Perawat Julie

2128 Words
Julio membawa Julie keluar. Bukan lewat rumah yang sama, namun melalui lorong bawah tanah sesuai yang ditunjukkan oleh Julie. Kata gadis itu, Jonathan melalui pintu bercat warna hitam itu tiap kali datang maupun pulang setelah menyiksanya. Ah, rupanya ini yang dimaksud dengan rumah yang memiliki lorong bawah tanah yang menakjubkan itu. Rupanya memang sangat menakjubkan. Karena saat Julio tiba di ujung lorong, ia tiba di rumah paling ujung. Rumah yang selalu dimasuki oleh Jonathan tiap kali ia berkunjung di tempat itu. Rupanya rumah tersebut adalah jalan masuknya, sementara rumah penyekapannya adalah rumah yang ketiga. Warren sudah bersiap dengan mobil dan langsung membawa Julio dan Julie. Sementara gadis itu masih tak mau melihat apa pun selain tubuh Julio. Ia tak berhenti memeluk pria itu, takut dengan kenyataan bahwa tangan kirinya telah membuat seseorang mungkin saja mati. “Apa kita ke rumah sakit?” tanya Warren. “Jangan!” cegah Julio. “Begitu Jonathan tau kalau Julie sudah aku bawa, tak ada rumah sakit yang aman. Dia akan menggunakan seluruh uangnya untuk mendapatkan kembali Julie.” “Jadi, ke mana kita pergi?” “Ke rumah orang tua Julie saja. Kita tidak bisa membawanya ke tempat lain, keluarganya pasti makin cemas.” “Baiklah.” Setelah berkendara hampir setengah jam lamanya, Warren dipersilakan melewati gerbang utama rumah orang tua Julie. Tentunya setelah Julio menunjukkan diri dan mengatakan bahwa ia membawa pulang putri bungsu sang pemilik rumah. Pria itu menggendong Julie turun. Kedua orang tua Julie yang dikabari langsung oleh security yang berjaga di gerbang langsung berhamburan keluar rumah, menunggui datangnya gadis itu. “Ju-julie,” ucap Bu Margaretha dengan haru. “Boleh saya masuk, Om, Tante?” tanya Julio tanpa melepaskan Julie. “Tentu, ayo, ayo masuk, bawa Julie ke kamarnya.” Julio menggendong gadis itu hingga ke lantai dua, ia diarahkan untuk membawa Julie ke kamarnya. Begitu Julio menurunkan Julie di kasur, gadis itu tetap mencengkeramkan tangan kirinya pada pundak Julio. Tak mau melepaskan pria itu. “Ja-jangan,” lirih gadis itu. Ia memohon agar Julio tak langsung melepaskannya begitu saja. Ia amat ketakutan. Takut dengan kenyataan bahwa ia kini adalah seorang pembunuh. “Ai … kamu harus diobati,” bujuk pria itu. Ia mengelus pelan kepala Julie. “Lepasin aku sebentar aja.” “Julie kenapa?” tanya Pak Pramudya dengan tak sabaran. “Julie baik-baik aja, ‘kan?” Julio membalik wajahnya sesaat, ia menggelengkan kepala. Memberi jawaban atas pertanyaan Pak Pramudya. “Om, Tante, sebaiknya dipanggilkan dokter. Tapi, tolong memanggil dokter yang benar-benar bisa dipercaya.” “Maksud kamu?” cecar Pak Pramudya. “Julie terluka, Om, Tante,” ujarnya saat ia berhasil membujuk Julie agar bersedia melepaskan pelukannya. Tampaklah wajah penuh luka gadis itu. “Tangannya juga patah, Om, Tante. Tapi, saya tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Begitu Jonathan tau rumah sakit tempat Julie dirawat, dia akan datang dan membawanya lagi.” “Sophie, panggilkan dokter terbaik untuk adikmu.” Pak Pramudya memerintah. “Tolong memastikan jika dokter tersebut benar-benar dapat dipercaya.” Julio kembali mengingatkan. Sophie meninggalkan kamar Julie, sementara sisa keluarga Julie yang lain tetap berada di kamar tersebut. Mereka bertanya banyak hal pada Julio, yang paling utama adalah bagaimana Julio bisa membawa Julie pulang serta alasan kenapa Julie segitu ketakutannya dan tak mau melepaskan Julio. “Saya akan menceritakan semuanya nanti, Om, Tante. Tapi, setelah Julie diobati dan dia lebih tenang.” Sesuai yang dijanjikan oleh Julio, pria itu akan menceritakan keseluruhan jalan ceritanya setelah Julie diobati. Dokter yang datang ke rumah Pak Pramudya sudah memberikan perawatan, mengobati luka di wajah Julie, dan memasang gips di bagian pergelangan lengan dan bahu Julie. Juga mengobati punggung tangan kiri Julie yang kulitnya mengelupas. Sekarang gadis itu dibiarkan tidur dengan bantuan obat penenang. Pak Pramudya dan Nughie mengajak Julio untuk berbicara di ruang keluarga, sementara Bu Margaretha dan Sophie tetap menemani Julie yang sedang tidur. “Kamu mengenal Pak Jonathan?” tanya Pak Pramudya. “Betul, Om. Saya mengenalnya, dan saya cukup banyak mengetahui tentangnya. Tapi, antara saya dan Jonathan, saya rasa tidak perlu menjelaskannya.” “Kalau begitu, bagaimana hubungan antara kamu dan Julie hingga kamu bisa membawanya pulang?” Kali ini gantian Nughie yang bertanya. “Saya menyewa di tempat kos-kosan Julie. Kami beberapa kali berbicara dan menjadi cukup dekat. Kemudian saya diberitahu bahwa Julie diculik. Orang pertama yang muncul dalam kepala saya sebagai pelakunya adalah Jonathan. Apalagi setelah beberapa hari terakhir Julie pernah dibawa paksa olehnya, dan kemudian Julie bercerita bahwa dia dilarang pulang ke tempat kos saat saya mengunjunginya beberapa malam yang lalu di sini. Sedikit-sedikit saya jadi ada gambaran bahwa Jonathan mengejar-ngejar Julie, ditambah lagi saya memang punya masalah pribadi dengan Jonathan yang membuat saya mengamatinya akhir-akhir ini.” “Jadi, bagaimana kamu menemukan Julie?” “Saya mengikuti Jonathan selama beberapa hari ini. Dan beruntungnya saya bisa menemukan Julie di salah satu rumah milik Jonathan.” Pak Pramudya dan Nughie saling pandang. Kok terkesan gampang sekali. Padahal ia dan seluruh keluarga besarnya telah mengupayakan pencarian. Membayar detektif dan bahkan melaporkan pada kepolisian. Sayangnya, tak menghasilkan apa-apa. “Sepertinya Om meragukan apa yang saya katakan. Entah bagaimana harus mengatakannya agar Om percaya, tapi ini juga menyangkut masalah pribadi saya dengan Jonathan. Sedikit banyak saya sudah tahu orang seperti apa dia, bagaimana kelakuannya jika dia sedang menyekap seseorang. Yah, saya sudah mengamatinya bertahun-tahun.” “Bertahun-tahun?” ulang Pak Pramudya. Merasa aneh. Julio terlihat masih muda, mungkin tak beda jauh dari usia Julie. Jika pria semuda Julio punya masalah pribadi dengan Jonathan dan sampai membuatnya telah mengamati keseharian Jonathan selama bertahun-tahun, kok terkesan amat mencurigakan. “Benar, Om. Tapi, untuk detailnya, mohon maaf ini adalah masalah pribadi saya.” “Gak masalah.” Nughie segera menengahi. “Kami harusnya berterima kasih kepadamu. Kamu sudah membawa Julie pulang. Juga terima kasih karena sudah mengingatkan kami agar tak membawa Julie ke rumah sakit.” “Sama-sama, saya juga merasa senang sudah membantu. Oh ya, terkait Julie yang ketakutan, sebenarnya saat saya datang ke rumah Jonathan untuk menyelamatkan Julie, di sana ada penjaga. Saya melawan dua orang penjaga, dan salah satunya ditusuk oleh Julie. Saya yakin dia melakukannya bukan bermaksud untuk menyakiti apalagi sampai membunuh, dia hanya mencoba untuk mencegah penjaga itu melukai saya. Makanya saat kami meninggalkan tempat itu dan bahkan sampai kami tiba di sini, Julie masih sangat trauma.” **** “Yy-yo ….” Julie menggumam, lirih menyebut nama pria itu saat perlahan-lahan kesadarannya tertarik. “Yy-yo ….” Matanya mulai terbuka sempurna. Ia melihat sekelilingnya, menemukan dirinya di tempat di mana ia dibesarkan selama ini. Menemukan dirinya ada di tengah-tengah keluarganya. Menemukan jemarinya tergenggam oleh Bu Margaretha sementara Pak Pramudya juga ada di sana. “Ini Mama, Jul.” “Ma ….” Gadis itu langsung merengek, disertai isakan yang keluar dari bibirnya. “Pa-papa.” “Julie aman di sini,” ujar Pak Pramudya dengan tenang. Menjawab segala ketakutan Julie. “Papa ada di sini, melindungi Julie. Memastikan kalau Julie gak bakalan dibawa siapa pun.” “Pa, Ma, Julie sakit,” adunya. “Se-semua badan Julie sakit, dipukulin sama Om Jonathan.” Hancur sekali hati Pak Pramudya. Wajah putri bungsunya dibuat babak belur, belum lagi lengannya yang dipatahkan. Ah, itu tak seberapa. Trauma yang dihadapi Julie pasti lebih besar dibandingkan sekadar luka fisiknya. Ingin sekali rasanya ia mendatangi Jonathan, membalas apa yang telah diperbuat pria itu. Membalas sama kejamnya, kalau perlu lebih lagi. Tapi, saat ia bertindak gegabah, seluruh keselamatan keluarganya jadi taruhan. Satu tindakannya yang salah akan berakibat fatal untuk kelangsungan hidup anak-anak dan istrinya. Diam saat ini bukan berarti ia kalah. Ia diam, bukan berarti bahwa ia menyatakan perdamaian. Tidak. Ia diam, membiarkan waktu yang menjawab. Karena ia tahu bahwa Tuhan tak pernah tidur. Biarlah Jonathan merasa menang atas perlakuannya saat ini. Untuk saat ini, Pak Pramudya ingin fokus memastikan penyembuhan Julie. Memastikan jika gadis itu tak akan mengalami trauma berkepanjangan, apalagi soal Julie yang menusuk seorang pria. Di jam 9 pagi, dokter kembali mengunjungi Julie. Memberikan obat anti nyeri, anti biotik, dan beberapa vitamin untuk gadis itu. Julie tak terlalu banyak mengeluh pada dokter, kecuali saat ia harus makan. Mulutnya terasa sulit untuk mengunyah makanan, bahkan tenggorokannya terasa sakit untuk menelan. Makanya, oleh dokter diminta agar memberikan Julie bubur, sop, atau makanan-makanan yang lembut. “Jul, ini sop ayam. Ini Mama yang bikin, makan, yuk. Mama suapin.” “Sop ayam?” “Iya,” jawab Bu Margaretha dengan senyum. “Mama pastiin kalo sop ayam ini gak keasinan, gak seperti yang kamu bikin buat Julio.” “Keasinan?” ulang Julie. “Iya, Mama nyobain yang kamu simpenin buat Mama. Mama sampe ngabisin air segalon gara-gara keasinan.” “Kok bisa?” “Ya bisa, kamu sih masukin garemnya kebanyakan.” “Ma, kata orang dulu kalo masaknya keasinan bukannya pertanda mau nikah yah?” tanya Pak Pramudya, bercanda. Mencoba menghibur Julie agar tak terlalu kepikiran dengan hal buruk yang telah ia lalui. “Iya, bener, Pa. Jangan-jangan ini pertanda kalo kita bakalan dapat mantu, Pa.” “Siapa yah yang bakalan ngasih kita mantu.” Julie mencebik. “Anak tetangga kali.” “Kok anak tetangga. Kenapa bukan anak Papa sama Mama, yah?” Bu Margaretha menggoda. “Pa, Julio kayaknya bagus yah kalo jadi menantu kita.” “Kayak dia mau aja,” jawab Julie dengan nada suara yang terdengar kesal. “Kayaknya sih mau, kalo gak mau ngapain dia susah-susah nyariin kamu, Jul?” “Kalo dia mau terus kenapa sekarang dia gak muncul-muncul lagi?” “Oh, kamu lagi nungguin Julio?” goda Pak Pramudya dengan senyum terkulum. “Perlu Papa telpon biar Julio dateng ke sini?” Pria itu merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya, lalu terlihat sibuk menggulir dan menekan layarnya. “Jangan, Pa!” cegah Julie dengan teriakan. Walau setelah berteriak, gadis itu mengeluh kesakitan. Apalagi ia sampai berusaha bangkit, seolah akan menyerang Pak Pramudya agar tak menghubungi Julio. “Istirahat dulu, Jul. Kamu tuh masih sakit, jangan ke mana-mana.” Bu Margaretha mengingatkan. “Jangan kebanyakan gerak-gerak dulu.” “Ya gitu, Ma. Kalo nama Julio disebut langsung mau lari,” ejek Pak Pramudya. “Kayak waktu Julio pertama ke sini, langsung lari buat meluk Julio.” Julie cemberut gara-gara terus digoda oleh papa dan mamanya. “Julie gak mau makan,” putusnya. “Papa sama Mama nyebelin.” “Iya deh, yang gak nyebelin pasti cuma Julio.” “Ma, kayaknya Papa bener-bener perlu nelpon Julio deh, biar dia datang ke sini buat nyuapin Julie.” “Iya, Pa. Panggil aja. Soalnya Julie kalo sama Mama gak mau makan, pasti dia nunggu Julio. Gini nih, kalo udah jatuh cinta, Mamanya udah dilupain.” Tok … Tok … Tok …. Pintu kamar Julie diketuk, membuat Pak Pramudya dan Bu Margaretha segera saling bertatapan. Julie pun tak kalah cepatnya mengalihkan tatapan ke arah pintu. Berharap saat pintu itu terbuka, maka ia akan langsung menemukan keberadaan Julio. Pak Pramudya beralih untuk membuka pintu, di hadapannya muncul seorang gadis muda berpakaian perawat. Membuat tatapan penuh harap Julie langsung sirna. “Saya dikirim oleh dokter Intan, Pak. Saya diminta untuk membawakan obat untuk Mbak Julie.” “Baik, silakan masuk.” “Permisi, Bu, saya suntikkan dulu obat ini,” ujar perawat itu dengan sopan. Bu Margaretha menyingkir. Ia memberikan tempat agar perawat itu lebih mudah untuk menjalankan tugasnya. Perawat dengan senyum manis itu mengeluarkan sebuah suntikan dari dalam tasnya, bersama sebuah ampul—botol kecil—berisi obat. Ia masukkan cairan obatnya ke dalam suntikan lalu menyuntik melalui botol infusan Julie. Tetesan air dari infusan ia atur sedikit lebih cepat agar obat tersebut lebih cepat masuk ke dalam tubuh Julie. “Sudah selesai, Pak, Bu. Saya permisi dulu, semoga Mbak Julie lekas sembuh.” “Iya, terima kasih banyak, Suster,” ujar Bu Margaretha dengan sopan seraya mengantar gadis muda itu keluar. Bu Margaretha mengantar hingga ke teras dan di saat yang bersamaan Julio memarkirkan motornya di pekarangan rumah megah itu. “Eh, Julio. Masuk, dari tadi Julie nanyain kamu tuh.” “Saya permisi, Bu,” ujar perawat itu sebelum ia melangkahkan kaki meninggalkan teras rumah Bu Margaretha lalu masuk ke dalam mobilnya. “Siapa itu, Tante?” “Perawatnya Julie.” “Perawat?” selidik Julio. “Iya, tadi bawain obat buat Julie. Kayaknya sama dokter Intan kelupaan. Makanya dokter Intan mengirim perawat buat nganterin obatnya Julie.” “Tante udah konfirmasi ke dokter Intan kalo perawat yang datang itu benar-benar disuruh sama dokter Intan?” Bu Margaretha terdiam. “Tidak,” jawabnya setelah berpikir. Iya, ia tidak mengonfirmasikan kebenaran ucapan dari perawat tadi kepada dokter Intan. Bahkan tidak bertanya lebih banyak tentang obat apa yang dibawa oleh perawat itu. Padahal belum sejam yang lalu dokter Intan meninggalkan kediaman tersebut. “MA! MAMA! Julie kejang-kejang!” teriak Pak Pramudya dari kamar Julie, dengan suara panik dan terburu-buru.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD