Bab 121: Malam Yang Indah II

1047 Words
Malam itu, Lady Novina, Lady Claudia dan Marigold sama-sama berkumpul di suatu ruangan kedap suara di Istana Keluarga Ruby Rotsfeller. Mereka tengah merencanakan sesuatu. Marigold duduk di sofa disamping sebuah patung seorang perempuan telanjang yang dipelitur dan diberi ornamen emas. Ia mengetik-ngetik sesuatu di ponselnya. Udara yang berhembus dari pendingin ruangan membuat bulu kuduknya agak merinding. "Apa dia bisa dihubungi sekarang?" tanya Lady Claudia, ia harap-harap cemas. Marigold menggeleng. Ia tak bisa memberi jawaban sekarang. Dan yang dimaksud "Dia" dalam pertanyaan Lady Claudia tentu saja adalah Andromeda alias George alias Eda. Sebelumnya, Marigold sudah memberitahu kedua Lady Rotsfeller tersebut tentang Eda, bahwa lelaki itu adalah agen serba tahu. Ia tahu kisah antara Archi, Adrian, Jullia dan Hera dari awal sampai akhir. Bahkan ia tahu apa yang Archi, Adrian, Jullia dan Hera tidak tahu diantara sesama mereka sendiri. Wow, sungguh luar biasa kan? Jadi, dalam merencanakan upaya pembunuhan untuk Jullia. Marigold berpendapat bahwa seharusnya nama Eda ikut diseret. "Dan apakah dia bisa dihubungi sekarang?" Lady Claudia bertanya lagi. Ia tak sabar. "Aku sudah mengechatnya tapi belum dibalas," jawab Marigold. "Kalau begitu telepon." "Gak diangkat." "Gggrrr!" Lady Claudia dan Lady Novina menggeram, gemas. "Dimana alamatnya? Kita datangi saja rumahnya," serobot Lady Novina. "Semakin lama kita mengulur waktu, semakin panjang urusan, semakin sulit selesai." Lady Claudia mengangguk. "Kalian tahu, aku baru saja mendapat kabar dari pelayan istana kalau Archi dan Hera bertengkar lagi." Ia menggelengkan kepala tak habis pikir. "Bertengkar untuk kedua kalinya dalam waktu kurang dari dua belas jam." "Benar-benar gila," sahut Lady Novina. Marigold mendengus keras. Ia memikirkan Adrian, dan kenyataan bahwa Adrian masih bersama Jullia membuatnya senewen. Adrian adalah calon suaminya. Betapapun, ia harus menyingkirkan perempuan bau tengik itu dan menyelamatkan Adrian. Titik! *** Usai berhubungan, Adrian dan Jullia saling berpelukan. Kedua tubuh mereka dibungkus oleh selimut tebal. Adrian memeluk Jullia dari belakang dan Jullia memegangi tangan Adrian yang menempel di perutnya, erat. Keduanya sama-sama terpejam, namun bukan berarti tidur. Mereka sama-sama terjerat pikiran masing-masing. Jullia memikirkan tentang kehidupannya. Bagaimana ia lahir dari seorang anak haram, kemudian harus menjalani sakitnya kehilangan seorang ibu, lalu dibawa ke rumah ayahnya, lalu diangkat derajatnya sedemikian rupa oleh Archi, untuk kemudian dijatuhkan lagi lebih bawah oleh orang yang sama. Betapa hidup itu adalah perhelatan jungkir balik. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan. Ketika Jullia sudah putus asa karena akan dinikahkan oleh seorang pria asing, ternyata pria asing itu adalah seorang pangeran. Sungguh, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi ke depan. Dan sekarang, Jullia akan kembali ke Zhaka, bersama pangerannya, suaminya satu-satunya. Tunggu, apakah dengan ini, berarti Jullia mencintai Adrian? Jullia membuka matanya sebentar. Ia terhenyak memikirkan pertanyaan yang berkelebatan di kepalanya. "Apakah aku mencintai Adrian?" Jullia terus bertanya-tanya di dalam hati. Jika ia boleh flashback ke awal pertemuannya dengan Adrian, lalu bersahabat sampai ke kejadian di dalam mobil itu... sebenarnya ya, sepertinya ia mencintai Adrian. Tapi... Tapi... ah, entah tapi karena apa... Jullia mungkin mempunyai perasaan yang sama terhadap Adrian, namun ada sesuatu yang janggal di hatinya. Seperti ada sesuatu yang kurang. Hanya saja, ia tak tahu dimana letak kekurangannya dimana. "Jullia..." bisik Adrian di telinga istrinya. Bulu kuduk Jullia meremang mendapat bisikan itu. "Ya, Adrian," jawab Jullia, pelan. "Aku pikir kamu sudah tertidur..." "Hmmm..." Jullia bergumam. Ia membuka matanya lagi, memandang kepada lantai kamarnya. "Aku tahu keadaan kita sulit saat ini," Adrian mulai bercerita. "Tapi selama bersama kamu, aku tidak keberatan untuk menghadapi badai sesulit apapun." Jullia mengulum senyumnya, meskipun Adrian tidak melihatnya. Sang suami mengeratkan pelukannya di pinggang Jullia. Saat itulah, ia mengelus perut Jullia yang tengah membuncit. "Aku mengandung anak orang lain, Adrian," tutur Jullia. Barangkali inilah yang membuatnya merasa janggal kepada Adrian. Karena ia hamil anak orang lain dan itu membuatnya sangat tidak nyaman. "Aku gak mempermasalahkan itu lagi, sayang." Lagi-lagi, Adrian memanggil istrinya dengan panggilan "Sayang". "Aku sudah tahu itu dan aku tetap menerima kamu. Aku pikir itu saja sudah lebih dari cukup." Jullia belum menjawab apa-apa, namun Adrian sudah berbicara lagi, "Kamu tahu, di keluarga Rotsfeller, kebanyakan dari mereka itu gak normal?" Jullia menyatukan alisnya, heran. "Gak normal?" Dengan demikian, Adrian sedikit mengangkat tubuhnya supaya ia bisa bercerita sambil melihat wajah istrinya dengan lebih jelas. "Ya, gak normal, kamu tahu? Bayangkan, kita harus menikah hanya dengan sesama Rotsfeller. Belum sampai disitu, hidup kita pun ruwet oleh urusan politik, kusut oleh konspirasi yang kita buat sendiri. Harta dan Tahta. Ya, semua itu dilakukan demi harta dan tahta. Tapi betapa keringnya semua itu? Aku gak mau sombong, tapi seumur hidup aku sudah mengalami bagaimana rasanya memiliki harta dan tahta, dan itu semua akan terasa kering tanpa adanya kasih sayang dan... cinta." "Rasanya kita adalah orang yang paling menderita di dunia," lanjut Adrian. "Karena yang kita punya hanyalah harta dan tahta." Jullia terkesiap. Mungkin ini adalah pertama kalinya ia mendengar Adrian berkata sebijak itu. Barangkali ini juga pertama kalinya ia mendengar Adrian menceritakan tentang keturunannya yang amat berkuasa itu. "Adrian, kamu akan mendapatkan masalah yang sangat besar kalau kamu bersamaku..." "Ya, aku tahu," Adrian tersenyum letih. "Aku hanya tidak peduli dengan itu. Aku bahkan tidak peduli kalau mereka nantinya akan membuangku dari daftar keturunan. Kamu tahu, aku tidak pernah tertarik dengan urusan politik dan kekuasaan keturunan Rotsfeller. Aku tidak mengikuti acara-acara besar mereka, pun tak mengikuti perkembangan konspirasi mereka. Aku tidak mengikuti Game of Lie dan tidak berambisi untuk memenangkannya," Adrian tertunduk, memandangi bahu Jullia yang telanjang. "Aku gak pernah cocok bergaul dengan mereka," lanjutnya. "Entah apa alasannya. Yang jelas, aku merasa aku sedikit berbeda. Mungkin aku terlahir dari keluarga yang salah." Adrian tertawa pelan, seakan menghibur dirinya sendiri. Jullia menggeleng. Ia menggeser kepalanya sedikit naik ke atas. Ia pandangi wajah suaminya, lalu dengan tangannya, ia mengusap pipi Adrian perlahan. "Kamu memang luar biasa," tutur Jullia, merasa begitu banyak berhutang budi kepada suaminya. "Sangat luar biasa." "Semua orang akan menjadi luar biasa ketika bertemu orang yang tepat." Jullia tersenyum. Adrian ikut tersenyum. Hening selama beberapa detik. Adrian membelai wajah istrinya, lembut. Jari-jemarinya menyusuri setiap lekuk indah wajahnya. Cantik. Oh istrinya sungguh cantik. Adrian bersyukur. Sangat bersyukur bisa memilikinya sekarang. Meskipun badai diluar menghantam, Adrian tahu ia akan baik-baik saja selama ada Jullia disampingnya. Adrian mencium bibir Jullia. Sang istri membalasnya. Untuk kedua kalinya, mereka saling merangkul. Berhubungan badan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD