Part 4 Penghakiman Searah

2101 Words
Terkadang, maaf saja tidak cukup, untuk menghapus luka dan air mata ~~~ "Karena... Om adalah ayah Kei. Aku ayahmu, ayah kandunganmu!" "Bohong! Om bohong! Om bukan ayah Kei...!" Kei menangis. "Kei..." Tegur Kalista pelan, mencoba menenangkan putrinya. "Ayah tidak bohong, Kei. Aku ayahnu. Lista, tolong beritahu Kei yang sebenarnya...!" Kanu memohon pada Kalista. "Kalau Om ayah Kei, kenapa gak segera jemput Kei dan ibu di kampung. Kata ibu, ayah kerja di Jakarta biar dapat uang banyak. Kalau uang ayah sudah banyak, kenapa gak jemput Kei?!" "Kei... maaf nak..." Kanu mendesah, frustasi. Tidak mungkin menjelaskan persoalan yang sebenarnya pada anak seusia Kei. "Kei sayang, ada kalanya orang dewasa punya masalah yang anak kecil tidak perlu tahu. Kei masih kecil, tapi kelak nanti kalau Kei sudah besar, Kei akan tahu apa sebabnya kenapa ibu dan ayah berjauhan, tidak tinggal di satu rumah. Tapi sekarang yang penting, Kei sudah bertemu ayah. Katanya Kei ingin ketemu ayah kan?" Mau tak mau Kalista akhirnya turun tangan. Sebenarnya dia merasa Kei belum cukup umur untuk tahu apa alasan ayah ibunya terpisah jarak. Tapi untuk sekarang, itu alasan terbaik yang bisa dia berikan. "Kei... maafkan ayah ya nak. Tapi ayah janji kita gak akan terpisah lagi. Ayah, ibu dan Kei akan bersama mulai saat ini, ya?!" Kata Kanu, matanya melirik ke arah Kalista. Dia belum tahu apakah Kalista mau kembali padanya atau tidak. Dia bahkan belum minta maaf atas apa yang telah dilakukannya enam tahun lalu. Kesalahannya begitu besar, kemarahan, kekecewaan dan yang terpenting ketidakpercayaan pada istrinya. Dan hanya bisa berharap semoga saja Kalista mau memberi maaf untuknya. Yaaa... semoga. Kei masih terisak di pelukan ibunya. Tapi melihat ibunya yang tetap tenang, membuatnya jadi ikut tenang. Dia masih terlalu kecil untuk mencerna apa permasalahan yang terjadi pada orang tuanya. Tapi dia mengangguk saja, seperti menyetujui apa kata Kanu. Hingga akhirnya mobil berhenti di sebuah pusat perbelanjaan. Kanu membuka pintu di mana Kalista duduk. Diraihnya tubuh Kei dan digendongnya. Untuk kedua kali dia baru menggendong Kei, anaknya, putrinya, darah dagingnya. "Kok aku digendong sih? Aku kan sudah besar, Om." "Kei... ini ayah, bukan Om. Coba panggil ayah dulu dong, terus cium sayang ayah ya." "Eeh iyaaa... ayah." Dan Kei pun mencium pipi Kanu. Kanu tertawa bahagia. Begitu bahagianya dia, akhirnya bisa menggendong putrinya. Putri cantiknya. "Lista, tasmu ditinggal saja di mobil. Bawa saja dompetmu. Aku sekalian mau beli baju dan sepatu buat Kei. Buatmu juga." Kata Kanu saat melihat Kalista yang hendak memakai ransel lusuhnya. Kalista diam, tapi diikutinya permintaan Kanu. Mungkin dia malu terlihat jalan dengan perempuan yang memakai baju dan tas yang lusuh. Masuk ke mall pula. "Ayaah... aku mau turun. Kei sudah besar ayah, malu digendong." "Ayah kan belum pernah gendong Kei. Ayah pingin banget gendong Kei. Gak papa ya nak? Tapi Kei bongsor ya? Kasihan loh ibu tadi sempet gendong Kei pas mau ke mobil." "Iyaa... maaf ya ibu, habis tadi Kei ngantuk banget, padahal tangan kiri ibu kan sakit. Gara-gara dulu pernah dipukuli sama tukang tagih hutang." Kanu menoleh ke arah Kalista, yang sesekali tampak meringis merasakan tangan kirinya yang terasa nyeri, mungkin akibat tadi sempat menggendong Kei. "Benar itu, Lista?" Nada suara yang pelan, namun terdengar menahan emosi. Kalista hanya menunduk, dan Kanu tahu dia tak membutuhkan jawaban. Kanu menarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan. Dia harus bisa mengatur emosinya demi Kei. Tetiba Kanu menarik tangan Kalista agak kencang, membuat Kalista sampai menubruk tubuhnya. Ternyata karena ada mobil lewat agak ngebut, saat Kalista sedang melamun barusan. Tapi, hingga masuk ke mall, Kanu tak melepaskan genggaman tangannya. Dia tetap menggendong Kei tapi juga menggandeng erat Kalista. Membuat beberapa pasang mata melihat keheranan ke arah mereka. Kalista jadi jengah. Mungkin orang-orang itu seperti melihat seorang ART yang mengikuti majikannya yang menggendong anak. Mereka sungguh tak seimbang. "Maaf... tanganku sakit. Tolong lepas." Kanu berhenti tapi tak melepaskan genggaman tangannya. Hanya saja jadi tak seerat tadi. Dia lupa tangan Kalista sakit. "Maaf..." Desisnya. Tapi tetap digenggammya tangan kurus itu, seakan takut kehilangan. "Ayah... Kei mau turun. Kan sudah sampai di mall. Kei maluuu ayaaahhh!!" Akhirnya Kanu menurunkan Kei, dan tentu saja genggaman tangannya ke Kalista jadi terlepas. Didekatinya Kalista, bertanya pelan, "Maaf, sakitkah? Aku hanya takut kamu pergi lagi, Lista." "Ayah... ayah... Kei lapar. Ayok kita beli ayam goreng dulu." Kei menarik kaos ayahnya, tak sabar, karena melihat menu tenant fast food yang menjual ayam krispi. Kanu melirik ke arah Kalista, kembali digenggamnya tangan kurus itu. Tapi sekarang penuh kelembutan. "Duduklah dulu, aku pesan makanan dulu sama Kei." Kei yang amat kelaparan tampak excited dengan menu yang tersedia. Waktu ditanya mau makan apa, dia meminta ayam yang banyak. Kanu kembali menggendong Kei agar bisa lebih jelas melihat brosur yang ada di meja kasir. Setelah banyak memesan, Kei kembali ke meja yang ada ibunya. "Ibu..., Kei sudah cuci tangan sama ayah loh. Ibu nanti juga harus cuci tangan ya sebelum makan. Ayah uangnya banyaaaak banget bu, beli ayamnya juga banyak." Kata Kei memelan saat berkata kalimat terakhir. Kalista kaget dengan makanan yang dibawa pelayan. Satu bucket ayam goreng, nasi, minum, kentang goreng, burger. "Ini beneran Kei yang minta? Emangnya Kei bisa habiskan semua, nak? Jangan sampai mubazir loh, Kei. Ingat pesan ibu, di luar sana banyak anak-anak yang kelaparan, yang gak bisa makan!" "Iyaa ibu... maaf... habis tadi ayah bilangnya Kei boleh minta apa aja. Kei kan belum pernah makan yang ini, sama ini, sama ini..." Telunjuk kecilnya menunjuk makanan yang tersedia di meja. Matanya sudah merah seperti menahan tangis. "Lista, sudahlah... kalau tidak habis kan bisa dibawa pulang dimakan di rumah, atau nanti bisa dikasih ke siapa gitu." Tegur Kanu, tak rela Kei jadi sedih hanya karena masalah makanan. "Bukan gitu, Mas... masalahnya kan..." "Coba diulang!" "Eeh apanya?" "Tadi yang kamu bilang sebelum bilang masalahnya!" Kalista terdiam, mencoba mengingat. "Please, say it. Sekali lagi saja, aku ingin dengar lagi." "Bukan begitu... Mas?" Kata Kalista pelan. "Terima kasih. Untuk pertama kalinya setelah enam tahun aku baru mendengar lagi kamu mengucapkan kata Mas. Aku sungguh kangen." Kanu menatap tajam Kalista, penuh rindu. Jika saja tak ada meja yang menghalangi mereka, pastilah dia sudah memeluk tubuh kurus itu. Kalista memalingkan pandangannya, tak kuat beradu pandang dengan lelaki tampan yang ada di depannya. Sekilas, kembali teringat peristiwa itu. Saat Kanu marah padanya. Saat keluarganya juga ikut menghakiminya. "Ibu, ayah... kok malah pada diem sih? Buruan dimakan ayamnya. Kei sudah habis satu loh. Mau nambah lagi boleh ya yah?" "Kei, selesai makan kita beli baju dan sepatu buat Kei dan ibu, ya? Nanti Kei pilih sendiri mana yang Kei suka." "Boleh beli berapa banyak yah? Tiga gak papa, yah? Kei ingin beli baju tidur. Baju tidur Kei sudah banyak tambalan. Dijahit sama ibu sih, tapi ada yang kekecilan juga sih. Eeh tapi beli dua aja deh yah, nanti uang ayah habis. Kan mau beli buat ibu juga." "Kei mau beli satu toko juga gak papa kok, nak. Ayah kan kerja buat Kei dan ibu. Uang ayah banyak, uang ibu juga banyak." "Enggak ayah, uang ibu gak banyak. Ibu malah sering gak punya uang. Kalau uang ibu banyak, pasti kita punya rumah sendiri di kampung ya bu?" Jawab Kei sambil tetap mengunyah. "Kei..., habiskan dulu makannya. Gak baik loh berbicara saat makan. Nanti bisa keselek. Kei nanti beli baju seperlunya ya, jangan terlalu banyak." Pesan Kalista. "Naah, sudah beres makan. Kita beli baju dan sepatu buat Kei ya!" Ajak Kanu. Dan Kanu malah yang heboh membeli banyak baju untuk Kei. Kei sudah takut akan dimarah ibunya, tapi Kanu meyakinkannya untuk membeli semua yang dia inginkan. Melihat Kei yang sibuk belanja, Kalista jadi teringat dirinya yang dulu. Saat masih menjadi kesayangan Keluarga Diningrat. Papa mamanya sungguh memanjakannya. Dia tak pernah kekurangan uang. Semua keinginannya selalu terpenuhi. Toh dia juga tipe anak baik yang berjalan sesuai norma. Tak pernah neko-neko. Tapi sekarang? Boro-boro untuk membeli baju bermerk, beli dalaman saja dia harus berpikir berkali-kali, kalau tidak benar-benar butuh, dia tidak mau beli. "Lista, kamu tidak pilih baju untukmu? Pilih saja mana yang kamu suka ya. Tolong, setidaknya aku bisa merasa menjadi suami dan ayah yang sesungguhnya." Kanu berjongkok di depan Kalista yang duduk manis. Mereka bahkan sudah menjadi tontonan gratis. Seorang lelaki tampan, bersimpuh di depan seorang perempuan berpakaian lusuh. Whatta world! "Tidak, terima kasih, Mas. Ini saja cukup." Kata Kalista sambil menunjukkan sebuah jilbab yang baru saja dipilihnya. "Itu saja? Aku belikan yang lain ya, Lista?" Dan akhirnya mau tak mau, Kanu meminta staf toko itu untuk mencari baju yang sekiranya cocok untuk Kalista. Lengkap! Plus daleman dan tas ransel bermerk. "Ayah tahu gak, Kei mau sekolah dasar loh tahun ini. Kemarin itu ibu sudah daftar tapi kata ibu ada surat yang belum lengkap jadi harus dilengkapi dulu." Kata Kei di mobil perjalanan mereka pulang. Kanu kaget, aah anaknya sudah besar, bahkan sudah mau SD. Dia harus meminta Kei untuk sekolah di Jakarta, dia tak mau berpisah lagi dari istri dan anaknya. "Kei..., mau sekolah di mana? Di kampung atau di Jakarta? Di sini saja ya nak, sekolah di sini saja ya Kei. Lista tolong..., kalian akan bersamaku kan? Kita akan tinggal bersama lagi kan?" Kanu panik. Kalista hanya tersenyum, tak mau menjawab. "Naah Kei, kita sudah sampai rumah. Turun yuk. Sudah malam ini. Kei harus segera tidur ya, ayah dan ibu mau bicara dulu." Bujuk Kanu dan membiarkan putrinya mengagumi rumah minimalis itu. Kalista masih diam di mobil. Badannya kaku. Mendadak dia takut untuk masuk ke rumah itu. Ada trauma yang memaksanya kembali mengingat kejadian enam tahun lalu. Semua terjadi di rumah ini. Dia dihakimi oleh suaminya, papanya. Dia dihujat, dimarah, tanpa diberi kesempatan untuk membela diri, untuk memberi tahu hal yang sebenarnya terjadi. Puncaknya dia diusir dari rumah ini. Pergi bersama mbok yang setia menemaninya, tanpa membawa sepeser pun uang. Hanya memakai selembar baju tak berani membawa barang yang lain. Dia bukanlah lagi seorang Diningrat! Dia bukanlah lagi Nyonya Dwi Arkanu Witjaksana. Dia terusir, diusir, tanpa sempat memberitahu kabar gembira bahwa dia hamil. Rumah ini tetap sama secara fisik. Tak banyak yang berubah. Hanya catnya saja yang tampak baru tapi dengan warna yang sama. Rumah yang pernah memberinya kenangan manis saat bersama suaminya. Kanu juga diam. Tertegun melihat Kalista yang tampak segan untuk masuk ke rumah itu. Rumah mereka. "Lista..." Bisiknya lembut. "Masuk yuk, sudah malam. Kita juga harus bicara. Kei sudah di kamar. Sudah ganti piyama, sudah gosok gigi. Sampai kapan kamu mau di sini?" Akhirnya dengan berat hati, Kalista mengikuti Kanu. Baru masuk selangkah, dia kembali ragu. Di ruang keluarga di sebelah kirinya, seperti de javu, dia melihat seorang perempuan muda yang menangis tersedu. Dipeluk mamanya yang juga menangis. Memohon pada sang papa untuk tak lagi menyakiti Kalista. Untuk tak lagi menampar putri tercinta mereka. Sementara di sudut lain, terlihat suaminya hanya diam saja. Bahkan tak ada niatan untuk menolongnya. Menolong dia, yang masih sah sebagai istrinya. Tetiba dia merasa ada sebuah pelukan hangat menyelimuti tubuhnya. "Maaf, Lista... maaf. Aku..., aku yang salah enam tahun lalu. Aku bahkan sama sekali tak membelamu. Malah juga ikut menyudutkanmu, menyalahkanmu, tanpa pernah memberi kesempatan untukmu bercerita. Maaf, Lista... Masuklah dulu, kita bicara di dalam ya." Digenggamnya lembut tangan itu agar mau mengikutinya. Dia berusaha memahami kerisauan hati Kalista yang sama saja seperti kembali mengorek luka lama, luka yang entah kapan mengering tapi malah kembali berdarah, dengan kembali ke rumah itu. Kalista tak mau mengingatnya, mengingat peristiwa yang sungguh menyakiti hatinya. "Duduklah, Lista. Kei sudah tidur di kamar kita dulu. Kuambilkan minum ya?" Kanu memberikan segelas air hangat untuk Kalista. Dilihatnya bahu istrinya itu bergetar, seperti menahan tangis. Kanu tahu, betapa Kalista mencoba untuk membuang kesakitan yang dia terima dulu. "Lista..., maaf..., maafkan aku sayang. Aku tak akan berhenti meminta maaf, sampai kamu benar-benar memaafkanku. Aku tahu kesalahanku begitu besar. Andai saja aku tahu apa sebabnya, aku pasti tak akan berbuat begitu. Aku pasti tak akan mempermasalahkan hal itu. Aku tak akan seegois itu. Apalagi saat itu kamu sedang hamil. Hamil anakku." Kanu bersimpuh di hadapan Kalista. Mengangkat dagu istrinya agar mau melihatnya. Tampak air mata sudah meluruh di pipi kurus itu. Sama seperti enam tahun lalu, Kalista menangis dihadapannya. Hanya saja saat itu dia yang sangat egois tak mau membela istrinya. Malah ikut menyalahkannya. Masih Kanu ingat, enam tahun lalu, pada pandangan mata Kalista yang memohon maaf padanya. Bahkan malah Kalista yang berkali-kali meminta maaf, padanya dan pada keluarga mereka. Berkali-kali terucap lirih, kata maaf dan ampunan dari bibir itu. Mohon agar mereka tak menghakiminya. Agar mau mendengar apa yang sebenarnya terjadi. Tapi mereka menulikan telinga. Tetap bertahan pada pendirian mereka. Tetap egois. Tetap menyalahkan Kalista, tanpa pernah memberi kesempatan padanya untuk membela diri. Tetap menghakiminya. Yaaa..., penghakiman searah, tanpa ada seorang pengacara yang membela Kalista. | | | Jakarta, 4 Mei 2019
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD