Bab 164: "Menunggu I"

1426 Words
"Maaf, telah membuatmu menunggu. " pemuda itu menyeringai. Luna menunjukkan raut senyuman yang enggan. Bau permen karet, selalu bau permen karet yang menyeruak dari tubuh Gavin, tercium oleh Luna dengan tersiksa. Gavin mengedipkan matanya. Ia sendiri bisa menikmati aroma tubuh Luna yang wangi. Entah sabun apa yang ia pakai, parfum apa yang disemprotkan, Gavin merasa di atas semua itu, perempuan di hadapannya sudah wangi sejak pertama kali ia hadir di muka bumi. "Sebenarnya aku sudah ada disini dari tadi. Tapi... aku mengujimu.'' Gavin mengenakan kaos putih berkancing tiga, celana kepar 1001-juga berwarna putih. Dan dengan demikian semakin menegaskan dirinya atas warna kesukaanya. Tetapi Luna mendadak merasa hal ini bodoh, bukan karena apa yang sedang dipakai Gavin, namun atas perkataanya barusan. "Tidak, kau tidak mengujiku,'' kata Luna, pelan. Seketika sepasang mata Gavin menegang. "Kau memberiku sangat sedikit waktu untuk menunggu. Kalau kau mengujiku, kau akan menghabiskan rasa sabarku untuk menunggu.'' Gavin tertohok. "Wah, Wah, Wah, rupanya kau sudah mampu bicara banyak, Lady!'' Gavin menggeleng-gelengkan kepala. "Hanya dalam sehari? Itu seperti..ehmm....'' Rasa malu menggerogoti Luna. Ia sendiri rupanya tak sadar telah mengucapkan itu. Seolah-olah kalimat itu terilhami begitu saja dari alam bawah sadarnya. Bisa dibilang sebagai spontanitas juga. Dan untuk menutupi semua itu, Luna mulai bersikap sebagaimana biasanya, menjadi pendiam dan anggun. Ia berdiri tegak di bawah pohon oak, meremas-remas jemarinya. "Kenapa kau suka berubah-ubah dalam bersikap, huh?'' Luna tidak menjawab. Hanya kepalanya tertunduk, jari jemarinya semakin kencang diremasnya. Angin bergerak ke arahnya, menarikan tunik kerah pita dan rambutnya yang tergerai diberi pita satin. Suhu semakin merendah namun Luna tidak lagi memeluk dirinya. "Jadi, apa yang membuatmu menyuruhku datang kesini?'' tanya Luna, pelan. Ekspresinya bergilir takut. "Jangan khawatir, aku tidak merencanakan apapun,'' dengan berkata begitu, ia menyeringai lagi. Segaris angin melayang di udara, menyapu ilalang setinggi betis. "Baiklah, mari kita selesaikan ini semua,'' kata Gavin, memutuskan."Aku sengaja membawamu kesini supaya kita bisa benar-benar bebas, tidak ada seorang pun selain kita disini.'' Luna diam. "Kau tahu, Luna. Kau dan aku saling mengenal, kita punya hubungan, bahkan ikatan. Kau tak bisa memungkirnya lagi, Luna. Itu harga mati.''Gavin menatap Luna. "Kau tahu kita berdua tidak pernah benar-benar sengaja sekolah di Honeysuckle?'' Luna terdiam. Tak mampu mengucap sepotong kata pun. Lafadz-lafadz Gavin yang diucapkan itu, mau tak mau, sudi tak sudi, akhirnya membawanya untuk kembali ke masa silam, masa sebelum ia disini, dan masa yang membawanya kesini. ***** "Kau tahu aku ini seorang Presiden, Luna?'' kata Lord Alastair ketika mereka berbicara di ruang tengah istana. Luna hanya mengangguk. "Dan kau tahu bahwa jabatan ini takkan ku pegang seumur hidup?'' Luna mengangguk. Desiran angin senja membawa tirai-tirai vinil menari dibalik jendela, memberi sunyi pada percakapan kala itu. "Kalau begitu kau pasti tahu kenapa kau ku panggil kemari?'' Luna terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepala. "Aku butuh pengganti, Luna.'' Lord Alastair menatap mata biru Luna. "Kau harus menggantikan aku, Luna.'' Luna terperanjat. Lord Alastair mendekatkan tubuhnya ke samping Luna. "Kau akan menjadi Presiden selanjutnya, menggantikan aku.'' Luna tergagap-gagap untuk menjawab. Luna hendak mengatakan sesuatu. Namun belum sempat ia melontarkan sepatah kata, Lord Alastair langsung menyelanya. "Kau harus mau, Luna!!'' Lord Alastair mengacungkan telunjuknya ke hidung Luna. Tatapannya tajam mengarah pada Luna. Luna pun segera mengatupkan kembali mulutnya dan menganggukkan kepala pelan. Lord Alastair tersenyum senang. Segera saja ia membeberkan rencananya pada gadis malang itu. " Jadi begini, singkatnya, nanti kau akan aku kirim ke sebuah asrama. Disana aku menugasimu untuk sesuatu yang bisa kau sebut...Pencitraan Palsu'' Lord Alastair menyunggingkan senyum, ia memeluk bahu Luna lembut. Luna mulai pucat akan rencana ayahnya. "Manipulasi pikiran rakyat sebagai sugesti untuk memilihmu secara halus adalah tujuan cantik pengirimanmu.'' Angin berhembus. "Seseorang bernama Gavin Marshall akan membantumu dalam tugas ini. Dia partnermu sekaligus... calon suamimu.'' Luna berusaha untuk tidak kaget. Tetapi ternyata sulit sekali. Ia sebenarnya tidak mengerti mengapa harus ada seseorang bernama Gavin. Baiklah, jika alasannya untuk membantu tetapi calon... "Ya, aku menginginkanmu menikah dengannya.'' Ia menatap Luna. "Ini bukan perjodohan, tetapi perjanjian politik.'' "Kau menjanjikan diriku untuknya?'' Sunyi. Lady Earlene keluar dari kamarnya dan mengintip percakapan mereka dari lantai dua. ''Ya, ini sebenarnya rencana dari Wangsa 'B'.'' ''Waktu itu aku bertemu dengan ''Master Guru'' dari dinasti itu.'' Jelas Lord Alastairs pada keheningan. ''Kau tahu, seseorang dari keturunan itu, bangsawan Flaubert adalah iblis di negeri ini. Mereka menginginkan kursiku.'' Angin berdesir. ''Jadi aku sepakat untuk bertanding secara sehat, maksudku, karena presiden didasarkan atas pemilihan umum, maka prinsipnya, siapa yang bisa menguasai hati rakyat, itulah pemenangnya.'' Luna termenung. ''Kau mengerti maksudku?'' Luna mengangguk. ''Tetapi mengapa harus ada partner, maksudku.. seseorang bernama Gavin itu.'' ''Karena dia bisa banyak membantumu,'' ujar Lord Alastairs. ''Dahulu, ia pernah dekat dengan Flaubert... dia tentunya tahu betul bagaimana bangsawan itu. Jalanmu akan lebih mudah jika beriringan dengannya.'' ''Tapi... menikah dengan dia?'' ''Itu karena dia seorang proletar, Luna,'' sang Presiden mulai merasa jengkel. ''Kau harus menikah dengannya untuk meyakinkan penduduk bahwa kau memihak mereka.'' Luna bahkan tidak pernah mendengar nama Gavin disebut Lord Alastairs untuknya sebelum ini. Ia juga sama sekali tak tahu bagaimana wajahnya. Kebutaan ini membuatnya bingung. "Betapa pun, kau tetap harus waspada pada pemuda itu.'' Lord Alastair melepaskan pegangan bahunya di pundak Luna. Ia menghela napas. '' Dia belum tentu seratus persen memihak kita, omongan seorang proletar jarang ada yang bisa dipercaya. Namun, Luna, setidaknya untuk saat ini, ia bisa kau gunakan untuk membantumu melawan Flaubert.'' ''Bagaimana kalau ternyata ia hanya pura-pura menentang Flaubert? Bagaimana kalau ternyata....'' ''Itulah mengapa aku juga mengirim Sverdlov untukmu, cantik. Ia satu-satunya orang yang paling bisa kau percayai disana.'' Hening. "Lusa, kau bisa langsung berangkat ke asrama itu. Aku sudah menyiapkan segala yang kau perlukan nanti disana. Dengar, ini memang kedengaran sedikit tidak rasional. Tapi aku butuh bantuanmu, Luna. Untuk menjalani semua 'ini', kau tahu maksudku? Berhati-hatilah disana. Aku memerintahkanmu untuk mengontrol mereka, bukan sebaliknya. Dan jangan lupa, beri tahu aku setiap detail hal yang menyangkut 'ini' padaku dengan tersembunyi dan rahasia. Dengar, Luna, aku menyayangimu dan membutuhkanmu.'' Mereka saling menatap. ''Dan rencanaku sebenarnya adalah ada pada pertanyaan, mengapa aku mengirimmu ke Honeysuckle?' ''Apa?'' ''Itulah yang harus kau pecahkan, Luna. Marie Rose yang mengusulkan asrama itu untukmu'' "Mungkin Marie Rose tahu sesuatu.'' Lord Alastair mengangkat bahu dan dengan demikian, Lord Alastair bangun dari sofanya. Tampak bekas dudukannya di atas sofa tercetak membentuk bulatan sebelum akhirnya kembali lagi seperti semula. Lord Alastair berjalan ke koridor, meninggalkan Luna sendirian. Lady Earlene menuruni tangga dan mendekati Luna, "Kegilaan apalagi yang ia rencanakan, Luna?'' tanya wanita itu dengan nada sarkastis. Luna mengangkat bahunya. Lady Earlene duduk di samping Luna. "Dia ingin membuat pencitraan palsu tentangku.'' "Maksudmu?'' mata Lady Earlene menegang. '' Aku pikir kau sudah dengar tadi.'' '' Yahh.'' Lady Earlene meletakkan gelas anggurnya. ''Tapi bukan hanya sekedar itu, kan?'' Ia mengerling. '' Mengapa ia mengirimku ke Honeysuckle?'' Luna menerawang. ''Bukankah sudah jelas, untuk pencitraan itu?'' Lady Earlene tertawa kecil. ''Mungkin maksud ayahmu, mengapa harus Honeysuckle?'' '' Mengapa?'' ''Itulah masalahnya, Luna, tapi kalau saja kita semua tahu, maka tidak perlulah repot-repot mengirimmu kesana. Lagipula, kau masih... enam belas tahun, kau pikir dia benar-benar serius akan menjadikanmu presiden di masa depan? Benar?'' Luna tertunduk sambil meremas-remas jemarinya. Ia tidak tahu jawabnya. Di antara cabang-cabang Willow Alam yang bergetar itu membangunkan Luna dari lamunannya. Gavin menatapnya. "Apa kau pikir kita bisa melakukan ini semua?'' Gavin mengatakannya dengan ragu-ragu. Luna menyunggingkan senyuman letih, "Kau sudah tahu jawabannya, bukan?'' "Apa?'' Gavin meminta penegasan. Luna menghela nafas, "Aku tidak tahu, aku tidak diberi petunjuk apapun, dan kita tidak pernah bertemu sebelumnya.'' "Jadi kau tidak bisa menjelaskan? " dan dengan mengatakan ini, Gavin menaikkan volume suaranya tanpa sadar. "Maksudku, untuk membahas masalah ini.'' dan dia menurunkan nada suaranya. Segaris angin melayang di udara. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan...'' "Jadi, itu sebabnya presiden mengutusku mendampingimu?'' potong Gavin. Luna memandang pemuda itu. " Ya, dia menyuruhku berpura-pura supaya rakyat simpati dan memilihku sebagai presiden pada pemilu mendatang, tapi...'' Gavin terkekeh kecil. Luna terheran-heran. "Baiklah, aku ingin menyampaikan hal itu padamu,'' kata pemuda itu. Luna tidak mengangkat kepalanya dan menatap Gavin waktu mendengar ini, tetapi ia tidak bisa menghindari keterkejutannya. Gavin berjalan pelan menembus ilalang setinggi pinggang, rambutnya berombak-ombak tersentuh angin, dan bulu-bulu dandelion yang pecah, juga bunga-bunga liar yang jatuh dari kuntumnya, terbang mengotori tubuhnya. Luna tetap berdiam di bawah pohon oak, tidak mengatakan apapun dan tidak melakukan gerakan apapun. "Sebelumnya, tak pernah terpikir olehku bahwa aku akan menikah dengan orang yang tidak aku cintai,'' kata Gavin, air mukanya tidak menunjukkan kesedihan yang berarti. Ini aneh, pikir Luna. Kemudian pria itu berbicara lagi, "Tapi walau begitu, aku sudah setuju dengan perjanjian ini. Aku tahu akan sangat berbahaya jika melanggarnya. Ini sedikit gila tapi aku.. aku harus mematuhinya.''
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD