DUA EMPAT

1099 Words
-24- Bau obat-obatan, jarum suntik dan rasa pening di kepala. Rian menatap iba pada Tika yang berbaring lemah di ranjang UKS, Ia menahan rasa pusing yang menyerangnya tiba-tiba, terus-menerus tanpa bisa Rian tolak. Suasana ramai, banyak bisikan, tangisan dan jerit-jeritan kecil di sana-sini. "Yan, nih minum dulu." Rian menoleh ke samping dan mendapati Disya yang menyodorkan sebotol air mineral padanya. "Nggak usah maksain diri sendiri, entar gue yang ngomong ke Abim," ujar Dewi lirih namun dapat didengar Rian dengan jelas. "Eng-nggak papa kok," jawabnya seraya menerima botol air. "Udah bilang ke Abim?" tanya Dewi setelah duduk di sisi ranjang. Rian mengangguk. "Sini, pinjem hp lo. Gue mau ngomong sama dia." Rian terdiam, ia bingung. Dengan keraguan yang menahan tangannya, Rian menyerahkan hp nya pada Dewi. "Nama kontaknya apaan? Dari tadi gue cari 'Abim' nggak ketemu," gerutu Dewi tanpa memalingkan mata. "Bahaya ..." Dewi mendongak sambil mengernyitkan dahi. "Nama kontaknya Ba-Bahaya," ulang Rian lirih. Disya hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Halo, Bim. Lo di mana?" tanya Dewi sambil menjauh dari keramaian yang ada, sejauh mungkin agar tak ada yang mendengar, terutama Tika. Bisa gawat bila sahabatnya itu tahu apa Dewi bicarakan. "Lo beneran gak papa?" Disya mendekat dengan langkah kecil, terlihat ragu dan canggung, sebelumnya ia jarang berbincang dengan Rian. "Muka lo pucat," sambung Disya. Ia tak ingin terlihat sok perhatian. Fokus utamanya adalah Abim, ia banyak mendengar kabar kurang enak soal pemuda dari SMA Awan itu, terutama dari kalangan perempuan. Banyak juga yang meludah saat mendengar nama itu, hanya saja banyak yang tak berani pada Tika, takut kalau Tika mengamuk dan berpikir bahwa pacarnya tengah di fitnah. Rian tersenyum kaku, ia bukan benci sosialisasi, ia tak bisa! "Nggak papa kok," ujarnya lemah. Disya ingin sekali mendorong cowok di depannya hingga terbaring di ranjang. Siapa yang tak miris melihat wajah pucat pasi dan bibir Rian yang lekas pecah di beberapa bagian, saking keringnya. Bahkan tangan Rian tak bisa diam saat meneguk air. "Nih." Dewi menyodorkan kembali ponsel Rian, ia habis negosiasi dengan Abim, cukup sulit karena cowok itu banyak alasan. "Diskusi apaan barusan? Serius banget," ejek Disya yang kini ikut duduk di tepi ranjang, bersebelahan dengan Dewi. "Bukan apa-apa, gue cuma nyuruh Abim ke sini." Rian membulatkan mata penuh. Sumpah, ia tak siap jika harus bertemu Abim. "Buat apa?" tanyanya bingung. Dewi menoleh ke arah Tika yang masih tidur, dahinya agak berkeringat. Dewi yakin kalau punggung Tika basah karena keringat. "Masih inget sama Siska?" Dewi kembali bersuara, membawa lagi nama yang hampir mereka lupakan. "Pernah tahu keluarga Siska? Adik atau bokap sama nyokap nya?" sambung Dewi. Hening, seolah keramaian yang tadi hanya sebuah sound effect yang mudah dimatikan kapan saja. Rian dan Disya bungkam, walau mereka sekelas, mereka tak tahu menahu soal keluarga Siska atau apapun yang berhubungan dengan Siska. "Wi, apa hubungannya sama anak Awan?!" Disya tak mengerti, ia tak tahu ada apa dengan Abim dan Siska. "Untuk sekarang gue belum tahu, tapi gue rasa Abim tahu lebih banyak soal Siska dibanding kita." Rian mengeraskan rahang, ia tak akan siap untuk bertatap muka dengan Abim. Ia juga berpikir, apa yang membuatnya begitu takut dengan Abim? Dan lagi, aura Abim bukan aura manusia, setidaknya hanya itu yang dikatakan "teman" Rian. "Gue udah bilang sama Abim, nanti kita ketemu di toko bukunya mas Jun," lirih Dewi dengan nada getir, Disya merapatkan mulut dan Rian ... Ia hampir pingsan. ~~~ "Bim, lo yakin mau mau ceritain semuanya?" Tio mengekori Abim menuju parkiran, ia agak was-was saat Abim mengajaknya bertemu anak-anak Bintang. "Enggak, lah. Lagian kita ke toko bukunya mas Jun, dan inget, mas Jun itu kakak tirinya Dini." Tio mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Dini? Bukanya kakak tirinya Siska?" Abim menyeringai. "Clue buat elo, biar nanti elo nggak ikutan kaget dan nggak malu-maluin gue," kekehnya. Tio hanya memandang jengah pada sahabatnya itu. "Seenggaknya lo keliatan sedikit berwawasan di depan Dewi." Abim duduk di motornya lalu memakai helm full face miliknya. "Serius? Gue pikir Dewi bakal ilfeel sama gue karena udah nggak jujur di awal." Tio juga melakukan hal yang sama dengan Abim. Kebetulan juga motornya ada di sebelah motor Abim. Abim memutar kunci dan menstarternya. "Ya ... Elo siap-siap aja kalau sampek kayak gitu." Tio menoleh, ia tadi tak sempat mendengar karena terhalang suara berat motornya dan motor Abim yang bersahutan. "Lo ngomong apaan? Gue gak denger!!" teriak Tio. "Nggak, yuk berangkat, kita buat kejutan!" ~~~ Rak buku yang berjejer 6 baris ke depan dan 3 baris ke kanan. Dua buah meja panjang dengan lima pasang kursi yang saling berhadapan di tiap mejanya, bersebelahan dengan jendela kaca besar yang langsung menghadap jalanan. Lalu, di ujung jalan sana ada meja kasir, berseberangan dengan pintu masuk. Ada meja yang dipenuhi beragam aksesoris dan action figure Gundam berbagai ukuran dan jenis. Juna, begitulah tulisan yang terpampang jelas di atas pintu masuk bagian luar. Sebuah nama toko buku yang bersebelahan dengan kedai teh yang dimiliki oleh orang yang sama, Junaid, atau bisa kita panggil mas Jun. "Mana sih, Abim nya?" gerutu Dewi yang duduk bersebelahan dengan Tika, di sebelahnya lagi ada Disya dan Rian. Mereka ber empat duduk di meja panjang yang menghadap langsung ke jalan, agar mereka tahu saat Abim datang. "Tik, lo beneran nggak mau pulang?" Dewi menoleh ke Tika yang sedari tadi diam, melamun. Menurut Dewi, Tika malah lebih banyak bungkam setelah siuman. "Enggak, gue mau di sini aja. Lagian gue udah sehat!" Dewi menghela napas lelah. "Gue penasaran sama yang namanya Abim. Kayak apa sih orangnya?" Disya bertanya sambil mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya, ia bosan. "Jelek, kayak monyet!" jawab Tika malas. Ketiga temannya menatap Tika heran. Lalu ... Rian menegakkan tubuh, ia bergidik ngeri, membayangkan kalau saja Abim mendengar jawaban sarkas Tika. "RIAN, DI BELAKANG!" Rian membulatkan mata, perlahan punggungnya meremang, ia dapat merasakan bulu roman nya yang mulai berdiri. Keringat dingin mulai membasahi bahunya, merembes dan turun ke punggungnya yang terasa sedingin es. "Jangan-jangan ...." batinnya menebak. "Di-di belakang," lirihnya, ia berusaha keras untuk bersuara, lidahnya masih agak kelu. Disya yang duduk tepat di samping Rian menoleh secara reflek, diikuti Tika dan Dewi. "Mau ngapain lo?!" sengit Tika saat mendapati Abim dan Tio berada di belakang mereka, mengendap-endap. Tika dapat menebak kalau mereka ingin mengejutkannya. "He he he, kaca mata, lo udah siuman?" Abim tertawa hambar. Tio memaki dirinya sendiri yang dengan bodoh mengikuti perintah konyol Abim. Ia pikir kejutan yang dimaksud Abim adalah sesuatu yang WAH dan tak terpikirkan. Nyatanya, hanya mengejutkan dengan cara paling bodoh! Disya menelan ludahnya dengan susah payah. Di toko ini hanya ada satu pintu masuk, dan pintu itu ada di seberang meja kasir, yang artinya ada di sebelah meja mereka. Pertanyaannya, kapan kedua cowok itu masuk ke toko buku?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD