Bab 162 : "Hidup Yang Dipenuhi Tangis"

1359 Words
Mrs. Durkham masuk ke dalam gudang untuk memeriksa pekerjaan Gavin. Pemuda itu kaget setengah mati dan buru-buru mengambil lap basah untuk membersihkan lemari di dekatnya. Buku harian Luna ditutupnya begitu saja dan dimasukkan kembali ke dalam tasnya. "Belum selesai juga?'' Mrs. Durkham berkacak pinggang. Gavin pura-pura mengelap peluh di keningnya. Lemari yang mirip kandang ayam itu digosok-gosoknya lagi, seolah ia berharap sesosok jin keluar dari rangkaian kayu-kayu keropos tersebut. Mrs. Durkham menggeleng-gelengkan kepala. Suara yang terendam rasa kesal mengalir dari mulutnya, "Ya sudah, besok lanjutkan lagi! Ingat, aku takkan memberi ampun padamu!'' Sudah, kemudian Mrs. Durkham pergi tanpa suara. Gavin tidak berjingkrak-jingkrak senang, air mukanya biasa saja tetapi ia merasa lega karena tidak ketahuan sedang membaca buku harian di tengah-tengah sanksinya. Di langit, angin mengalir deras. Burung-burung hantu keluar menuruni bukit, mencari mangsa, berseru-seru memanggil arwah. Jiwa-jiwa yang tertidur takkan mendengar suara mereka yang sayup bagai desir di padang gurun, dan meski mereka telah terbang dengan membunyikan kepak-kepak sayap mereka, jiwa-jiwa yang tertidur tetap takkan dengar-kecuali dalam mimpi. Kikuk Mimpi itu datang lagi. Mimpi tentang dirinya di padang ilalang yang luas, sendirian dengan keterpesonaannya pada ilalang-ilalang setinggi d**a, merasakan ketenangan tak terusik, merasakan damai. Lalu, seperti pada mimpi-mimpinya yang lampau itu, seseorang memotret dirinya, lalu semakin banyak lagi jumlah pemotret itu sampai Luna ketakutan menyadari dirinya dikerumuni manusia seperti semut mengerumuni gula. Lalu Lord Alastair akan datang menghampirinya, mendampratnya bagai debu menghempas gurun. Dan saat itu ia selalu terbangun. Sudah satu dekade, sepuluh tahun, seratus dua puluh bulan, tiga ribu enam ratus hari, delapan puluh enam ribu empat ratus jam, lima juta seratus delapan puluh empat menit, dan delapan belas miliar enam ratus enam puluh dua juta empat ratus ribu detik, semenjak ia pertama kali bermimpi tentang hal tersebut. Sudah berulang-ulang, tapi tak tahu tepatnya berapa kali ia bermimpi tentang ini, dan setiap kali pada bagian Lord Alastair datang, Luna segera terjaga. Jadi ia bermimpi tentang suatu hal yang sama dan tak pernah menyambung ke hal berikutnya yang berkaitan. Barang kali ini hanyalah sebuah representasi dari kehidupannya. Selama ini memang ia tak pernah jauh-jauh dari sorotan kamera, dan selama itu pula kehidupannya tertutup. Luna adalah sesosok gadis dibalik jubah kebangsawanan. Maka dari itu, satu hal yang dapat dilakukannya saat ini adalah menjalani kehidupannya yang miris di Honeysuckle. Menuruti semua kemauan Lord Alastair, ya semua mau Lord Alastair mesti dituruti atau kalau tidak..... ***** "Selamat pagi, Lady,'' sapa Caley. "Waktunya olahraga bersama,'' lanjutnya senang. Luna terduduk di ranjangnya, tersenyum. "Ku harap tidurmu nyenyak, Lady,'' kata Rosemary yang sedang asyik mengolesi wajahnya dengan bedak. "Yah, kamar ini sudah terlihat lebih baik dari pertama kau lihat, bukan?'' Rosemary mencoba mengungkapkan dalam banyak cara agar maksudnya bisa tersampaikan dari segala sudut. Maksud bahwa ia dan Caley dan si gipsi, Isadora (saat ini sudah pergi ke lapangan) telah bergotong royong merapikan sekotak ruang ini untuk sang Lady. "Terima kasih,'' sahut Luna, memahami kebaikan mereka. Rosemary dan Caley tersenyum. Di satu sudut, angin bertiup. Luna beranjak dari ranjang, "Lady...'' "Yah, jangan panggil aku Lady, Caley, " potong Luna, lembut. "Panggil saja Luna.'' Lega, akhirnya bisa juga ia mengungkapkan hal demikian. Pasalnya, kemarin murid-murid Honeysuckle selalu memanggilnya "Lady''. Luna ingin untuk insan-insan di Honeysuckle tidak memanggil namanya dengan mengaitkan dengan gelar kebangsawanan, seperti Lady atau Princess. Esok rencananya, jika masih ada yang memanggilnya 'Lady', ia akan mengatakan hal yang sama dengan yang telah ia katakan kepada Caley dan Rosemary. Maka kedua gadis itu pun terkagum-kagum kepada kerendahan hati Luna. Mereka tersenyum lebar sambil mengulang-ulang kata Luna untuk membiasakan diri menyebut nama itu. "Luna? Luna?'' seru Caley. "Baiklah Lady...eh..Luna.. ya, itu sangat mengagumkan.'' Caley menghela nafas. "Lady.. eh Luna, eh itu aku ehm... apa kamu mau makanan ini?'' tanya Caley sembari menawarkan sebungkus chiki padanya, Luna menggeleng. Makan chiki pada jam segini? Caley mengangguk dan memasukkan serauk chiki ke dalam mulutnya. ***** Luna mengenakan seragam Honeysuckle lagi-untuk yang kedua kali, blazer biru dan rok hitam. Belajar di Honeysuckle lagi, dan mencoba menikmati lagi aroma sejuk bercampur gaya para siswanya. Kali ini ia akan belajar bahasa Perancis. Ah, bukan hal yang sulit. Ia bahkan sudah lancar berbahasa perancis sebelum Mrs. Alexei datang dan duduk mengajar. Ah, Luna kembali mendengus mengingat nama Mrs. Alexei berkeliaran di kepalanya. Perempuan itu, menurut kacamata Luna, terlihat sangat rileks dengan apa yang dijalaninya. Fleksibel. Rupanya tidak sulit bagi Paris Alexandrine Sverdlov untuk beradaptasi di asrama ini. Tapi itu mungkin karena ia sudah nyaris setahun hidup di sini. Luna tersenyum getir menyadari kenyataan ini, bagaimana hanya karena ia mau pindah ke Honeysuckle, Lord Alastair rela berlelah-lelah mengirim pengawal untuk menjaganya satu tahun sebelum keberangkatannya. Dalam hati, Luna memintakan maaf kepada Mrs. Alexei. ***** Jam belajar belumlah tiba. Namun beberapa murid sudah siap sedia di kelas masing-masing. Mereka duduk berbincang-bincang, atau bahkan bernyanyi-nyanyi. Toto Trotsky dan Kermit datang lagi pada Luna. Sementara Caley dan Rosemary sepakat mengambil pelajaran kimia terlebih dahulu. "Yah, suatu kebetulan yang menyenangkan. Tadinya aku ingin mengambil kelas biologi,'' ucap Trotsky dengan bangga. Ia menganalogikan situasi ini seperti permainan bridge. Jika saja ia tadi mengambil kartu pohon keriting, maka bisa jadi ia takkan mendapat kartu the king. Kermit menertawai hal ini. Dan Luna tidak bereaksi apapun. Sebuah suara resah datang dari pohon-pohon di samping kelas, yang meliuk-liuk, menegangkan telinganya karena angin memukul dan pohon-pohon adalah makhluk pertama yang tahu tentang bahaya daripada yang di sekitarnya. "Hujan?'' tanya Kermit, lebih kepada mengutuk. Nyatanya, ia tak berharap jawaban dari siapapun sebab gerimis malas sudah turun sebelum ia bertanya. Kermit mendengus. Trotsky menyumpah-nyumpah. Hujan sialan! Dan keduanya beranjak pergi dari tempat Luna karena teringat pada pekerjaan matematika yang belum dikerjakan. Luna sendiri. Dan ia tahu kesendirian ini berbahaya bagi dirinya karena ia akan kembali pada dunianya, teringat kesakitannya dengan tak sengaja, dan segala hal di sekitarnya tampak suram dan berair, seperti hujan. Dan saat itu hujan benar-benar terjadi. Luna teringat akan apa yang dimimpikannya semalam. Mimpi yang sama. Mimpi yang itu-itu lagi. Bertahun-tahun sudah, begitu saja. Suatu perasaan ngilu mengisi jiwanya. Ia merasa kosong, tetapi bayang-bayang akan kehidupannya muncul begitu saja dengan lembut. Saat lampau itu ia tengah menghadiri sebuah acara peresmian di malam purnama. Ketika itu ia mengenakan gaun sutra taffeta terusan selutut berwarna merah jambu, sebuah gaun malam yang elegan dengan tiara menempel di kepalanya. Tiara adalah sejenis mahkota lambang kebangsawanan. Lord Alastair berjalan di sampingnya dan seketika itu mereka telah menjadi pusat perhatian khalayak ramai, semua menghormati mereka, semua tersenyum pada mereka dan kala itu tahulah Luna jika yang demikian hanyalah sejurus kemunafikan belaka. Takkala Luna pamit untuk ke kamar kecil, saat itulah bencana suara menempelengnya keras. Ia masih duduk di atas closet manakala ia dengar seseorang berbicara sinis pada kawannya dan menyoalkan tentang dirinya. "Hei, si anak pungut presiden itu berlagak seperti orang penting! Aku benci padanya! Dia hanya anak pungut, bukan? Tapi kenapa ia sok aksi?'' "Ya, dia tak tahu diri'' Remuk hatinya. Remuk seremuk-remuknya mendengar seiris ucapan itu. Pedih nan menyakitkan. Ingin sekali kala itu ia mendobrak pintu toilet dan mencekik leher orang tersebut. Atau jika lebih sopan, mendobrak pintu lalu berteriak di depan orang itu bahwa dirinya bukan anak pungut, dirinya adalah anak kandung dari Lord Alastair. Anak haram! Sehingga timbulah seton karang bingung yang akan menjatuhkan kehormatan dan kebanggan Lord Alastair sebagai presiden. Tapi tidak, Luna tak melakukan hal yang demikian. Ia hanya terpekur dan diam mendengar celoteh-celoteh manusia itu. Merasakan batinnya terus tersakiti karena dianggap tak tahu diri sebagai anak pungut yang kelewat sempurna. Luna pun pusing, bagaimana ia mesti bersikap lagi. Serangkaian siksa pelatihan telah dijalaninya demi terciptanya akhlak yang beradat. Namun stempel adopsi itu yang membuat seolah-olah Luna adalah gadis yang beruntung sedunia dan karena keberuntungannya ia mesti tahu diri. Padahal jika boleh memilih, baiklah Luna hidup sederhana saja namun jiwanya dibungkus tenteram ketimbang hidup mewah, kelewat sempurna namun selalu digunjing karena dianggap anak pungut yang tak tahu malu, masuk ke dalam keluarga Presiden dan memakai pernak-perniknya. Barangkali Lord Alastair dan Lady Earlene tak pernah menyoalkannya. Namun bangsawan-bangsawan kolot di luar sana tiada henti menyoalkannya. "Seandainya ada orang tuanya disini, ia pasti takkan mengakuinya. Toh, ia telah bergelimang harta, pasti takkan mengakui kedua orang tuanya yang gembel'' "Brrrrr.....''dan suara curahan air dari keran closet sengaja ditekan Luna keras-keras. Manusia-manusia pengghibah itu pun seketika bungkam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD