. Rupanya anak gadis Bu Margaretha itu sedang galau karena ditolak tanpa ada kata penolakan oleh Julio. “Bukankah saat ia menghilang dan tak muncul-muncul lagi sudah menunjukkan bahwa ia menolak? Hhh ….” Julie mendesah panjang. “Kenapa juga aku masih berharap?” Tok … Tok … Tok …. Suara ketukan itu membuat Julie mengangkat wajah ke arah pintu kamar yang tertutup. “Jul, ini Mama.” Setelah suara ketukan dan suara Bu Margaretha terdengar, wanita itu muncul di ambang pintu. “Ada telpon buat kamu.” Bu Margaretha menyodorkan ponselnya. Julie segera melompat turun dari tempat tidurnya. Lihatlah wajah gadis itu yang bersemu merah, penuh semangat, dan penuh harap. “Dari Julio, Ma?” tanyanya. “Bukan,” jawab Bu Margaretha. “Dari Pak Ahmad yang di tempat kosan papamu.” “Oh ….” Julie membalas dengan nada kecewa. Tapi, tetap ia raih ponsel tersebut lalu. “Iya, Be. Ini Julie.” “Assalamualaikum, Neng. Ini Babe. Maaf, gangguin Neng Julie, nih.” “Waalaikumsalam, Be. Gapapa kok, Be, kenapa ya?” “Sekali lagi mohon maaf ya, Neng, ini Babe sampe nelpon ke HP nya Ibu karena HP Neng Julie gak bisa dihubungi.” “Gapapa, Be. HP saya ketinggalan di kos, gak sempat diambil waktu balik ke rumah.” “Ini, Neng. Kebetulan Babe lagi di rumah sakit.” “Loh, Babe Ahmad sakit? Sakit apa, Be?” Julie langsung bertanya dengan cemas. “Bukan Babe, Neng. Tapi, anak bungsunya Babe. Si kecil tadi pagi abis ditabrak motor.” “Astaga, jadi gimana kondisinya, Be?” “Alhamdulillah gak terlalu parah, Neng. Cuman kata dokter harus nginep di rumah sakit beberapa hari.” “Ya ampun, turut sedih dengernya, Be. Semoga Adek Awan cepat sembuh,” ujar Julie, menyembutkan nama anak bungsu Babe Ahmad. “Iya, Neng. Makasih banyak. Oh ya, Neng. Karena Babe di rumah sakit, jadi gak ada yang ngurusin kos-kosan. Padahal ada orang yang mau nyewa kos. Neng Julie inget gak yang minggu lalu keluar dari kamar 14, nah malam ini ada yang mau tempatin kamar itu juga, Neng.” “Kalo gitu biar Julie yang nyamperin aja, Be. Babe fokus jagain Adek Awan aja dulu di rumah sakit. Titip salam buat Enyak sama Adek Awan, Be, semoga cepet sembuh.” “Iya, Neng, terima kasih. Nanti Babe sampein salamnya.” Julie mengembalikan ponsel mamanya setelah panggilan telepon dari Babe Ahmad terputus. Gadis itu segera meraih lengan mamanya, berniat membujuk. “Ma, Julie boleh balik ke kosan, gak?” “Ah, jangan bikin masalah, Jul. Inget kata kakak-kakakmu, untuk sekarang kamu gak usah ke mana-mana dulu.” “Tapi, di tempat kos ada yang mau nyewa, Ma. Tapi, Babe Ahmad lagi ngurusin anaknya yang abis ketabrak motor.” “Suruh cari kosan lain aja,” putus Bu Margaretha. “Di sekitar sana kan banyak tempat kos.” “Ya elah, Ma. Katanya Julie disuruh belajar buat ngelola kos-kosan punya Papa. Giliran udah mau belajar, eh dilarang.” “Mama tuh bukan maksud ngelarang kamu, Jul. Mama justru melindungi kamu. Mama gak mau kamu ke sana terus kenapa-napa.” “Gini deh, kalo Mama mau lindungin Julie, Mama temenin Julie ke sana. Kita nginep semalem di sana. Lagian kan di sini juga gak ada papa, Ma. Papa keluar kota. Mama temenin Julie aja ke tempat kosan, boleh, ‘kan?” Bu Margaretha mendesah panjang. Julie memang pintar membujuk. “Ya udah, ayo ke sana. Tapi, cuma untuk semalam. Besok kita balik ke rumah lagi.” “Siap, Mamaku yang paling baik,” ujar Julie dengan ceria lalu mencium pipi mamanya. Setelah Bu Margaretha memberi izin sekaligus bersedia menemaninya ke tempat kos-kosan, Julie segera bersiap-siap. Gadis itu bahkan mengambil beberapa bahan makanan seperti sayur dan daging ayam dari kulkas. “Katanya cuma mau nginep semalem, besok udah mau pulang. Tapi, sampe ngambil makanan mentah. Kayak orang mau tinggal lama,” selidik Bu Margaretha setelah wanita itu berganti pakaian dan menemukan putri bungsunya tengah memasukkan beberapa bahan makanan ke dalam wadah plastik. “Buat sarapan besok, Ma.” “Buat sarapan?” ulang Bu Margaretha. “Julie mau masak? Mau masak buat siapa, sih?” goda wanita itu. “Buat Mama,” jawab Julie. Berkilah atas niat lain yang sebenarnya muncul di dalam benaknya. “Masa sih?” “Ayo, Ma, kita berangkat. Entar kemalaman.” Julie segera mengalihkan pembicaraan. Ia menggandeng lengan mamanya lalu keluar rumah. Bu Margaretha membiarkan Julie membawa mobil sendiri, lagian ia ada bersama gadis itu. Makanya ia yakin bahwa Julie cukup terlindungi. Untungnya tak ada hal-hal aneh yang mereka temui di perjalanan hingga tiba di tujuan. Objek pertama yang diperhatikan Julie saat ia turun dari mobil adalah kamar di lantai tiga, kamar bertuliskan angka 21. Sayangnya dalam keadaan tertutup. Objek berikutnya yang ia lihat adalah lapangan multifungsi di depan kos-kosan. Terakhir kali, ia melihat Julio bermain bulu tangkis di sana. Dan sayangnya lagi, pria itu tak nampak di tempat yang sama. Membuat ia menghela napas kecewa. “Kenapa?” tanya Bu Margaretha. “Gapapa, Ma.” “Ibunda Ratu! Ibunda Ratu!” Cowok-cowok yang sedang nongkrong di teras kos lantai satu langsung menghampiri Julie. Beberapa hari tanpa kehadiran ibunda ratu mereka di kos, membuat cowok-cowok itu merindukan omelan Julie. “Akhirnya Ibunda Ratu pulang juga. Kami kangen berat,” ujar Kino. “Halahh ….” Julie enggan percaya. “Oh ya, kata Babe Ahmad ada yang mau nyewa kos, mana orangnya?” “Itu, temennya temennya temennya Aan, pokoknya temen Aan,” jawab Andre sembari menunjuk seorang bertubuh cukup besar. “Bilangin suruh nunggu bentar, aku ambilin surat perjanjian sewa kos sama kunci kamar.” “Siap, Ibunda Ratu.” Andre dan Kino menghormat. Julie dan Bu Margaretha naik ke lantai dua, di kamar Julie. Gadis itu meletakkan barang-barang bawaannya lalu segera mengambil dokumen yang ia butuhkan serta kunci kamar. “Astaga, Jul. Kamarmu kok berantakan banget sih.” “Wajar dong, Ma. Kan Julie udah beberapa hari gak balik-balik ke sini. Makanya gak ada yang beresin.” “Bukannya kalo kamu balik sama aja, bakalan berantakan juga. Kamarmu di rumah rapi karena diberesin sama Embak yang di rumah.” Bu Margaretha mengomel sembari ia bergegas mengambil sapu. Beberapa helai pakaian kotor Julie pun ia punguti lalu dikumpulkan di keranjang. “Ma, Julie turun dulu.” “Iya, kalo udah kelar langsung naik lagi.” “Siap, Ma.” Begitu Julie turun dari tangga, ia berpapasan dengan Brenda yang sepertinya hendak keluar. Terlihat pakaiannya yang mentereng, disertai aroma tubuhnya yang amat menyengat. Entah berapa liter parfum yang dihabiskan cewek melambai itu. “Ibunda Ratu, Om Jon mana sih? Kok gak balik-balik ke sini lagi?” Brenda langsung menanyakan keberadaan pria incarannya itu. “Loh, kok nanya aku. Orang aku baru balik ke sini. Emangnya sejak kapan Om Jon kesayangan kamu gak pernah muncul di sini lagi?” “Sejak Julio gak balik ke sini juga,” jawab Brenda sambil mengerucutkan bibir. “Kok Julio?” “Iya, Om Jon itu sering nanya-nanya soal Julio. Terakhir kali Om Jon pulang dia juga nanya-nanya soal Julio. Apa bagusnya sih Si Julio itu? Kenapa Om Jon aku ngebet banget sama Julio? Kesel deh.” Brenda menghentakkan kakinya. “Emangnya dari kapan Julio gak pulang-pulang?” Julie mengorek info. “Udah beberapa hari sih. Tiga hari kayaknya. Dan selama itu pulalah Om Jon gak muncul. Tau gak, Ibunda Ratu, Brenda tuh kangen berat. Pengen ngelus, pengen membelai, ahh ….” Brenda mulai mendesah-desah sendiri. “Brenda tuh gak tahan kalo gak liat Om Jon. Bawaannya mumet, pusing. Brenda tuh pengen ditusukin Om Jon. Aww … awww … awww, pasti aduhai banget … ahh ….” Julie langsung menyingkir begitu mendengar kegilaan Brenda. Gadis itu bergegas menemui calon penghuni kamar nomor 14 yang sedang menunggunya. Perjanjian sewa selesai, kunci kamar diberikan, pembayaran pun lunas. Bobi nama pria botak itu. Di surat perjanjian, ia menuliskan umurnya 32 tahun. Julie sampai bingung sendiri dari mana Aan mengenal pria yang tampangnya menakutkan ini. Apalagi usianya cukup tua dibandingkan Aan yang masih berstatus mahasiswa. “Semoga betah tinggal di sini,” ujar Julie saat ia mengulurkan tangan untuk menyalami pria itu. Mencoba ramah sebagai seorang Ibunda Ratu yang baik. “Iya.” “Semoga bayar kosnya juga lancar,” lanjut Julie dengan cengiran. Pria itu tak menjawab, hanya menunjukkan dua jempolnya lalu masuk ke kamarnya. “Gak ramah banget sih,” keluh Julie saat ia turun bersama Aan. “Ketemu di mana sih itu, kata Andre itu temen kamu?” “Bukan beneran temen aku sih, tapi temennya temennya temennya temennya temen aku.” “Ah, pusing. Udahlah.” Julie tak lagi memusingkan urusan teman siapa penghuni kos yang baru itu. Asal ia membayar uang kos tepat waktu saja sudah aman. “Udah kelar, Jul?” Bu Margaretha langsung bertanya saat Julie kembali ke kamar. “Iya, Ma,” jawab Julie saat ia mengunci pintu kamarnya. “HP kamu tuh, Mama charger, soalnya udah gak aktif pas tadi Mama liat.” “Mamanya Julie emang paling baik.” Gadis itu mendekati mamanya, lalu ia hadiahkan dua kecupan di masing-masing pipi mamanya. “Mama dibilang baik, soalnya beresin kamar kamu, ‘kan?” tebak Bu Margaretha. “Ih, gak gitu Mamaku sayang. Mamanya Julie kan emang yang paling baik.” “Pasti lagi ada maunya, Mama dipuji-puji terus. Kenapa? Jangan bilang kamu mau nginep beberapa hari di sini. Kalo itu mau kamu, Mama gak bisa jadi Mama yang baik.” “Ish!” Julie mencebikkan bibirnya. “Sesuai perjanjian kita sebelum ke sini, cuma semalam boleh nginepnya.” “Iya, deh.” Julie menjawab dengan pasrah. Dari pada ia memaksa dan ujung-ujungnya bikin masalah, lebih baik menurut. Setidaknya ia sudah diizinkan dan ditemani untuk kembali ke tempat kos walau hanya semalam. Kalau boleh berharap, ia ingin melihat Julio malam ini atau setidaknya besok pagi, sebelum ia pulang. Ngapain ngarep sih? Padahal udah dicuekin. Dicuekin ya … itu maksudnya ditolak. Ya sudah, jangan ngarep lagi, Jul. Julie naik ke tempat tidur, mengambil HP yang masih dalam keadaan tercolok saat di-charger. Tak sabaran untuk mengecek benda itu. Sudah berhari-hari ia hidup tanpa adanya HP. Begitu diaktifkan, notifikasinya mulai ramai. Notifikasi dari aplikasi belanja online yang menawarkan produk baru, email yang masuk, pesan dari operator, panggilan tak terjawab, dan tumpukan chat. Baru beberapa saat yang lalu ia mengatakan pada dirinya untuk tidak berharap lagi, namun begitu nama Kurcaci Nakal no. 21 muncul di layar ponselnya, ia sudah lupa. Dengan bersemangat ia buka pesan yang dikirimkan oleh Julio. Beberapa baris pesan yang mempertanyakan keberadaannya di hari ia dibawa pergi oleh Jonathan. Pesan yang menunjukkan kekhawatiran sekaligus permintaan maaf pria itu karena tak menolong Julie pagi itu. Julie tersenyum, Dia peduli sama aku. Iya, dia peduli. Buktinya dia ngirim chat sebanyak ini. Bahkan menelpon berkali-kali. Bahkan dia sampai menyusul ke rumah. Julie masih tetap tersenyum hingga ia ingat pernyataan cintanya yang diabaikan oleh Julio. Tapi, setelah aku ngajak pacaran, dia menghilang. Tanpa disadari oleh Julie, Bu Margaretha telah ikut duduk di ranjang. Mengahadap pada putri bungsunya yang beberapa detik yang lalu masih senyum-senyum dengan rona wajahnya yang memerah saat melihat ponselnya, lalu saat ini bibirnya terlihat mencebik. “Jadi, apa yang sudah terjadi? Siapa pria yang datang ke rumah itu? Kenapa kamu uring-uringan selama tiga hari terakhir? Kenapa kamu senyum-senyum kemudian cemberut dalam sekejap?” tanya Bu Margaretha secara beruntun. Sejak Julio meninggalkan kediaman mereka malam itu, Bu Margaretha berkali-kali menanyakan siapa pria itu. Sayangnya tak dijawab dan justru malah membuat Julie uring-uringan. “Tunggu dulu, Ma.” Julie teringat satu hal. “Tadi Brenda bilang Om Jonathan sering nanyain tentang Julio. Om Jonathan jangan-jangan udah nyulik Julio karena akhir-akhir ini Julie dekat sama Julio. Karena Om Jonathan cemburu dan marah, makanya dia nyulik Julio. Tiga hari ini Julio ngilang, Ma!” Julie mulai meninggikan suaranya. Napasnya bahkan memburu. “Ma, kalo Julio diculik Om Jonathan, gimana? Julie harus nyariin Julio, Ma. Ma, tolongin Julie.” Tangan gadis itu gemetaran. Ia mencoba menghubungi Julio, sayangnya hanya suara dari operator telepon yang terdengar. “MA, JULIO PASTI DICULIK SAMA OM JONATHAN!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD