Bab 229 : "Tuhan di Singgasana."

1226 Words
"Jangan takut, mereka tidak punya kekuatan disini," kata Hezron, entah bermaksud menghibur atau menguatkan dirinya sendiri. Izebel tidak menjawab. Hening. Mereka terus berjalan. Hezron masuk ke dalam sebuah ruangan yang berukir "Kaum Elite" di pintunya. Segera aroma buku kuno memburu Izebel seperti petasan. Ia terbelalak melihat pemandangan di hadapannya. Ruangan itu cukup luas dengan sofa-sofa besar, karpet merah, dan pohon-pohon hias yang hidup di sudut-sudutnya. Beberapa hal yang paling menyorot perhatian adalah perapian yang terus memercikkan api, harum aroma mawar yang berbeda dengan harum ruangan sebelumnya, juga rak-rak buku yang tersusun rapi. Beberapa kaum Elite tengah duduk-duduk dan saling mengobrol di sofa, ada juga yang serius membaca sesuatu di meja. Mereka tidak berpakaian seperti Tabliq Suci. Mereka memakai kaos atau kemeja dan celana panjang. Beberapa gadis bahkan mengenakan rok selutut. Izebel terpukul dengan kenyataan ini. Hatinya geram. Tapi kebanyakan dari mereka tersenyum manis waktu melihat Izebel. Seseorang berkemeja dan berkacamata bundar, mirip jenius kelas kakap, bahkan menyapa Izebel tanpa ada rasa bersalah. "Lewat sini," kata Hezron, memasuki koridor sepi. Lantai kayu berderit. Pintu-pintu kamar berbaris rapi di kedua sisi koridor. Hezron berhenti di depan pintu berukir Hezron-Sarfaraz-Feliks. "Lihatlah, apa jadinya jika aku tidak kemari? Mungkin skandal ini tidak akan terbongkar!" teriak Izebel. "Skandal?" Hezron tertawa. Izebel merasa benar-benar diremehkan. Oh orang dewasa yang menyebalkan! gerutu Izebel, meskipun usia Hezron masih remaja tapi ia bersikukuh memanggilnya orang dewasa. Hezron menyentuh gerendel dan membuka pintu. ***** Tanpa banyak menunda, Hezron langsung mengumpulkan banyak peralatan di atas kasur. Izebel, yang masih terlalu muda dan tidak pernah melihat alat-alat semacam itu, hanya termangu. "Ilmu," jawab Hezron, mantap. Ia melemparkan sembilan jilid kitab kosmos ke atas kasur. "Kita tidak boleh mengabaikan apa yang ada di dalam buku hanya karena kita membenci si pemilik dan pengarang bukunya." "Itu adalah doktrin." "Doktrin?" Hezron mendelik. "Tidak sama sekali, gadis kecil. Jika kau membacanya dengan teliti dan benar, kau akan tahu banyak manfaat yang didapat." Izebel terdiam. "Dengan kitab-kitab, aku menemukan ini," Hezron memperkenalkan peralatan-peralatannya yang tercecer di atas kasur; kawat-kawat tembaga, kabel-kabel listrik, lampu LED, kerangka-kerangka kaki dari plastik, dan lain sebagaianya. "Aku akan membuat kakiku mampu berjalan lagi," Tiba-tiba suara Hezron parau. Namun tak lama ia menegakkan kepalanya lagi, "Sayang sekali, aku tidak bisa bahasa Old Sammur." "Aku akan membacakannya untukmu," Hezron menarik kekecewaan yang tersirat dari wajah Izebel. Gadis kecil itu, akhirnya untuk pertama kalinya, melukis senyum manis untuk Hezron. ***** Di belakang Kapelarium Bazarjamher, di dekat pohon weeping willow, atau terkadang mereka berpindah ke atap Kapelarium, duduk di balkon, menatap hutan Rhododendron dan senja. Hezron mulai membaca dan menjelaskan kepada Izebel tentang isi kitab kosmos. Dimulai dari kitab kosmos jilid satu tentang alam semesta, Bahwa kerajaan dunia ini berbentuk bulat datar dengan dinding es mengelilingnya. Bahwa terdapat ribuan bintang dan planet dari ribuan galaksi yang terhampar, tapi Aristarkhus adalah pusat alam semesta. Bahwa bulan dan matahari beredarr seperti perputaran jarum jam dan menit. Mereka lanjut kepada jilid dua; Fauna dan Flora, Bahwa bentuk tumbuh-tumbuhan sesuai dengan kegunaannya dalam obat-obatan dan fungsi lainnya. Bahwa ada hewan yang boleh dan tidak boleh dimakan menurut standar kesehatan. "Seperti dalam Habel," kata Izebel, lembut, sekaligus tidak percaya. Apakah Emirel Shofar secara tidak sengaja menyalin isi kitab kosmos atau Raja Arphakshad yang dengan angkuh mengkopinya? Atau jangan-jangan Tuhan yang mencerai-berai isi dan informasi untuk menguji makhluk ciptaannya dan supaya kita semua berpikir? Pikiran-pikiran semacam ini melompat dari pesta pikiran Izebel sampai dirinya pusing sendiri untuk menyimpulkan dan menyimpulkan. "Barangkali, memang ilmu dan agama tidak pernah bertolak belakang," Hezron mengatakan ini sambil terus menatap Izebel seakan gadis kecil itu hanya satu-satunya hal yang bisa dia lihat. Segaris angin melayang. "Aku ngantuk," ujar Izebel dan dengan manja, antara sadar atau mabuk oleh suasana, merengsek duduk di pangkuan Hezron. "Bacakan saja sampai aku tertidur." Semburat merah menyiram tubuh mereka, membias dalam rona yang terpancar dalam kerlipan rambut, kulit, dan mata. Hezron membelai rambut cokelat Izebel, yang menjadi merah karena sinar temaram. Ia terus membaca dengan tekun. Tapi indahnya sore meniup pikirannya melayang kepada kelembutan angin dan matanya menjadi semakin berat dan berat. Pada menit ke delapan setelah Izebel menutup matanya, Hezron juga terlelap. Heartbeat Berbulan-bulan lebih mereka bergumul dalam kitab-kitab kosmos hingga tamat semua jilid. Mereka menyadari satu hal: apa yang harus mereka lakukan selanjutnya? Selanjutnya, Izebel datang ke Kapelarium Bazarjamher untuk melakukan perdebatan seru meski pada akhir hari ia akan pulas di pangkuan Hezron. Waktu pria muda itu berhasil membuat alat penyangga elektrik untuk menegakkan kakinya, waktu Hezron berhasil membuat kakinya berjalan seperti orang normal, Hezron berani menyambangi Kapelarium Svarozich dan mengajak Izebel berjalan-jalan menyusuri sungai Moran. Perbincangan mereka melebur, tidak lagi tentang kitab-kitab kosmos, juga bukan tentang moralitas dan ketuhanan, tetapi tentang hal-hal dangkal nan remeh, hal-hal dalam tentang kisah kasih, dan segala hal yang mampu menghadirkan senyum tawa di bibir keduanya dan mengembangkan rasa rindu. Tapi pertemanan mereka tak berkembang lebih dari itu. Ada sekat umur menghalangi dan berbagai perbedaan-perbedaan yang tak pernah tampak di permukaan namun jelas dapat dirasakan. Hezron Gideon adalah seorang keturunan Elite asli. Demikian pula Izebel Lothiriel, Tabliq Suci asli. Keturunan Hezron telah mengepung Tabliq Suci dan mengambil ibunya. Keturunan Izebel telah memaksa para pengungsi untuk ikut dengan keimanan dan hidup meyakini Allah, Emirel Shofar, dan segala t***k bengeknya. Apapun argumentasinya, ada satu titik dalam diri Hezron yang belum menerima kehadiran agama Tabliq Suci seutuhnya, meskipun ia tidak menentangnya. Apapun argumentasinya, ada satu titik dalam diri Izebel yang belum menerima bahwa membaca kitab Kosmos bukanlah suatu pelanggaran, meskipun ia tidak menentangnya. Jadi apakah yang sebenarnya disembah Hezron? Apakah dia benar-benar beriman? Dia seorang pengasih, pikir Izebel, meskipun ia tidak yakin. Jadi apakah Izebel masih belum menerima atas apa yang didapat dari kitab kosmos? Dia terlihat cukup toleran dari hari ke hari, pikir Hezron, meskipun ia tidak yakin. Barangkali kaum Elite mempelajari ilmu tanpa memahami moralitas dan ketuhanan, atau barangkali Tabliq Suci mempelajari agama tanpa mencelupkan ilmu ke dalamnya. Keraguan dan keraguan. Ketidakjelasan. Bertahun-tahun kemudian, sekat-sekat ini berubah wujud menjadi kesedihan. Sebab usia diantara mereka semakin meningkat berbanding lurus dengan perasaan tertarik satu sama lain. Izebel terus tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik, Hezron menjadi pria matang yang pintar. Perasaan untuk saling menggenggam, memeluk, mencium, dan berbuat lebih jauh terus menggoda seperti anggur yang tidak bisa kalau tidak diminum. Mereka tersiksa kalau harus pura-pura. Mereka mungkin bisa menghindari rasa sedih, senang, kecewa, tapi tidak dengan cinta. "Apa kau juga memikirkan hal yang sama seperti apa yang aku pikirkan?" bisik Hezron, takut kalau pertanyaannya menyinggung Izebel dan gadis yang kini berusia enam belas tahun itu akan marah lalu lenyap begitu saja. Izebel ragu-ragu, takut kalau jawabannya salah dan pria dihadapannya ini akan pergi menjauh. Lama ia hanya tertunduk sampai Hezron menyentuh dagunya, mengarahkannya ke wajah sang pria. "Katakanlah," Hezron memohon, suaranya bergetar. Jarak keduanya tak lebih dari satu senti. Hidung mereka bersentuhan. Mereka mampu merasakan nafas yang keluar dan menghirupnya secara bersamaan. Udara berubah menjadi hangat. Nyaman. "Bagaimana cara kaum Elite mengetahui perasaan lawan bicaranya?" Izebel balik bertanya, sepasang mata hazelnya memberanikan diri menatap mata biru Hezron. Sang pria tertawa kecil, "Aku takut kau tidak akan senang jika aku melakukannya." Namun Izebel menghendakinya. "Aku tahu," katanya. Ia menggenggam jari jemari Hezron lalu membawanya, secara sangat pelan, ke dadanya, tempat jantung berada. Tangan Izebel juga perlahan mendarat di d**a Hezron. Satu detik. Lima detik. Tiga puluh detik. Satu menit berlalu. Hanya degup jantung dan degup jantung. Mereka tersenyum. Secara mengharukan, mereka telah mengetahui perasaan masing-masing.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD