Bab 143: Operasi Kematian

3219 Words
Malam melahirkan lampu redup warna-warni. Jalanan ramai dan orang lalu-lalang menjalani kehidupannya sendiri-sendiri. Melalui jalanan yang kumuh dan sempit, Archi melajukan mobilnya dalam diam. Sepanjang perjalanan ia memikirkan bagaimana nanti reaksi Jullia ketika melihat dirinya datang. Pasti ia akan terkejut. Tapi selain itu apa? Apakah ia akan marah? Benci? Atau menghindar? Berbagai pikiran buruk menghantui Archi. Pengalaman buruknya ketika bertemu Jullia kemarin cukup untuk menjadikan pikirannya makin kacau dan ketakutannya makin besar. Tapi ia sudah melaju ke kota Zhaka. Dan ia tahu, jika ia mundur, maka Jullia tidak ada yang menjaga. Maka, betapa pun kacaunya pikirannya saat ini, ia tetap tak mundur. Archi tak pernah mengunjungi kota Zhaka sebelumnya. Tidak pernah juga terpikirkan olehnya bahwa ia akan menginjakkan kaki di kota yang terkenal dengan kekumuhannya ini. Ia adalah seorang Pangeran, Pangeran Rotsfeller dan ia terbiasa hidup mewah. Ia tak pernah mengalami rasanya naik bus, naik kereta api atau naik transportasi umum. Kalau pun ia harus naik pesawat, ia naik pesawat ekslusif yang tidak bercampur baur dengan orang lain. Singkat kata, hidupnya sebelas dua belas dengan Adrian, sama-sama ekslusif dan seperti surga. Tetapi lihatlah sekarang, karena seorang perempuan, perempuan yang sangat cantik satu ini, akhirnya ia berani terjun ke jalanan yang dipenuhi oleh kaum dari kalangan bawah. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi akhirnya ia tetap melaju juga. Mungkin saja sebenarnya Zhaka bukanlah kota yang benar-benar buruk, pikir Archi. Lihat saja, langit malamnya tampak cerah dengan bulan bersinar redup dan bintang gemintang berkelap-kelip. Suasananya juga sejuk dengan angin yang bertiup tidak terlalu kencang dan tidak terlalu rendah. Pas, begitu. Ya, kota, mau semewah pun, tetap saja bernaung di bawah langit yang sama kan? Tapi ya, pada akhirnya, Zhaka tetaplah kota yang berbeda daripada pusat kota yang dipenuhi cahaya-cahaya glamour. Archi menyadari ini setelah ia sudah separuh jalan memasuki kota. Ia sempat bingung untuk mencari rumah Jullia karena ternyata ia harus masuk gang sempit yang mana ia takut mobilnya tidak akan muat masuk ke gang tersebut. Namun, penduduk kota Zhaka begitu baik. Susah payah, ia dibantu warga, yang sepertinya tidak terlalu ngeh kalau ia adalah pangeran Rotsfeller yang terkenal. Atau sebenarnya ia tidak terlalu terkenal? Entahlah. Intinya, ia dibantu warga, ditunjukkan jalan, dibantu supaya bisa melewati jalan yang sempit. Archi meminta maaf dan berterima kasih berkali-kali. Setelah drama A sampai Z itu selesai, akhirnya Archi sampai juga di depan sebuah rumah yang telah dinantinya. *** Jullia sedang duduk di ruang tamu untuk menonton acara televisi, penghibur bagi dirinya sendiri. Ia sudah beres-beres dan merapikan semua yang harus dirapikan. Ia juga sudah mandi dan wangi. Sekarang, ia tinggal bersantai dan menunggu Adrian. Ia sudah menge-chat Adrian untuk bertanya kapan suaminya itu akan pulang? Lalu di jawab Adrian, "Segera." Jullia juga bertanya tentang keadaan Hera, yang lalu di jawab Adrian, "Semuanya baik-baik saja, Jullia. Kamu jangan khawatir." Tapi meski begitu, Jullia merasa khawatir juga. Ia merasa tidak tenang. Seperti ada yang janggal. Tapi ia tak tahu apa itu. Ia mencoba menelpon suaminya namun tidak diangkat. Ia memang duduk di ruang tamu dan menonton televisi, tapi pikirannya terbang ke mana-mana. Jullia mencoba menganalisis dan menyimpulkan sendiri tentang kabar bunuh diri Hera. Ia masih sedikit menyalahkan dirinya. Akan tetapi, ia juga mencoba berpikir lebih objektif dan menyimpulkan bahwa sebenarnya masalah Hera tidak lebih buruk dari dirinya. Hera adalah seorang gadis cantik, kaya raya, populer dan berkuasa. Ia juga anggun dan memiliki gelar bersayap-sayap, "The Princess of Rotsfeller". Hera dicintai begitu banyak orang dan laki-laki tergila-gila padanya. Lalu, hanya karena Adrian tidak bisa lagi bersamanya, ia langsung putus asa dan memutuskan untuk bunuh diri? Lantas, bagaimana dengan dirinya? Ia adalah anak haram. Ibunya meninggal. Ayahnya tak mau merawatnya lagi. Ibu-ibu tirinya membencinya. Ia hamil diluar nikah dan Archi meninggalkannya. Bukankah Jullia lebih punya alasan untuk bunuh diri daripada Hera? Tapi sampai detik ini, luar biasa, Jullia masih hidup dan masih bertahan. Dengan kesabarannya, ia bisa menjalani ini semua. Seberat apapun. Atas semua itu, atas semua ketegaran hatinya dan kekuatan dirinya, Jullia mengulas senyum syukur dan mengucapkan terima kasih kepada Tuhan. Tidak ada bel di rumah sempit Jullia di Zhaka. Jadi, ketika ada tamu yang datang, ia harus mengetuk pintu. Akan tetapi, masalahnya, malam itu pintu rumah Jullia terbuka dan Archi tidak menemukan alasannya untuk mengetuk pintu. Akhirnya, ia hanya berdiri di muka pintu dan memandang mantan kekasihnya. Jullia terkesiap. Sesaat, rasanya dunia berhenti bernapas. *** Seperti biasa, duduk di atas sofa mewahnya, Marigold menelpon Eda lagi. "Aku mendengar kabar dari intelku kalau Jullia dan Adrian sekarang bersembunyi di rumah Jullia yang dahulu di kota Zhaka," cetusnya. "Apa? Bagaimana?" Eda mengangkat alisnya, kaget sekaligus heran. "Jullia dan Adrian ada di kota Zhaka?" "Ya, benar. Sepertinya mereka akan berada lama di sana. Selain itu, sekarang Adrian sedang berada di rumah sakit untuk menengok Hera yang bunuh diri." Marigold mengenduskan napas panjang. "Sungguh, aku tidak habis pikir, mengapa Hera dengan bodohnya mau menghabisi dirinya sendiri? Seperti ibunya, dia sungguh rapuh dan lemah. Benar-benar, huh!" "Ya, Princess, saya sangat prihatin atas apa yang menimpa Princess Hera," jawab Eda penuh simpati. Eda sendiri baru mengetahui Hera bunuh diri beberapa jam setelahnya, setelah orang suruhannya memberi tahunya. Eda mengirim pesan elektronik kepada Archi untuk menyampaikan bela sungkawa tetapi Archi tidak membalas. Aneh sekali, biasanya ia akan senantiasa membalas. "Kau sudah ke rumah sakit dan menjenguknya, Princess?" tanya Eda. "Sudah, tapi hanya sebentar dan aku izin pulang lagi. Aku terlalu sibuk dan ada banyak hal yang harus aku urus saat ini." Banyak hal yang harus diurus Marigold saat ini maksudnya adalah membunuh Jullia dan melancarkan jalannya menuju pelaminan bersama Adrian. "Oh begitu. Toh Hera belum sadar juga, Princess. Ia tidak akan tahu Princess sudah datang atau tidak." "Sebaiknya kita fokus dengan Jullia," Marigold menegaskan. "Hal terpenting saat ini adalah Jullia. Hera masih banyak yang ngurus, ada pelayannya, ada orang tuanya, bahkan ada Archi dan anggota keluarga Rotsfeller lainnya. Tapi Jullia? Kita harus jadi yang pertama dalam membereskannya." "Baik, Princess," Eda pura-pura menurut saja. "Jadi, maksudmu, kau ingin aku membunuh Jullia di Zhaka?" "Ya, Eda. Bagiku, ini adalah waktu yang tepat. Bayangkan saja, saat ini Adrian sedang berada di rumah sakit. Jullia pasti sendirian. Palingan hanya ada dua asisten yang menjaganya. Tapi itu bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan. Aku tahu siapa itu Mr. Zendaya dan Mr. Zuraya. Mereka memang sangat setia kepada Adrian, tapi mereka tidak cukup pintar untuk membaca taktikku. Singkat kata, mereka gampang dikelabuhi." "Ya, Princess," jawab Eda sambil berpikir bahwa sepertinya ia memang tetap akan menyelamatkan Jullia. Mungkin ia bisa bernegosiasi nanti dengan dua asisten Adrian, saling bekerja sama mengumumkan bahwa Jullia sudah mati ketika sebenarnya mungkin perempuan itu disembunyikan entah di bagian mana dari dunia ini. "Ya, Eda," tukas Marigold lagi. "Bagaimana kalau malam ini kau segera beraksi?" Marigold memberi usul. "Oh, tidak bisa, Princess," Eda langsung menolak. "Sebuah rencana pembunuhan harus dilakukan secara matang. Tidak boleh gegabah. Berat resikonya, Princess. Izinkan aku berpikir sebentar dan akan aku beri tahu lagi bagaimana nanti aku akan menjalankan operasi kematian ini." "Operasi Kematian," Marigold mengulangi. Kemudian ia bergumam. "Hmmm... nama yang bagus." "Ya, Princess, kita namakan saja rencana ini sebagai Operasi Kematian, bagaimana?" "Setuju," Marigold tersenyum senang dan puas, meski Eda tak dapat melihatnya. "Aku tunggu bagaimana Operasi Kematian ini akan berjalan bagimu. Yang terpenting, aku sudah mengatakan bahwa sekarang Jullia ada di Zhaka. Oh ya, kehamilannya pun makin besar. Mungkin sebentar lagi ia akan melahirkan. Jika ia keguguran sekarang pun tidak ada gunanya. Bayinya akan tetap lahir, meskipun prematur." "Ya, Princess." "Kalau begitu, kau bunuh saja sekalian bayinya. Kasihan juga kan Archi jadi pusing lantaran harus mengurus Hera, istrinya dan anak haram yang dikandung Jullia." "Ya, Princess," Eda terkejut dengan ucapan Marigold sebenarnya. Tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkannya. "Apapun perintahmu, akan aku laksanakan," lanjutnya. "Bagus. Aku senang sekali bekerja sama denganmu, Eda. Kau sangat kooperatif dan mau menuruti semua perintahku." "Ya, Princess. Karena aku pun sangat setia dengan Rotsfeller," Eda sedang bersilat lidah. "Aku tidak ingin nama Rostfeller kotor." "Hmmmm," Marigold kembali bergumam. "Kalau begitu, aku sudahi dulu ya teleponnya sampai sini. Selamat menunaikan Operasi Kematian." "Ya, Princess. Selamat malam." Dan akhirnya telepon pun ditutup. *** Apakah kau tahu apa itu rasa sakit? Rasa sakit itu adalah saat kau meminta pada Tuhan untuk melupakan seseorang sedangkan di masa lalumu, kau berdoa agar Tuhan menjaganya untukmu. Demikianlah ketika Jullia melihat Archi berdiri di depan pintu. Rasa sakit yang dahulu pernah mati-matian dilupakannya, kini datang lagi dengan sembrono. "Aku datang ke sini atas perintah Adrian," kata Archi, mencoba mencari berbagai alasan masuk akal supaya Jullia tidak curiga, yang kemudian jatuhnya malah membuat dirinya sendiri merasa rendah. Astaga, atas perintah Adrian? Apakah Adrian sekarang jadi semacam bosnya? Hah! "Ke mana Adrian?" tanya Jullia, berusaha tetap tegar dan tidak mau menunjukkan raut simpati atau kesedihannya kepada mantan kekasihnya tersebut. "Adrian di rumah sakit," jelas Archi. "Menjaga Hera," lanjutnya. Menjaga Hera. Sungguh, sebenarnya ia tidak bermaksud berkata demikian. Seperti kata-kata itu keluar saja dari mulutnya tanpa izin. "Maksudku," Archi berusaha mengklarifikasi. "Maksudku-" "Kau kan suami Hera, kenapa tidak kau saja yang menjaganya?" tanya Jullia dengan nada yang sengit. Ia bahkan tidak memanggil Archi dengan sebutan "Kamu", tapi "kau". Sungguh bahasa yang sangat formal. Archi menghela napas. "Boleh aku masuk sebentar dan duduk untuk menjelaskan semuanya?" tanya Archi, sebab dari tadi ia memang hanya berdiri di muka pintu. Jullia mengangguk dengan dingin. Akhirnya, Archi melangkahkan kakinya dan memasuki ruangan. "Duduk," kata Jullia dengan dingin. "Kau mau minum apa?" lanjutnya, masih sedingin sebelumnya. "Apa saja," Archi tak memusingkannya. "Baiklah, tunggu sebentar." Lalu ketika Archi duduk, Jullia bangkit berdiri. Archi pikir Jullia marah karena dirinya sudah lancang mengambil posisi di samping Jullia, tetapi rupanya bukan itu, Jullia berdiri untuk pergi ke dapur, untuk membuatkan 'Tamu Istimewa' nya itu sebuah minuman. Ketika melihat Jullia berjalan memunggunginya, Archi bisa melihat perut Jullia yang membuncit dan tampak berat. Segaris bibirnya terangkat membentuk senyum. Membayangkan bahwa sebentar lagi ia akan menjadi ayah membuat Archi sangat bahagia, meskipun beberapa detik berikutnya, ia sadar bahwa Adrian lah yang menjadi suami Jullia saat ini, dan senyumnya menghilang, lenyap di telan kesedihan. Di dapur, Jullia berusaha menge-chat Adrian. Tapi tidak ada jawaban. Akhirnya, karena ia merasa benar-benar butuh penjelasan, ia pun menelpon suaminya sambil berharap tidak ada siapapun yang akan mendengar percakapan mereka. "Halo," sahut sebuah suara dari seberang. Sebelumnya Adrian sudah pamit kepada Hatice untuk pergi ke luar sebentar membeli makanan. Ketika dirinya berada di depan gerai yang menjual roti, disitulah ia mengangkat telepon istrinya. "Archi ke sini, kamu tau?" Jullia langsung to the point. Walau begitu, ia berbicara sambil berbisik-bisik. Semata-mata supaya tidak kedengaran oleh Archi yang ada di ruang tamu. "Ya, Jullia. Maafkan aku, ini adalah rencana yang sangat mendadak," jawab Adrian, sedih. Sebuah harum aroma roti panas mengayun di udara, tercium oleh indera penciuman Adrian, memberikannya rasa nyaman dan hangat sekaligus lapar. "Rencana apa?" Jullia was-was. Adrian memejamkan matanya. Entah bagaimana ia harus menjelaskan ini semua. Mulai dari mana? Adrian kehabisan kata-kata. Sekali lagi, dihirupnya aroma roti panas sejenak dan ia berusaha menjernihkan pikirannya. Kebetulan saat itu, kantin rumah sakit cukup kosong. "Adrian," sahut Jullia ketika ia tak mendengar suara apapun dari suaminya. "Ya, Jullia. Kamu tahu, sayang, kondisi Hera sedang sangat buruk." Hati Jullia mulai was-was. "Lalu?" "Hera bunuh diri karena aku, Jullia," kata Adrian, parau. Seketika lutut Jullia terasa lemas. Tapi ia belum menemukan inti dari permasalahannya. Jadi ia terus mencecar. "Apa maksudmu, Adrian?" "Archi akan di sana sementara untuk menjagamu, sayang." Deg! "Menjagaku? Maksudnya?" "Situasinya sangat sulit, Jullia." "Maksudnya bagaimana?" "Aku harus di sini untuk sementara, Jullia. Aku harus mempertanggung jawabkan perbuatanku." Jullia makin tak mengerti. Keningnya berkerut. "Aku harus menjaga Hera sampai dia pulih kembali." Deg! "Oleh karena itulah, Archi di sana untuk menjagamu menggantikan aku, Jullia." Deg! Deg! "Hera membutuhkan aku, Jullia. Jika aku ada disampingnya, mungkin dia akan segera bangun dan pulih kembali." Adrian sudah mencoba untuk memakai bahasa yang sangat sopan supaya Jullia tidak tersinggung dan sakit hati. Tapi rasanya sulit sekali. Kenyataan pahit walau diungkapkan dengan bahasa semanis apapun, rasanya akan tetap saja pahit. Jullia memandang ke luar jendela, kepada malam yang tiba-tiba terasa begitu gelap di matanya. Air matanya beriak-riak di kelopak mata, ingin keluar. "Maafkan aku, Jullia," kata Adrian, lirih seredup bisikan. "Ini semua salahku, Jullia. Aku yang sudah menjadi penyebab utama Hera bunuh diri. Maafkan aku," lanjutnya parau. Jullia tak tahu harus bagaimana bereaksi. Ini terlalu tiba-tiba dan ini sangat menyakitkan. Ia dan Adrian baru saja menikmati waktu indah bersama. Mereka berdua baru saja mengakui perasaan masing-masing dan kini sudah harus dipisahkan lagi? "Ini tidak akan lama, sayang," cetus Adrian. Siapa yang bisa menjamin ini tidak akan lama? Pikir Jullia. Kalau sampai menunggu Hera sadar, bagaimana kalau Hera tidak sadar-sadar? Apakah Adrian akan tetap menghukum dirinya sendiri begini? Jullia jadi berpikir enak sekali hidup Hera. Ia susah pun, langsung banyak yang membantu. Sedikit kesal, ia merasa bahwa akhirnya, ia yang harus selalu mengalah. Padahal ia sedang hamil dan masalah hidupnya, beban hidupnya jauh lebih berat daripada yang harus dialami Hera. Sekali lagi, Jullia menarik napas, berusaha mengendalikan diri. "Baiklah, kalau begitu," Jullia berusaha menerima. Betapa pun, mungkin Jullia juga bersalah karena telah bertengkar dengan Hera. "Baiklah kalau itu mau kamu, Adrian. Baik-baik ya di sana menjaga Hera," tukas Jullia. "Kamu juga, sayang. Baik-baik di sana, dan aku mohon, tolong tetap jaga hatimu untukku." "Ya, Adrian. Tapi sebenarnya kamu gak perlu nyuruh Archi kemari. Kan sudah ada Mr. Zendaya dan Mr. Zuraya. Keduanya bisa menjagaku." "Tapi mungkin Archi ingin menemui calon bayinya..." Adrian tampak ragu, atau lebih ke cemburu, "Mungkin aku bodoh, Jullia." Jullia menghela napas lagi. "Kamu terlalu baik hati, Adrian. Aku takut kamu menderita dan cemburu." "Tidak akan." Meskipun iya. Adrian takut kalau Jullia sebenarnya masih cinta dengan Archi dan luluh kembali ke pangkuan Archi. Tapi, ah, entahlah, sepertinya ia memang bodoh telah merencanakan omong kosong ini. "Baiklah kalau begitu, nanti kita sambung lagi teleponnya yaa. Archi sudah ada di ruang tamu. Ia menungguku. Aku akan membuatkannya minuman sebentar," tukas Jullia sekaligus mengakhiri percakapannya di telepon. "Selamat malam, Adrian. Sampai jumpa." "I love you, Jullia." Adrian ingin mengatakan ini tetapi teleponnya sudah keburu ditutup oleh Jullia. Hah, giliran ia yang menarik napas lelah. Masalah ini makin ruwet saja. Ia memijit-mijit keningnya. *** Malam yang hening berubah menjadi semakin hening oleh gerimis malas yang tiba-tiba jatuh dari langit tanpa peringatan, bahkan tanpa ada awan mendung yang menggelayuti sebelumnya. Archi yang duduk di dekat jendela, menarik kain gorden dan melihat warna-warni malam yang terlihat lembut di luar jendela. Kemudian, ia menghela napas. Ini adalah pertama kalinya ia berada di lingkungan kumuh, pada malam hari, dengan gerimis dan dingin yang mengiringi. Di jalanan, ia melihat anak-anak kecil berjalan beriringan sambil setengah berlari, setengah bernyanyi dan berdansa di bawah purnama. Di sekitar anak-anak itu, terdapat orang dewasa yang lalu lalang sambil membawa tas atau barang belanjaan. Di sekitar mereka lagi, terdapat jejeran pedagang makanan yang menjajakan dagangannya pada malam hari. Dagangan itu begitu beraneka ragam, ada martabak, ada bakso, ada mie ayam, ada nasi goreng, ada kwetiaw, juga ada spaghetti dan makanan dari dunia sebelah yang tidak terlalu Archi kenal. Prittt!! Priittt!!! Suara klakson sebuah mobil lewat di gang sempit itu, membuat orang-orang yang berjalan di tengah, menyingkir dan membiarkan mobil itu lewat dahulu. Archi teringat bahwa tadi ia juga demikian. Ia membawa mobilnya sampai masuk ke gang sempit ini, dan akibatnya, orang-orang harus mengalah alias menyingkir supaya mobilnya bisa jalan. Archi sedikit tersenyum tipis. Ia tahu ia sebenarnya merepotkan penduduk sekitar, tetapi ajaibnya, tidak ada yang protes. Sepertinya rakyat kecil memang terbiasa disusahkan dan memiliki toleransi lebih tinggi terhadap kesusahan itu. Bahkan dalam beberapa kasus, mereka terlihat lebih memiliki simpati dan empati terhadap kesusahan orang lain. Berbeda dengan orang-orang kaya atau orang-orang yang biasa berada di lingkungan mewahnya, mereka kalau disuruh menyingkir begitu, sepertinya akan langsung protes dan mengatakan dengan bahasa yang tinggi nan berbelit-belit bahwa hal itu melanggar kebebasan mereka sebagai individu, melanggar hak asasi mereka, dan melanggar norma sopan santun, etika, dan lain-lain. Ya, hal-hal semacam itulah. Kembali ke anak-anak yang masih bermain berlarian dan berdansa di bawah rembulan. Wajah mereka dekil semua namun senyum mereka bersinar seterang purnama yang menaungi mereka. Tak lama, serombongan pengamen remaja datang. Mereka membawa gitar, biola, alat music seperti drum tapi bukan drum tapi bisa buat nge-beat, entah apa lupa namanya, juga sebuah microphone. Para pengamen itu duduk di kursi di pinggir jalan yang sudah disediakan. Sambil diiringi dengan orang yang lalu lalang, para pengamen remaja itu menunjukkan kebolehannya. Sebuah lagu lama. Lagu bagus dari dunia sebelah. Lagu tentang patah hati. Lagu yang sepertinya sudah sangat familiar di telinga Archi. Archi termenung mendengarkan mereka bernyanyi. Archi ingat dahulu waktu kecil, ia juga suka menghabiskan waktu bersama para pelayannya, walaupun tidak sering. Kenapa tidak sering? Ya, karena seorang Pangeran Rotsfeller yang terhormat dilarang untuk memiliki hubungan lebih yang terlalu dalam kepada para pembantu atau pelayannya. Tetapi betapa pun, Archi tetap menghabiskan waktu bersama mereka dan bermain, mengobrol bersama, sementara kedua orang tuanya tampak terlalu sibuk dengan urusan pribadinya yang rasanya tiada berujung itu. Archi bermain kembang api bersama para pelayannya. Mereka sepakat untuk pergi menuju bukit terdekat dan meledakkan kembang api di sana, bersama kunang-kunang yang mengitari mereka. Rasanya hidup indah sekali. Tak ada beban. Meskipun, di dalam hati, patut diakui Archi bahwa ia kesepian. Ia sangat kesepian. Ketiadaan kasih sayang, atau ada kasih sayang tetapi kurang dari orang tua, ternyata berdampak pada keirngnya hati dan mentalitas yang tidak sehat, pikirnya. Jika saat itu, ia mendapatkan kasih sayang yang cukup, mungkin ia tidak akan serapuh, sekakank-kanakkan, segegagah, setidak dewasa ini, pikirnya lagi. Jika saja waktu dapat diulang... Melihat kembali kepada anak-anak yang bermain di luar jendela, juga kepada para pengamen remaja jalanan yang masih menyanyikan lagu terbaiknya, lagu favoritnya, juga kepada orang-orang yang lalu lalang sambil tersenyum. Mereka, kaum jelata yang sering dianggap hina, seperti debu tak berharga di mata orang kaya. Tetapi lihatlah, senyum mereka lebih lebar, mata mereka lebih bersinar daripada Archi yang duduk di balik jendela ini. Seorang pangeran yang telah lama kehilangan kehidupannya. Seorang pangeran dalam sangkar yang terlihat berarti, tetapi sebetulnya tidak berarti. Seorang pangeran dalam sangkar, ia yang bahkan tak bisa menikahi wanita pilihannya sendiri dan menjadi ayah seperti sebagaimana harusnya, Archi terus berpikir. Tak terasa, air matanya bergumul di kelopak matanya. Lelaki itu ingin menangis, tetapi ditahannya. Dan lagu itu terus bergema di kepala Archi tanpa henti, seperti sebuah ingatan yang berlanjut. “Archi," suara Jullia memecahkan atensi Archi kepada pemandangan di luar jendela dan membuatnya memutar kepalanya, dan melihat gadis cantik yang dicintainya itu berdiri sambil membawa nampan. Kebekuan menyertai mereka selama beberapa detik. "Jullia," kata Archi, lirih. Yang dipanggil membungkukkan badannya lalu meletakkan segelas the hangat beserta setoples biskuit dan kue-kue kering ke atas meja. "Terima kasih, tapi sebenarnya kamu gak perlu repot-repot, Jullia," ungkap Archi, merasa tidak enak. Jullia hanya tersenyum tipis dan tidak menggubris ucapan Archi. Ia kembali ke dapur untuk menaruh nampan dan balik lagi dengan duduk di samping mantan kekasihnya. Hening. Di luar, gerimis malas masih mengguyur kota Zhaka, tetapi tak sanggup untuk membubarkan keriuhan di luar. Para pengamen itu masih bernyanyi dan anak-anak kecil masih bersorak. Kali ini mereka menyanyikan lagu baru. Lagu yang lebih sedih, lebih mengisyaratkan patah hati yang paling dalam; Di saat aku pergi oleh Dadali, sebuah band dari dunia sebelah. Archi tidak ingat kalau Jullia tadi menyetel televise dan baru sadar ketika perempuan itu mengambil remote dan mematikannya. Kemudian, keduanya sama-sama tertunduk. Jullia meremas-remas jemarinya. Archi juga. Canggung. Hening lagi. Hanya suara di luar yang menanungi mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD