Part 2 Yang Terbuang

1648 Words
Terkadang, ketakutan akan mampu membuatmu bertahan. ~~~ Lari... Ya..., lari... Segera ia berlari menarik tangan mungil anaknya, demi bisa menghindari laki-laki yang sekarang sedang bersusah payah berusaha keluar dari antrian untuk mengejarnya. Kalista segera menarik tangan Kei, putrinya, dan berlari secepat yang dia dan Kei bisa. Tak dihiraukannya Kei yang kebingungan berusaha ikut lari dengannya. Tak dihiraukannya teriakan lelaki itu, yang memintanya untuk berhenti. Dia tak mau! Tak mau kembali ke masa lalunya. Bahkan untuk mengingatnya saja dia tak mau! Cukup! Sudah cukup sakit yang dia rasakan selama hampir enam tahun ini! Tak sabar, Kalista segera menyambar tubuh putrinya untuk dia gendong. Entah dapat kekuatan dari mana, dia bisa nekat menggendong Kei dan tetap berlari. Sesaat matanya memindai hendak ke mana. Dan mendesah lega saat melihat antrian di wahana Istana Boneka yang sepi. Segera saja dia naik ke perahu yang disediakan dan meminta pada petugas untuk segera menjalankan perahu itu. Dia menoleh ke belakang, dengan nafas ngos-ngos-an, sesaat sebelum perahu itu jalan. Tak dilihatnya lagi lelaki itu. Aaah... dia, bahkan sudah bersama perempuan lain. Sepertinya sedang hamil pula. Kalista menggelengkan kepalanya. Air matanya mendadak jatuh. Apa yang kamu harapkan, Lista? Berharap lelaki itu tetap menunggumu selama hampir enam tahun ini? Jangan bercanda! Dia punya segalanya yang diinginkan oleh setiap perempuan! Tampan, kaya, mapan, dan single. No status. Dia bahkan tak tahu bahwa dia punya darah daging. Punya anak darinya. Dari perempuan yang pernah dinikahinya walau hanya beberapa bulan saja. Dari perempuan tak pantas seperti dirinya. Tak pantas untuk bersama lelaki itu atau untuk lelaki manapun. Otaknya sekilat membayangkan kejadian enam tahun lalu, saat mama papanya dan lelaki itu menghakiminya, tanpa pernah mau mendengar pembelaannya. Tanpa pernah mereka tahu kejadian yang sebenarnya. Andai saja mereka tahu, sikap mereka pasti tidak akan emosi seperti itu. Malahan mungkin mereka... "Ibu... Kenapa tadi kita berlari? Kei sampai capek banget bu. Ibu tarik tangan Kei tadi." Suara anaknya yang kebingungan, menyadarkannya untuk segera kembali menapak alam nyata. "Maaf sayang, Kei kaget ya tadi ibu tarik? Mana yang sakit tangannya? Ibu usap ya?" "Om tadi siapa bu? Bukannya dia teman ibu, karena tahu nama ibu. Kenapa kita malah lari?" Perempuan berpakaian lusuh itu, Kalista, menarik nafas panjang. Dia lupa, anaknya pintar dan rasa ingin tahunya begitu besar. Karena tak kunjung dapat jawaban, Kei yang masih penasaran kembali bertanya pada ibunya. "Atau dia tukang tagih hutang ya bu? Ibu punya hutang sama om tadi?" Kalista mengangguk. Iya nak, ibu berhutang pada lelaki tadi, ayahmu, ibu hutang penjelasan. "Kei takut ibu. Takut nanti om tadi menyakiti ibu, kaya tukang tagih hutang yang dulu pernah memukuli ibu." Kalista tersenyum dan mengelus rambut anaknya perlahan, menggeleng seraya berkata, "Insya Allah enggak, Kei. Om yang tadi bukan tukang tagih hutang kok." "Terus kenapa kita lari bu?" "Suatu saat nanti, Kei akan tahu kenapa nak, tapi tidak sekarang ya? Sekarang kita lihat boneka-boneka ini yuk. Tuuuh lihat, bagus kan?" "Iya ibu, tapi kok bau apek ya bu?" Kalista mengelus lembut rambut anaknya dengan sayang. Kamu sangat mirip dengannya, nak. Maafkan ibu karena tidak memberi tahu Kei bahwa lelaki tadi adalah ayahmu. "Iyaa ya, mungkin karena kurang lubang udara dan sinar matahari. Eeh tapi Kei habis ini mau main apa lagi? Masih ada waktu dua jam lagi Insya Allah, sebelum tutup." "Kei mau naik yang keranjang itu bu, yang kaya di pasar malam di kampung kita itu loh. Yang kaya tadi kita lihat di gambar bu." Kata Kei antusias. Kalista tersenyum. Kei sangat mudah teralih perhatiannya. Sekarang pun dia sudah lupa akan siapa lelaki yang memanggil mereka tadi. Sementara di luar sana, lelaki tadi tampak kesal karena kehilangan jejak perempuan yang dicarinya selama hampir enam tahun ini. Lista, dia bersama anak perempuan cantik tadi. Apakah dia anakku? Bodoh! Tentu saja dia anakku! Hanya orang tuna netra yang tidak bisa melihat kemiripan kami. Ya Tuhan, dia bahkan sudah besar. Aah, anakku, kamu cantik sekali. Kali ini, aku pastikan akan menemukanmu, Lista! Aku akan menemukanmu walaupun harus mencari di seluruh Dufan! Kupastikan itu. "Nu... berhenti dong, kamu narik-narik tangan ibu hamil gini, dilihatin orang-orang tahu! Bikin malu aja!" "Biarin ajah! Peduli amat sama orang-orang! Dia istriku, Na! Istriku! Kalista! Kamu tahu aku mencarinya sampai sekarang! Aku tak mau kehilangan dia lagi. Kamu lihat tadi kan? Dia bersama anak perempuan cantik tadi?! Dia anakku! Ya Tuhan, anakku, yang tak pernah kutahu." Kembali lelaki itu menarik tangan perempuan hamil tadi untuk segera mengikutinya. Tapi dia sendiri juga bingung harus mencari ke arah mana. Dufan sungguh ramai karena ini musim libur sekolah. Dan sepupu cantiknya yang sedang hamil lima bulan ini, baru datang dari Malang karena ngidam ingin ke Dufan, bersamanya. Jadilah terpaksa dia harus menemani sepupunya ini. Aaah siaaal! Pasti Kalista menyangka aku sudah menikah lagi! Makanya dia kabur! "Kanu!!! Berhenti! Excited boleh, panik boleh. Tapi kamu tetap harus pakai akal sehat dong. Dufan itu luaaasss, Nu! Kamu mau ngiderin seharian juga gak mungkin selesai. Duduk sini! Aku mau kasih saran!" Bentak Ina kepada Kanu, sepupu tampannya yang sedang panik. Kanu menurut saja. Tapi sambil duduk, matanya tak henti mencari sosok perempuan berpakaian lusuh tadi, dan anaknya. "Kanu!! Kamu denger gak sih aku ngomong apa barusan?" Kanu yang sedang panik, melihat ke arah Ina dengan tatapan bingung. Dia menggeleng. "Huuuh... dasar kamu! Dengar baik-baik ya! Ini sudah jam empat lewat. Sebentar lagi Dufan akan tutup. Dengan kondisi yang cukup ramai gini, palingan istrimu cuma bisa naik satu wahana lagi. Kemungkinan besar sih Bianglala atau Ferris Wheels. Karena itu dua wahana favorit anak kecil. Jadi saranku, lebih baik kamu tunggu mereka di pintu keluar. Kamu jangan pulang sebelum pengunjung terakhir keluar dari Dufan." Kanu melirik jam tangannya. Tersenyum lega mendengar saran dari sepupunya itu. "Ya udah, aku pulang dulu." "Pakai apa, Na? Kamu mau bawa mobilku?" "Nyetir di Jakarta dengan kondisi hamil gini? Tidak, maturnuwun, hatur thank you! Mending aku pakai taksi aja. Dah, kamu gak udah pikirin aku. Kalau aku sudah sampai rumah bude, kamu tak kabari ya. Tungguin saja istri dan anakmu itu. Jangan sampai lepas lagi. Aku tahu perjuangan kamu selama enam tahun ini, Nu. Good luck ya!" Ina melambaikan tangan pada sepupunya dan berjalan ke pintu keluar. Berdoa semoga sepupunya itu akhirnya bisa bertemu dengan istri dan anaknya, yang menghilang darinya hampir enam tahun lalu. Sementara itu, di salah satu wahana, Kei dan Kalista, ibu dan anak itu, tertawa gembira. Kei sangat senang karena akhirnya bisa benar ke Dufan. Setelah selama ini hanya mendengar cerita teman-temannya yang anak orang kaya di kampung. Dia nanti pasti akan bercerita dengan bangga, akhirnya bisa ke Dufan juga. Hampir magrib saat akhirnya mereka keluar Dufan. Dengan ceria Kei yang berjalan digandeng Kalista, bercerita kembali betapa senangnya dia tadi selama bermain di Dufan. "Kei, itu ada toilet. Bersihin badan Kei dulu yuk. Sekalian ganti baju. Jadi nanti bisa langsung tidur kalau sudah sampai masjid." Tak lama kemudian, selesai membersihkan badan Kei, ibu dan anak itu kembali melanjutkan perjalanannya menuju halte Transjakarta. Jaraknya lumayan jauh. Tapi untunglah Kei masih semangat. Sayangnya, mereka berdua tak menyadari ada seseorang yang mengikuti mereka dari belakang. Berusaha menjaga jarak aman, agar tak ketahuan tapi juga tak akan kehilangan jejak. "Ibu..." Kei menarik tangan Kalista, ibunya. "Ya nak..." "Kei lapar bu. Uang ibu masih ada gak? Kalau tidak, biar Kei makan roti saja, yang dibawa dari kampung kemarin bu." Kalista berhenti sejenak. Mencoba mengingat sisa uangnya apakah cukup untuk membeli roti atau apapun untuk mengganjal perut anaknya. "Kei kelaparan karena tadi main banyak banget ya? Uang ibu Insya Allah masih ada kok, tapi terbatas. Kita beli mie cup itu saja ya sayang? Rotinya sudah habis dimakan kita berdua tadi siang." "Iya... ibu. Nanti sampai masjid, Kei mau langsung tidur saja. Jadi biar gak makan lagi ya bu." Tidur di masjid? Mereka tidur di masjid? Kalista dan Kei duduk di selasar sambil menikmati satu cup mie instan. Disuapinya Kei dengan penuh kasih sayang. Perutnya sebenarnya keroncongan, tapi karena kasih sayang seorang ibu, dia pastilah mengutamakan anaknya kenyang. "Kei sudah kenyang, bu. Maaf ibu cuma kebagian sedikit, Kei lapar sekali." Kata Kei dengan wajah sedih pada ibunya. Kalista segera menghabiskan mie itu. Sudah malam, matahari sudah berganti tugas dengan bulan untuk menerangi bumi. Secepatnya dia harus sampai di Gambir. Trauma ituuu, masih ada. Dia masih takut gelap! Tergesa dia menarik tangan mungil Kei untuk mengikutinya. "Bu, naik bis panjangnya apa masih jauh?" Tetiba anaknya bertanya. "Itu haltenya di depan sana. Masih lumayan jauh. Kenapa Kei?" "Kei ngantuk bu. Kei pingin tidur dulu sebentar. Di sini gak ada masjid yang bisa buat kita tidur ya bu?" Tanya Kei sambil menguap beberapa kali. Matanya sudah memejam, beberapa kali kakinya terantuk karena mata yang terpejam. Kenapa tidur di masjid? Apakah kamu tak punya uang, Lista? Bahkan untuk menginap di hotel melati? Kalista masih tak menyadari ada yang setia mengikutinya. Mungkin karena suasana yang ramai. Tak tega melihat Kei yang tampak sangat mengantuk, Kalista akhirnya berinisiatif untuk menggendongnya. Dilihatnya halte Transjakarta. Sudah tak terlalu jauh sebenarnya. Hanya saja, Kei bongsor, seperti ayahnya yang tinggi. Bakal lumayan jika harus menggendongnya sampai halte. "Kei, ibu gendong saja ya nak." Kalista membenarkan posisi ransel kumuhnya. Keningnya berkerut saat menggendong Kei di posisi kiri. Ya Tuhan, lengan kiriku ternyata belum sembuh akibat peristiwa itu. Bahkan sampai sekarang aku masih belum kuat menggendong Kei. Ketambahan lagi tadi harus lari sambil gendong Kei. Dia berhenti sejenak, mengatur nafas yang ngos-ngosan padahal baru berjalan sekira 30 meter. Dia tampak sungguh kepayahan. Sekarang dia berusaha menggendong Kei di sisi kanan. Mengucap bismillah dan hup..., digendongnya lagi Kei, dan berjalan lebih pelan daripada tadi. Sebenarnya dia tak kuat. Dia lapar. Tapi dia harus segera sampai Gambir agar bisa segera beristirahat dan pulang ke kampung keesokan paginya. Saat jalannya sudah sangat kepayahan, tiba-tiba dia merasa badan Kei diambil seseorang! Kalista menjerit, kaget! "Anakku...!! Kei..." Tapi dia langsung terdiam saat melihat siapa yang menggendong Kei. Laki-laki itu..., Kanu, suaminya..., aah mantan suaminya. Ayah Kei. "Tolong... kembalikan anakku... tolong..." Pinta Kalista pada lelaki itu. | | | Jakarta, 3 Mei 2019
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD