Bab 212 : "Maaf..."

1342 Words
Kegelisahan Luna naik drastis waktu mendengar pintu diketuk dan melihat siapa yang mengetuk: Gavin! Pemuda itu berdiri di depan pintu, menghalangi Isadora yang ingin lewat. Dengan senyum segaris, Gavin menyamping, dan pelayan itu berjalan secara sempit, takut kalau-kalau pundaknya menyentuh Gavin. Isadora tahu siapa itu Gavin! Seorang triliuner berpakaian aneh, namun bersedia membantu pemerintahan ini. “Selamat sore, Lady.” Gavin melangkah ke dalam. Luna menjawab salam dengan kikuk. Tanpa disuruh, Gavin telah duduk di samping Luna, membuat gadis itu semakin kikuk. Kikuk dan gelisah, dan kikuk lagi, dan gelisah lagi. “Ada apakah kau kemari, Mr. Marshall?” Luna berusaha berbicara selembut mungkin, berharap Gavin akan tahu sendiri bahwa kedatangannya mengagetkan, bahkan mengacaukan perbincangan antara dirinya dan Isadora. “Ini sudah seminggu sejak pertama kali kita bertemu, Luna.” Gavin menegakkan cara duduknya. “Kau tidak juga datang menemuiku?” Luna tertohok. “Maaf, Mr. Marshall?” “Aku sudah memberimu kartu namaku bukan? Apa disitu tidak ditulis jelas alamat rumahku? Aku bahkan sempat meneleponmu.” “Maaf, Mr. Marshall, rasanya kau salah mengerti. Aku... mengapa aku harus ke rumahmu?” Tiba-tiba kikuk dan gelisah itu berubah jadi bingung. “Oh!” Gavin melonggarkan syalnya. Jakunnya naik turun.“Politik, tentu saja...” Ia berkata dengan gemetar, setelah sebelumnya berbicara dengan nada agak naik. Oh sekarang ia yang gelisah. “Kita sudah membicarakan ini, Mr. Marshall. Yah, tentu saja akan ada kelanjutannya tapi mungkin tidak sekarang. Kau pasti juga telah berbicara dengan ayahku, bukan?” Gavin memejamkan mata, menghayati apa yang baru didengar. Tentu saja Luna tak bisa melihat lelaki itu memejamkan mata karena pria itu terus memakai kacamata hitam bahkan di dalam ruangan sekalipun, dan topi tinggi, dan jas panjang hitamnya juga tak pernah ia lepas. Luna membayangkan betapa panasnya memakai pakaian seperti itu...setiap hari! Ia pasti sudah gila! pikir Luna, atau mungkin ia sebenarnya pengikut yahudi ultra-ortodoks yang sangat setia pada Torah dan masa lalu. Tetapi mereka tidak memakai kacamata hitam, pikir Luna lagi, dan mereka bahkan memelihara janggut sementara Gavin tidak. “Mr. Marshall?” “Ya!” Gavin terkejut, seolah telah dibangunkan oleh seruan lembut yang mengagetkan. Sebelum Gavin sempat berbicara lagi, Isadora sudah datang membawa roti saffron, selai strawberry, pai biskuit, puding, anggur mahal, serta beberapa buah-buahan: Apel, pir, dan persik. Luna menawarkan Gavin untuk mencicipi makanan yang ada. Gavin hanya berterima kasih. “Baiklah, aku harus pergi,” kata Gavin. “Apa?” “Sampai jumpa lagi, Luna.” “Mr. Marshall?” Luna ikut bangkit ketika Gavin berdiri, mendekati pintu. Gavin menoleh dan mendapati gadis cantik berdiri dengan pakaian formal lengkap, seperti dirinya. Ia tersenyum melihat keakraban di antara baju-baju mereka. Ia tidak menyadari ini dan sekarang ia sadar: Setelah jas kancing ganda berwarna hitam berpadu dengan rok biru samudera, ditambah stocking hitam dan sepatu hitam. Ah, rasanya... “Kemarilah sebentar,” ujar Luna, lembut. Gadis itu segera duduk kembali di atas sofa. Gavin menurut. “Aku baru saja menghadiri konggres, rasanya buruk sekali.” Gavin diam saja. Luna menawarkan beberapa buah yang ada. Gavin hanya berterima kasih, untuk kedua kalinya. “Yah, biar bagaimanapun, kau sudah disini, kenapa tidak bercerita sebentar?” “Cerita apa?” “Rencanamu?” “Oh!” Gavin menerawang sejenak. “Yah, rencanaku.” “Kau benar-benar tidak bisa berbicara dengan SOOSAN ya?” Luna meminum anggur. Dengan anggun, ia tersenyum. “Ah!” Gavin refleks mengambil sebuah apel dan menggigitnya. Tangannya gemetaran. Sekali gigitan, apel itu meluncur oleh getaran tangannya. Luna cepat mengambilnya dan memberikannya kembali. Gavin menerimanya canggung. Luna tersenyum kecil. “Oke baiklah, baiklah, baiklah, baiklah, baiklah!” sahut Gavin, menyerah. “Kenapa kita begitu canggung satu sama lain, huh?” Gavin menghempaskan tangannya ke udara. Untuk membuat dirinya lebih nyaman, ia sandarkan tubuhnya ke sofa. Ia bernafas keras. “Kau yang membuat dirimu canggung sendiri, Mr. Marshall,” kata Luna, tenang. Ia meminum segelas anggur, juga dengan tenang. Ia tertawa kecil, kaget oleh ketenangannya. “Yah,” Gavin mendengus. Ia menuang anggur dan meneguknya. “Beginilah kau waktu pertama kali kau bertemu denganku, Luna.” Luna tertohok, merasa janggal oleh posisi mereka yang bertukar. Tapi tak lama setelah itu, suasana mencair. Gavin mengatur nafasnya pelan-pelan. “Seberapa genting memang?” tanya lelaki itu.. “Apanya?” “o***m, tentu saja.” “Sangat genting, Mr. Marshall.” “Huh,” Gavin menggeleng-gelengkan kepala. “Sangat genting?” Luna mengangguk. Gavin berpikir sejenak. “Aku tidak bisa memikirkannya sekarang. Aku butuh udara segar. Terlalu pengap disini.” Meski heran, Luna memberikan sebuah alternatif. “Ada sebuah taman di bawah, udaranya lebih segar...” “Ya, ya, mari kita bicarakan ini di taman,” potong Gavin. Ia tersenyum. Meski heran, Luna mengiyakan. Ketika mereka bangkit dan melangkah keluar, Gavin berputar haluan. “Lady Luna, aku punya ide yang lebih baik.” Luna memandangi Gavin, lebih sangat heran. Lelaki itu tersenyum lebar.  *** “Tuan Presiden memanggil saya?’’ seorang pelayan muda membungkuk di hadapan Lord Alastairs yang duduk di balik meja, sesaat setelah kembali ke Istana. Kertas-kertas berserakan, dan dibalik kacamatanya yang melorot ia mengalihkan pandang pada si pelayan. “Mana tehnya?’’ “Oh…’’ pelayan itu menyeret-nyeret kata ‘Oh’ sebagai tanda dari kekhilafannya. Ia membungkukkan badan “Baik, Tuan…’’ dan pelayan itu menghilang di balik pintu. “Biar saya yang bawakan.’’ ujar Lady Earlene ketika pelayan itu sampai di dapur. Ia mengangkat ketel di atas kompor gas, lalu menuangkan sepersekian isinya ke gelas. Pelayan itu mengangguk dan membantu sedikit Earlene agar membawa nampan berisi teh itu dengan baik. “Terima kasih.’’ ucap si pelayan. Lady Earlene hanya tersenyum simpul. Lord Alastairs mengangkat kacamatanya dari hidung ke mata. Melihat siapa yang datang, ia mendengus pelan. Burung warna-warni melintas di jendela malam, bertengger di dahan-dahan tinggi pohon mimosa, di balik dinding kaca, di belakang Lord Alastairs yang sedang mengurusi berkas-berkasnya. Pelan-pelan, Earlene meletakkan teh itu di tepi meja. Memperhatikannya lama sampai Lord Alastairs tergerak untuk meminumnya. “Apa kau baik-baik saja?’’ tanya Earlene, sopan. Lord Alastairs hanya menggumam. “Kau belum tidur, Tuanku.” “Yah, aku akan tidur ketika aku ingin tidur, dan aku tidak akan tidur jika aku tidak ingin tidur.’’ Lady Earlene mengalirkan nafas panjang, “Apa ada yang bisa aku bantu?’’ Lord Alastairs tidak menjawab. Ia terus sibuk sehingga Lady Earlene menjadi sedih. Ia duduk di hadapan suaminya, mencoba menarik perhatian. Tetapi Lord Alastairs terus sibuk dengan kertas-kertas rumitnya. Earlene berpindah ke dekat jendela, melihat keluar adalah kolam ikan yang jernih. Batu-batu kecil di sisinya membundari kolam seperti bingkai alam. Pada suatu titik di atas, burung-burung kecil terbang mencari perlindungan. Pedang cahaya berkilat-kilatan di langit. Terdengar dari arah selatan adalah sayup-sayup angin meniup dedaunan. Patung malaikat bertengger dekat gerbang tinggi, menegaskan kebekuan yang ada. Kemudian ada lagi seorang pria yang membawa gerobak rumput, berjalan ke sekeliling halaman berumput, mencabuti rumput seperti orang memanen kangkung. Ia bernyanyi tanpa beban, nyanyian lama, nyanyian kemanusiaan, nyanyian paling bagus. “Cintaku mati karena kau tak ingin mengenalku. Oh cintaku mati sebelum sempat kuhidupkan api cinta di dalam dadamu...” Perhatian Earlene kembali lagi ke Lord Alastairs. Sesosok pria gempal dibalik kemeja putih. Pria yang duduk di belakang meja, tenggelam oleh kertas-kertasnya. Pria yang berambut putih, berwajah mengerikan karena ada bekas goresan-goresan pisau mencoreng pipinya, seperti codet. Earlene mengalirkan nafas panjang. “Aku ingin pergi mengunjungi orang tuaku,’’ kata  Lady Earlene. “Pergilah,’’ sang Lord Alastairs acuh. Earlene menghela napas. “Aku akan pergi selama tiga hari,’’ Pria itu tak menjawab. “Aku akan pergi selama tiga hari.’’ kata Lady Earlene sekali lagi. “Hmmm.’’ Jawaban itu selayaknya desisan ular di ujung kematian. Hah, pelayan di seberang menemukan cacing-cacing bergelinjang di atas tanah yang dicabut rumputnya. Ia menggumam riang, lalu menaruh cacing-cacing itu di dalam baskom untuk umpan pancingnya akhir pekan ini. Earlene berjalan lambat-lambat mendekati suaminya, berharap ada sesuatu yang diungkapkan dari mulut Lord Alastairs. Tetapi tak ada apapun keluar dari mulut yang biasa terkatup itu. Begitu dingin. Ia merasakan seolah berada dalam adegan film bisu, atau begitulah cara ia menjalin komunikasi dengan pria di hadapannya. Sekali lagi, Earlene mengalirkan nafas panjang. Kemudian, pergi.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD