Bab 138 : Hari Baru, Harapan Baru

1054 Words
Pagi menjelang. Langit secerah hari sebelumnya. Burung-burung beterbangan. Angin berdesir sedang. Tidak pelan dan tidak kencang. Pohon-pohon berkersak seolah hidup dan hewan-hewan ternak mulai keluar dari kandangnya untuk mencari makan. Di kota Zhaka, orang-orang mulai melakukan aktivitasnya. Mereka telah bangun sejak subuh untuk mengurusi urusannya masing-masing. Ada yang sudah sibuk pergi ke pasar. Ada yang sibuk mengantar anak ke sekolah. Ada yang sibuk berdagang, mendorong gerobak. Dan ada juga yang sibuk pergi ke kantor dengan berbagai kendaraan yang dimilikinya. Dilihat dari jauh, orang-orang miskin memang terlihat pemalas. Tapi kalau kita mau melihatnya dari dekat, melihatnya dengan mata yang besar dan pikiran yang jernih, maka, lihatlah, sesungguhnya orang-orang yang dibilang miskin itulah yang bekerja lebih keras. Mereka yang berani berkubang dalam lumpur demi sesuap nasi. Mereka yang tidak sempat memikirkan penampilan, tak sempat pakai jas dan make up, hanya untuk pergi ke kantor. Mereka sangat amat sibuk. Dan bersamaan dengan kesibukan itu, Mr. Zuraya dan Mr. Zendaya telah bangun dan bergegas ke rumah majikannya, rumah Jullia alias rumah Sheila yang sudah dibersihkan, setelah sebelumnya terbengkalai dan awut-awutan. Di tengah perjalanan, mereka insiatif untuk membelikan majikan mereka sarapan. Bubur ayam, lebih tepatnya. “Aku yakin mereka akan suka bubur ayam dari Zhaka ini,” cetus Mr. Zuraya sambil mengurut jenggotnya. Mr. Zendaya mencondongkan wajahnya ke rekan kerjanya itu. Ia lalu memicingkan mata. “Memangnya kau sudah pernah mencoba bubur ayam di sini?” tanyanya, keheranan. “Belum sih,” Mr. Zuraya nyengir kuda. “Tapi aku yakin pasti rasanya enak kok. Makanan jalanan sering kali memang lebih enak daripada makanan di restoran kan?” “Tidak untuk Kue Pane,” Mr. Zendaya menimpali. “Prince Adrian tidak suka dengan Kue Pane,” lanjutnya. Ia teringat dengan cerita majikannya tentang Kue Pane dan betapa Adrian muntah-muntah karena hal tersebut. “Tapi aku yakin dia akan suka bubur ayam ini.” Mr. Zuraya ngotot. “Yah, coba saja.” Mr. Zendaya mengedikkan bahunya, tanda pasrah. Bubur ayam selesai dibuat dan dibungkus. Harganya murah meriah. Mr. Zuraya dan Mr. Zendaya pun bergegas untuk pergi ke rumah majikannya. *** "Pedagang bubur ayam itu bilang, "Salam ya buat Jullia", " tukas Mr. Zuraya dengan pengakuannya, sesaat setelah mereka tiba di rumah Jullia lalu memberikan dua bungkus bubur ayam tersebut kepada mereka sebagai sarapan. Tak lupa dengan teh manis hangat sebagai minumannya. "Ternyata warga kota Zhaka baik-baik ya, dan pengertian sekali. Meskipun tahu wajah Nyonya sering mondar-mandir di televisi akhir-akhir ini. Meskipun tahu permasalahan yang sedang melanda Nyonya dan meskipun tahu suami Nyonya sekarang adalah Prince Adrian, keturunan Rotsfeller. Kebanyakan dari mereka tetap tidak mengusik,” lanjutnya, tak lupa sambil mengurut janggutnya yang panjang dan berkibar-kibar. Dari binar matanya, tampak bahwa ia merasa puas dengan laporannya dan juga bubur ayam yang disajikannya. "Aku kan sudah bilang dari dulu. Itulah mengapa aku pilih tinggal di sini untuk menenangkan diri,” jawab Jullia sambil mengaduk-aduk bubur ayamnya di meja. “Setidaknya sampai TV bosan memberitakan masalahku dan sampai ada jalan keluar dari permasalahan ini," lanjutnya. Adrian yang duduk di samping Jullia tidak mengatakan apa-apa. Ia asyik sendiri mengaduk-aduk bubur ayamnya dan memakannya perlahan, merasakan kelezatannya dan sensasinya. Sebagai Prince Rotsfeller, tentu saja ia jarang makan makanan pinggir jalan begini. Tapi semenjak ia tinggal di Zhaka, ia telah mencoba berbagai makanan pinggir jalan dan ia sangat terkesan dengan sensasi rasanya. Kedua pelayannya tahu ini, makannya tadi ia berinisiatif untuk membelinya. "Sambalnya lagi, Prince?" Mr. Zendaya menawarkan. Ia memberikan plastik sambal untuk Adrian. Lelaki itu mengangguk. “Sambalnya enak juga ya?” Adrian berkomentar. Di ruang tamu yang cukup sepi dan tidak banyak perabotan, kata-kata Adrian yang lemah terdengar menggema seperti berada di dalam gua. Mr. Zendaya hanya terkekeh. "Memang enak, Prince. Mau dibukain?" Mr. Zendaya menawarkan lagi. "Oh, gak, gak perlu. Aku bisa sendiri kok," tukas Adrian lalu menyobek plastik sambal dan menuangkannya di bubur miliknya sendiri. Di dalam hati, ia bergumam, “Oh betapa lebaynya kedua pelayannya ini? Mau minta sambal saja harus dibukakan? Oh ia tidak ingin selebay itu. Ia ingin mandiri. Apa -apa yang bisa ia kerjakan sendiri, maka akan ia kerjakan sendiri. Begitu. Titik.” "Kamu gak boleh makan sambal ya, Jullia. Ingat, kamu lagi hamil," lanjut Adrian ketika ia melihat Jullia hampir mengambil sambal di meja. Dengan setengah bercanda, ia berkata lagi, “Ibu hamil harus nurut loh pokoknya.” Jullia hanya mengulas senyum manis. “Baiklah, Prince yang tampan dan budiman. Iya, aku tahu, aku harus mengendalikan diri. Shh! Shh! Singkirkan sambal itu dari hadapanku! Ah, aku tidak sudi untuk melihatnya haha.” Adrian, Mr. Zendaya dan Mr. Zuraya pun ikut tertawa terbahak-bahak. Kembali lagi ke topik tentang Kota Zhaka. Mr. Zuraya bertanya lagi, "Kenapa ya bisa begitu? Kenapa penduduk kota Zhaka kebanyakan tidak mempermasalahkan kehadiran Jullia dan Adrian di sini?" Setelah menelan beberapa sendok bubur yang dicampur ayam, Jullia pun berkata. "Pertama," jelas Jullia. Ia berhenti mengunyah makanannya. "Karena aku adalah orang Zhaka. Aku adalah orang asli sini dan sebagai orang asli sini, mereka sangat menghargaiku. Kedua, karena mereka memang sudah terbiasa untuk melindungi privasi orang, apalagi privasi orang sini. Ketiga, karena Adrian adalah Rotsfeller. Mereka tidak terlalu mau ikut campur untuk urusan yang berhubungan dengan Rotsfeller. Mereka tahu apa akibatnya." Adrian menelan ludah waktu Jullia mengatakan ini. Rotsfeller... Ah, tentu saja! Siapa berani mengusik Rotsfeller atau dia akan menyesal? Bukankah Rotsfeller begitu ditakuti? “Jadi, berbeda sekali ya dengan orang-orang dari Bait Lahem?” Mr. Zuraya kembali bertanya. Tentu saja, ia terus mengurut janggutnya. “Orang-orang di Bait Lahem terlihat lebih heboh dan suka ikut campur urusan orang lain. Bahkan, ketika urusan itu tidak ada sangkut pautnya dengan mereka. Lebih dari itu, kadang-kadang mereka merasa superior sendiri karena tinggal di ibukota. Lebih dari itu lagi, mereka banyak yang berteman akrab dengan para keturunan Rotsfeller.” “Lebih dari itu lagi,” Mr. Zendaya menyerobot ucapan rekan kerjanya. “Mereka berotak licik dan berhati picik. Jika mereka memiliki hubungan yang dekat dengan Rotsfeller, mereka akan memanfaatkannya sebaik mungkin.” Jullia dan Adrian sama-sama terdiam mendengarkan penjelasan kedua pelayannya. Di dalam hati, Jullia membenarkan ucapan mereka. Sementara di dalam hati Adrian, sambil memakan bubur ayamnya sendok demi sendok, ia merenung dan menyadari bahwa memang, selama ini ia banyak dimanfaatkan orang-orang. Terlebih karena statusnya sebagai keturunan Rotsfeller. Dunia sepicik itu, ternyata, dan selama ini, ia telah tertipu mentah-mentah oleh gemerlapnya. Adrian menghela napas, lelah, dan mengunyah bubur ayamnya sekali lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD