2. Sebagian Kecil Tentang Pelangi

2250 Words
Selesai kelas, Pelangi langsung menghindar dari semua orang yang selalu memberinya tatapan sinis, penuh kebencian, dan berkata seolah Pelangi tidak pantas berada didekat mereka. Pelangi memiliki perasaan juga, tapi semua orang tidak pernah memanusiakannya. Bersikap seolah hanya mereka yang memiliki hati, tanpa mau mengerti bagaimana pesakitan orang lain. Berucap semaunya, mencomooh, dan menindas. Pelangi dijadikan sampah yang harus dihindari, bagai penyakit yang selalu ingin dienyahkan. Ini sangat menyakitkan, dia dituntut sabar dan kuat setiap hari. Padahal rasanya sangat lelah, terkadang malah berpikir ingin berhenti dan menghilang dari dunia. Sering Pelangi bertanya pada Tuhan, kenapa dunia tidak seadil ini padanya. Kenapa dia yang tidak tahu apa-apa malah menanggung risiko. Kesakitannya menjadi-jadi selama dua semester terakhir, mentalnya diuji setiap saat. Pelangi bertanya lagi, apa dia tidak berhak bahagia? Kenapa dia tidak pernah memiliki teman? Malah selalu dijauhi, dihindari, dan tidak dianggap keberadaannya. "Cih, pelacurr kecil lewat nih!" Ralina Lidwix mencebikkan bibirnya, memutar bola mata jengah. Dia tidak pernah menyukai Pelangi, selalu menganggap jika kelas mereka berbeda. Dia dan kedua temannya memang cukup terkenal di kampus, senang membuat kehebohan dengan sikap mereka--padahal Pelangi adalah kakak tingkat. Ralina tidak peduli, sekali dia tidak suka, akan selamanya begitu. Awalnya memang tidak ada masalah apa pun di antara mereka, masalah ini bermula dari Pelangi pernah ketahuan diantar pulang oleh Ifander Almeer. Hal itu langsung mengguncang diri Ralina yang sejak awal masuk dunia perkuliahan mengidolakan salah satu putra keturunan Almeer. Ralina selalu berusaha mengejar Ifander, tapi tidak pernah mendapatkan balasan yang memuaskan hati. Ifander tidak menyukai Ralina, bagi dia Ralina ini begitu kekanak-kanakan dan terlalu lebay. Pelangi menundukkan kepala, memeluk bukunya erat-erat tidak berani melawan. Meski dia sudah semester akhir, dia tetap tidak pernah memiliki nyali melawan orang-orang yang menghinanya. Pelangi takut masalahnya semakin besar, tidak ingin orang lain tambah membencinya. Pelangi diam saja salah, apalagi dia buka mulut kan? Jika orang itu sudah benci Pelangi, apa saja yang keluar dari mulutnya tidak akan dipercaya. Apa pun tentang Pelangi--meski dalam konteks kebaikan, selalu salah di mata mereka. Buat apa capek-capek membungkam mulut orang banyak, sementara kita bisa menggunakan dua tangan untuk menutup telinga? Kita tidak perlu mendengarkan. Jangan sampai indra pendengaran kita rusak dan membusuk bersama kalimat yang isinya pesakitan semua. "Mau ke mana, huh? Gue belum selesai bicara." "Apa lagi, Ralina?" "Heh, siall! Siapa yang bilang lo boleh menyebut nama gue? Jangan pernah melakukannya, gue nggak sudi dipanggil sama pelacurr kecil. Nanti keikutan nggak bener, najiss!" Mendorong bahu Pelangi dengan telunjuknya, kemudian mendesah kesal. "Gue peringati sekali lagi ya, jangan pernah deketin Ifander. Dia milik gue. Lo dengar 'kan?" "Aku nggak pernah deketin Ifander." "Tapi lo itu gatal, wanita murahann persis ibunya. Beginilah, buah tidak jatuh jauh dari pohonnya." Bella mengusap lengan Ralina, mengingatkan jika perkataan gadis itu sudah kelewatan. "Gue kesel banget, Bell. Dia berani-beraninya naik mobil Ifander. Memangnya dia siapa? Sadar diri dong, lo bukan level Ifander, kita semua yang ada di sini beda kasta sama lo." Menghentakkan kaki, ingin sekali memukul kepala Pelangi di hadapan semua orang andai itu tidak menyalahi aturan kampus. Ralina ingin mempermalukan Pelangi, sebab gadis itu sudah berani bermain api dengannya. "Waktu itu hujan, terus nggak ada taksi juga. Sudah mau malam, aku sendirian di pinggir jalan. Itu hanya bentuk pertolongan karena dia merasa kasihan, enggak pernah ada hubungan lebih seperti yang kamu khawatirkan." Pelangi menarik napas, lelah sekali. "Tanpa kamu ingatkan, aku selalu sadar diri. Aku tahu tempat aku di mana, tapi tolong jangan pernah mengatakan yang tidak-tidak, apalagi membawa-bawa ibu. Seburuk-buruknya dia, dia tetap ibu aku. Kalau nggak ada dia, aku nggak bakal lahir di dunia ini." Ini adalah kalimat paling panjang yang pernah Pelangi sampaikan, sebab sudah teramat jengkel. Dia tidak pernah melawan jika hanya dirinya yang dikatai, tapi beda lagi jika ibunya dibawa-bawa. Dia sudah keseringan diam, kali aja kalimatnya kali ini mampu membungkam Ralina. "Baru kali ini gue denger ada seorang anak yang bangga ibunya jadi pelacurr. Owh, nggak heran sih ... kamu kan sama kayak ibu kamu. Ups!" Kemudian tertawa ke hadapan teman-temannya, kembali mencebikkan bibir secara tajam kepada Pelangi. Semua orang di kampus ini tahu jika Pelangi anak seorang pelacurr yang tinggal di lorong khusus PSK--pekerja sekss komersial, hanya saja tidak pantas jika selalu dipojokkan begini. Lagi pula ibunya Pelangi sudah tiada, biarkan saja dia tenang di alam sana tanpa mengungkit lagi kesalahan masa lalunya. Hanya Pelangi yang tahu kebaikan ibunya, tidak perlu dia umumkan kepada khalayak umum. Untuk apa? Pelangi tidak memerlukan pujian dan sanjungan dari orang-orang yang selalu berkata bohong dan penuh omong kosong. Pelangi tidak pernah membenarkan apa yang ibunya kerjakan, bahkan apa yang dia makan sehari-hari waktu itu hasil dari pekerjaan yang buruk. Tapi dia tidak bisa melakukan apa pun, tidak ingin juga terus bertengkar dengan ibunya mempersoalkan masalah demikian. Namun meski begitu, Pelangi selalu berdoa kepada Tuhan agar segera menyadarkan ibunya, mengembalikan ke jalan yang seharusnya--paling tidak saat detik ajal penjemputan. Dan ya, doa Pelangi akhirnya terkabulkan, ibunya sempat bertobat sebelum menghembuskan napas terakhir. Pelangi tahu ibunya tulus dan begitu menyesali perbuatannya, percaya juga jika maaf Tuhan sangatlah luas untuk umatnya. Ibunya sudah bahagia di surga, Pelangi akan selalu mendoakan dan berusaha menjaga diri agar tidak menjadi wanita penerus ibunya. Terbukti, Pelangi sekarang bertemu dengan Nenek Mariya, wanita yang sangat baik. Menjaga Pelangi dengan baik, menganggap layaknya cucu kandung sendiri. "Aku mau pergi, Ralina. Tolong jangan menghalangi lagi." "Gue bilang jangan sebut nama gue!" Ralina memukul bahu Pelangi kasar, refleks karena merasa tidak terima namanya diucapkan oleh Pelangi. "Awak sekali lagi kalau lo panggil nama gue, gue dorong sampai kelelep di kolam ikan!" "Aku mau pulang, jangan menghalangi jalanku." Ralina menggertakkan gigi, mendengkus sebal. "Awas aja sampai ketahuan gue deketin Ifander lagi, gue sikap sampai habis. Ingat dan tanam baik-baik di kepala lo ya. Jangan ganjen, apalagi jual diri di kampus. Ini tempat menuntut ilmu, bukan lorong tempat obral harga diri!" Pelangi segera berlalu dari sana, memegangi dadanyaa yang terasa sakit sekali. Dia selalu menerima kalimat kasar seperti itu saat berita tentang keluarganya tersebar luas di kampus, entah siapa yang tega membocorkannya. Pelangi tidak malu terlahir dan besar di lorong, hanya saja jangan sampai dijadikan patokan jika seseorang yang hidup di sana semuanya menjual diri--Pelangi salah seorang pengecualian. Dia tidak pernah menjual diri, bahkan mahkotanya masih terjaga dengan baik di usianya yang sudah menginjak dua puluh dua tahun. Pelangi sudah berjanji pada dirinya sendiri, hanya pada sang suami dia menyerahkan mahkotanya yang paling berharga. Mengingat ibunya sudah gagal menjadi seorang wanita yang baik, Pelangi tidak ingin seperti itu. Dia akan membuktikan, jika terlahir dari rahim seorang pelacurr tidak menghalanginya menjadi anak yang baik, memiliki kesuksesan, taat dan mencintai Tuhan, terutama selalu melangkah pada jalan yang seharusnya. Sibuk melangkah sambil menunduk, Pelangi akhirnya menabrak seseorang dari arah berlawanan. Dia segera mengusap air mata, meminta maaf dan langsung merasa bersalah. "A-aku kelilipan, jadi jalannya menunduk. Maaf nggak hati-hati." Berusaha mengulas senyum, lalu sesaat kemudian kembali menunduk. Pelangi sangat terkejut ketika melihat siapa yang baru saja dia tabrak, sampai bingung harus melakukan apa. Bergerak untuk kabur pun tidak bisa, tubuhnya seketika kaku. Pria jangkung di hadapan Pelangi menghela napas, wajahnya masih datar tidak memiliki ekspresi. "Ambil!" ujarnya singkat, jelas, dan padat saat menyerahkan sapu tangan. "Jangan menangis." Dan ya, ucapan ini mampu membuat Pelangi menganga, kemudian menggeleng menutupi kesedihannya. Zionathan mengambil tangan Pelangi, menyerahkan sapu tangan itu. "Ambil!" Lalu melangkah begitu saja tanpa banyak bicara lagi. Dia kembali menyelipkan earphone di telinga, melangkah tanpa memedulikan orang-orang yang selalu memerhatikannya setiap kali melewati koridor. Tidak heran, pria tampan seumuran Pelangi itu selalu menjadi pusat perhatian. Dia lelaki berprestasi di kampus, kaya raya, sayangnya terlalu dingin hingga para wanita takut mendekati. Sudah pasti ditolak sebelum berjuang. Zionathan bukanlah lelaki mudah, dia hanya berbicara pada seseorang yang dikenal--seperti keturunan Gamya, dan keturunan Almeer. Selain daripada itu, sulit mengajak Zionathan mengobrol. Pelangi menatap punggung Zionathan yang semakin menjauh. Aroma parfumnya tertinggal, begitu wangi dan menenangkan. Segar sekali. Pelangi tentu saja tahu siapa lelaki itu, dia terkenal masih satu keluarga dengan keturunan Almeer dan Gamya--para sultan yang menjadi donatur terbesar di kampus. "Zio." Pelangi membaca satu kata yang ada di sapu tangan itu, kemudian menghirup aromanya. "Wangi banget!" katanya sangat jujur dan tersenyum lebar. **** "Hai, Pelangi ...!" Ratih melambaikan tangan kepada Pelangi yang baru saja datang. Dia sengaja pulang sore, karena sepulangnya dari kampus tadi singgah dulu bermain ke panti asuhan. Dia senang anak-anak, asik sekali saat bermain dan bisa membacakan mereka dongeng agar tidur mereka nyenyak. "Kamu dari mana saja? Kok baru pulang, Nak?" Zionathan dan si kembar sudah pulang dari kampus sejak tadi siang, tapi dia baru melihat Pelangi datang di waktu sore. Kebetulan Ratih sedang menemani Abella dan Chiara berkeliling perumahan, si kembar sedang mampir di taman ujung, melihat anak-anak yang lain bermain layang-layang. Pelangi tersenyum lebar, menyalami Ratih dengan sopan. "Sore, Tante. Aku baru aja dari panti, lama nggak main ke sana. Keasikan main dan membacakan dongeng, eh ternyata aku juga ikut ketiduran." Terkekeh pelan, mengajak Ratih duduk di kursi panjang untuk bersantai yang tepat berada di depan rumah Pelangi. "Kalau Tante, ngapain biasanya kalau sore-sore begini?" "Tante mah santai aja, ini lagi temenin Abella sama Chiara main. Padahal mereka nggak senang diikutin--katanya malu dibilang anak kecil karena selalu diawasi Mamanya. Tapi tetap aja Tante pengen ikut dan menghibur diri, jadi duduk sambil makan bakso di taman." Pelangi terkekeh. "Seru ya, Tante, di taman? Aku belum pernah main ke sana, malu." "Ngapain harus malu? Main aja nanti sama Tante ya, kita makan bakso. Enak kok, mana murah lagi. Semangkuk cuman delapan ribu, sama minumnya sepuluh ribu. Bakso ala-ala rumahan sederhana, tapi bikin nagih." "Aku kadang malu dan nggak terlalu berani kumpul sama orang banyak." Ratih mengernyit bingung. "Lho, kenapa? Padahal kamu cantik, kamu juga sopan dan baik. Jangan malu, nggak pa-pa kok. Kita semua yang ada di sini baik, saling merangkul. Tidak pernah membedakan mana tetangga baru dan yang lama." Pelangi sulit menjelaskan keadaannya pada orang lain, takut jika Ratih ikutan membenci dan menjauhi Pelangi. "Iya, Tante. Nanti aku ikutan main ke taman ya, kali aja dapat teman baru." "Boleh banget." Kemudian Abella dan Chiara datang, mereka menggunakan skuter masing-masing. "Sayang, kenalin ini Kakak Pelangi. Pelangi, kenalin ini si kembali namanya Abella dan Chiara." Abella tetap menyalami Pelangi, meski kemarin pagi mereka sudah saling bertemu. "Kamu yang kemarin anterin makanan kan?" Pelangi tersenyum, mengusap puncak kepala Abella. "Oh iya, terima kasih banyak ya, Tante, makanannya. Sangat enak, aku dan nenek lahap banget makannya." Ratih mengangguk senang. "Chia, ini Kak Pelangi yang kemarin aku ceritain, tetangga baru kita. Ini rumahnya, seberangan." Chiara senyum, mengangguk paham. "Senang bisa mengenal Kak Pelangi. Apa seumuran sama Abang Zio?" Saat membicarakan Zio, seketika pelangi mengingat sapu tangan tadi. "Iya, seumuran." Pelangi mengangguk, senang mengenal anak-anak ceria ini. "Bukan hanya seumuran dengan Abang Zio, tapi kalian juga menuntut ilmu di tempat yang sama." Ratih menambahkan. "Wah, kakak tingkat dong. Ingatin muka kita berdua ya, Kak, kali aja nanti ketemu di kampus. Nanti kita kumpul bertiga deh, lumayan kan punya teman dekat kakak tingkat selain Kak Angel." Pelangi tersenyum, mengangguk lagi. Dia malah takut jika Abella dan Chiara mengenalinya di kampus, akan mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya. Pelangi tidak ingin Abella dan Chiara menjauhinya, kemudian memberitahu tentangnya juga pada Ratih. Semua orang akan berujung membenci, Pelangi sudah hapal sekali. "Kak Pelangi kenapa kelihatannya sedih? Lagi ada masalah ya?" Abella langsung menegur khawatir, mengusap pundak Pelangi. "Jangan khawatir, apa pun masalah yang sedang kita hadapi, kata Papa selalu ada jalan keluarnya." "Eh, enggak kok. Tapi aku tiba-tiba nyeri perut, makanya diam sebentar. Biasalah, mau kedatangan tamu bulanan." Ratih tersenyum hangat. "Setelah ini minum yang hamgat-hangat, biasanya rasa sakit itu akan mereda dengan sendirinya. Kayak Chiara, selalu minum susuu hangat ya, Sayang?" Chiara mengangguk cepat. "Aku punya banyak stok susuu di rumah, Kak Pelangi biasanya suka minum susuu vanila, cokelat, atau stroberi?" "Aku suka vanila." Abella menjentikkan jari. "Ya sudah, Kakak tunggu sebentar di sini, kita ambilkan susunyaa dulu buat Kak Pelangi. Ayo, Chiara!" Segera melajukan skuternya, begitu bersemangat. Didikan Ratih dan Damian memang tidak pernah mengecewakan, anak-anaknya selalu gemar berbagi dan selalu berusaha baik kepada sesama. "Eh, beneran diambilkan, Tante?" Ratih tertawa kecil. "Beneran dong. Biarin aja, mereka kayaknya lagi senang banget sama kamu. Sekali ketemu langsung bisa akrab. Bawaan diri kamu sangat positif, makanya mereka suka." "Makasih ya, Tante. Senang bisa mengenal keluarga Tante." "Nanti kapan-kapan main ke rumah, ya. Biar ketemu sama Zio dan Gabriel. Tante punya dua anak cewek dan cowok. Lengkap kan?" Pelangi mengangguk cepat, cukup terkejut. "Wah, rame banget berarti ya, Tante. Pasti seru." "Selalu berantem, adu mulut setiap hari. Apalagi si kembar sama Gabriel, nggak pernah mau akur. Tapi kalau sama Abang, mereka takut. Nggak ada yang berani, sekali Bang Zio yang angkat bicara, diam semua." Pelangi terkekeh, senang sekali rasanya bisa mengobrol banyak. Dia mengetahu beberapa hal kecil tentang keluarga Faresta, ternyata kenal dengan Ratih begitu menyenangkan. Dia sosok seorang wanita yang baik hati, meski kaya raya tidak pernah sombong dan saling membedakan sesama. Ratih begitu merangkul kepada siapa saja, selalu memberikan kalimat yang bagus kepada lawan bicaranya. Tidak heran kenapa semua orang yang ada di sekitar sana menyukai Ratih, cara mereka bertetangga sangat akur dan mengasihi. Awalnya Pelangi pikir orang sekaya keluarga Faresta akan selalu berada di dalam rumah, keluar jika ada perlunya saja--ternyata tidak. Lihat Ratih, dia selalu berusaha mengajak si kembar maupun Gabriel gabung bersama dengan anak-anak tetangga. Bermain dan saling mendekatkan diri. Ratih sangat pandai memposisikan dirinya, tidak pernah merasa dirinya paling tinggi dari yang lain. **** Maaf kalau banyak typo ya, revisi akan menyusul. Semoga selalu suka dengan karya-karya aku, maaf jika banyak kekurangan di dalamnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD