Bab 233 : "Izebel."

4974 Words
Matahari sore semakin pekat ketika Izebel dan Lidia kembali ke peraduan. Mereka bernyanyi-nyanyi sepanjang perjalanan, sekedar mengagumi bebungaan liar atau menghirup bau tanah basah. Kumbang beterbangan dari pucuk ke pucuk dan suaranya berdengung lemah di kedalaman hutan. Di tikungan, ibu dan anak itu bertemu dengan wajah-wajah akrab yang mereka kenal dan mereka berhenti sejenak untuk berkirim kabar. “Oh anak yang manis,” kata salah seorang wanita tetangga. “Berapa umurmu nak? Ah pasti suatu saat nanti kau akan menjadi gadis yang sangat cantik. Semoga Tuhan melindungimu dari marabahaya. Amin.” Ia memetik mawar liar di pinggir jalan dan memberikannya kepada Izebel. Izebel tertawa manis dan berterima kasih. Tapi kemudian beberapa tetangga lain membisikkan sesuatu kepada Lidia dan ekspresi Lidia berubah muram. Beberapa ada yang memberikannya berlembar-lembar koran El Epistem[1] dan menyuruhnya membaca dengan saksama. Lidia membeku. “Apa yang terjadi mama?” tanya Izebel, polos. Mereka telah tiba di rumah berdinding tanah liat yang kecil. Wajah Izebel terbayang di dalam sendok sup di atas meja. Makan malam kali ini hanya ada sup jagung dan sepotong roti. Malam telah menjadi begitu gelap oleh kemuraman, “Aku tidak percaya ini benar-benar akan terjadi,” keluh Lidia. Ia mengucapkan kata “Tidak Percaya” sekali lagi untuk menegaskan apa yang dimaksud. Ia meletakkan koran yang baru ia baca di atas meja.  Izebel mengunyah pelan-pelan, sambil makan ia ambil koran itu dan ia bolak-balik berita yang ada sambil membacanya sepotong demi sepotong seperti ia memakan roti tak beraginya. ***** Pada zaman pertama, sekitar empat ribu tahun setelah terpisahnya Aristarkhus menjadi empat kerajaan, sebelum bangsa Kronum menciptakan atmosfera, laut tengah adalah satu-satunya pemisah antara mereka. Terletak persis di tengah, laut ini adalah laut bersama empat kerajaan tersebut. Laut ini dibagi menjadi empat wilayah kekuasaan yang di pusatnya didirikan menara sebagai pusat dari seluruh kekuasaan. Awalnya semua baik-baik saja, tetapi ketika di Langit Bawah tiba-tiba terjadi perang saudara, terjadilah gelombang pengungsi Kronum secara besar-besaran. Mereka bergerak ke utara menuju De Shoshi, ke selatan menuju Old Sammur, dan ke barat menuju Populo Dei. Gelombang pengungsi ini menciptakan masalah lain. Kerusuhan dan isu rasial terjadi dimana-mana. Hal ini mengakibatkan kerajaan De Shoshi dan Old Sammur bersekutu menghancurkan atmosfera dan membekukan Langit Bawah. Tak sampai disitu, Old Sammur dengan segala teknologi canggihnya akhirnya mengurung kerajaan Langit Bawah dengan membangun tembok Filemon. Tembok Filemon adalah tembok transparan setinggi puluhan kilometer yang dibangun oleh bangsa Elite, dibantu para Gamaliel, untuk memenjarakan Langit Bawah. Tembok ini dilengkapi dengan parit perlindungan, kawat berduri, kawat beraliran listrik, menara pengawas, sensor elektronik, kamera video, pesawat pengintai tanpa awak, menara penembak jitu, jalanan untuk patroli kendaraan, dan yang paling mengesankan..sinar buatan yang memungkinkan terjadinya malam sepanjang hari di Langit Bawah. Dengan tembok ini, Raja Moloch dan seluruh bangsa Kronum nyaris terkurung selamanya tanpa kekuatan apapun. Lima ratus tahun lebih setelah atmosfera dihancurkan dan tembok Filemon mengurung Langit Bawah, pas saat Raja Alexander Az-Baabul ke-18 menurunkan tahtanya kepada Alexander Az-Baabul ke-19, ketika Old Sammur tumbuh pesat menjadi kerajaan paling superior dengan rajanya, Arphakshad ke-12 sebagai Raja paling berpengaruh di dunia, muncul setitik gelap di Langit Bawah. Raja Moloch berhasil membangun atmosfera kembali. Kegelapan kembali menaungi kerajaan Langit Bawah. Ketegangan meningkat. Tak lama, dengan bantuan De Shoshi, Old Sammur diserang. Perang pun berkobar. Old Sammur muncul sebagai pemenang. Kemenangan ini membawa Old Sammur ikut mengurung De Soshi lewat Filemonnya. De Soshi terkepung. Langit Bawah kembali bertekuk dibawah kaki Raja Arphakshad. ***** “Dan sekarang, setelah lima belas tahun Old Sammur membekukan De Shoshi dan Langit Bawah, tak berapa lama setelah Sang Raja Arphakshad ke-13 naik tahta, beginilah keadaannya...” Demikian tulis di dalam kolom berita itu. “KITA AKAN IKUT DISERANG OLEH BANGSA ELITE OLD SAMMUR!” “Apa-apaan ini?” teriak seorang Salem, seperti dikutip di berita-berita. “Ribuan tahun kami tidak pernah macam-macam dengan bangsa Elite, mengapa sekarang mereka mengancam kami?” “Mereka ingin menguasai Aristarkhus?” Si penulis berita bertanya-tanya. “Bukan. Mereka ingin menjadikan Aristarkhus, tanah tak bertuhan!” Ia menjawab sendiri. “Coba pikirkanlah, kita memang tidak pernah berbuat macam-macam dengan kerajaan itu, tapi kita juga tidak pernah benar-benar berteman dengannya!” “Makanlah dulu, sayang, dan jangan mencampuri urusan makan dengan kegiatan apapun,” seru Lidia sambil menutup koran yang dibaca oleh Izebel secara paksa. “Mama...” sahut Izebel, agak merengek. Tapi Lidia hanya menggumam. Ia menyendok sup dan memasukkannya ke dalam mulut. “Kau tahu, ayahmu pergi karena terlalu banyak membaca koran. Ia terlalu terpesona dengan negara-negara lain, Old Sammur, negeri yang mengaku-ngaku paling makmur itu,” sahut Lidia kemudian. Ia berusaha mengatakannya selembut mungkin tetapi kekesalan dalam hatinya tak terbendung. “Jika Old Sammur menyerang kita, itu adalah hal yang baik. Setidaknya ayahmu bisa terbuka hatinya dan melihat betapa keputusannya dulu untuk pergi itu salah fatal.” “Kau bilang dia kecelakaan.” Lidia terdiam. Hanya terdengar dentingan suara sendok dan piring. “Makanlah,” sahut Lidia tanpa ekspresi. Izebel tidak setuju dengan perintah satu arah ini. Tapi akan lebih baik jika ia menahan protesnya sekarang. Maka sisa makan malam itu ia habiskan dengan keheningan sempurna dan Lidia melahap semua makanan seakan-akan ada emosi membara di dalam hatinya. ***** “Seorang utusan Raja Arphakshad telah mengirim surat kepada salah satu The Great Salem di Populo Dei,” ujar Lidia tiba-tiba saat dirinya tengah mencuci piring dan Izebel tengah gigih membaca ayat-ayat Habel. “Surat itu berisi perintah kepada Tabliq Suci dan para The Great Salem untuk meninggalkan ajaran Tuhan dan tunduk kepada kekuasaan Old Sammur. Jika tidak, nasib yang tak kalah tragis akan menimpa Populo Dei,” lanjut Lidia, tanpa menyembunyikan kekejian yang terkandung di dalam maknanya. Izebel hanya tertunduk sedih. Mata hazelnya diam-diam mengamati pergerakan sang ibu yang mondar-mandir membereskan ini itu. Lidia menyapu lantai, membersihkan jaring laba-laba di pojokan dinding, memindahkan barang-barang, mengelap perkakas, melipat pakaian dan mengadoni kue serta merajang sayuran untuk esok hari. Semuanya dilakukan dengan raut wajah murung bercampur kekerasan hati. Pada suatu titik, ia menghela napas dan terduduk. Air mata mengalir di pipinya. ***** Di tempat tidurnya malam itu, seperti malam-malam sebelum dan setelahnya, Izebel berbaring di selembar kasur tipis yang tak bisa melindunginya sama sekali dari dingin. Rembulan bersinar separuh terjebak dalam bingkai jendela dan Izebel yang tak kunjung terlelap memusatkan matanya kepada jendela sambil merasakan alam yang berbisik, mencuitkan geraman jangkrik dan dengung nyamuk. Ia bisa merasakan kehadiran hutan yang begitu luas diluar sana, mendengar ketukan buku-buku kosong tanaman bambu, suara embusan angin menarikan ranting-ranting pohon, suara air mengalir di belahan gunung. Malam membawa harmoni sendiri yang tidak akan bisa terdengar jelas di siang hari karena tenggelam oleh suara para manusia dan dentingan peralatan rumah tangga. Pendengaran menjadi sensitif.  Di pojok dinding, Izebel mendengar gigi-gigi tikus menggerogoti kayu lapuk dan ia menjadi takut karena rumahnya yang tidak seberapa ini, suatu hari nanti mungkin akan menjadi serbuk kayu. Hidup melompat-lompat dalam nadinya seperti petasan dan sang ibu yang tidak benar-benar terlelap di sebelahnya, sekali lagi dan untuk kesekian kali, menyuruhnya terpejam. “Mengapa ayah pergi, mama?” bisik Izebel, dalam mata yang penuh kesungguhan. Lidia berubah ekspresi hingga Izebel agak takut karena pertanyaan itu mestilah mengganggu pikiran ibunya. Tapi kemudian, Lidia hanya mengusap rambut anaknya pelan. “Ada hal yang tidak bisa aku jawab saat ini, sayang. Meski hal itu sangat tidak adil. Namun satu yang harus kau tahu, bahwa aku menyayangimu dan aku akan memberikan segala yang terbaik untukmu,” Ia menutup perkataannya dengan doa terakhir. “Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap engkau. Mudah-mudahan Tuhan mengampunimu dan Dia adalah Maha Penyayang diantara Para Penyayang.” “Tidurlah, Izebelku, sayang,” sahut Lidia lagi. Izebel lalu menggelosor ke pelukan ibunya. Dalam dekapan, ia dinyanyikan nina bobo hingga matanya berat dan menyerah kepada dunia mimpi. *** 5 Oktavianus 5980 Para tentara dari kaum Elite berdiri di perbatasan, memandang kepada seluruh Tabliq Suci yang berkumpul tak jauh dari situ dengan raut tanpa belas kasihan. Mereka mengenakan seragam kerah kaku bewarna biru tua dengan rangkaian tanda bintang bersepuh emas berkilatan di lengan kiri dan kanan. Garis-garis putih melintang di kerah dan ujung lengan. Kantung safari menempel di bagian kanan d**a dan diberi pengait berupa rantai kecil dari emas. Di sebelah kirinya, terjepit dengan nametag hitam, nama mereka: Andreas, Marius, Timotius, Hilkia, Fransiscus, Leopold, Levi, Michael, dan masih banyak lagi. Terakhir, topi beret menutupi kepala mereka dengan simbol emas berbentuk obor menempel di bagian kiri topi. Mereka tampak sangat rapi dan tampan; produk terbaik dari segala jenis makhluk dan manusia. Sebagaimana yang sering diumbarkan oleh mereka,  terutama oleh para Gamaliel, bahwa kaum Elite adalah kaum dengan wujud fisik terbaik dari seluruh tanah Aristarkhus. Para penghuni Old Sammur rata-rata memang memiliki wajah yang enak dipandang. Baik perempuan dan laki-lakinya memiliki kulit cerah dan sehalus s**u, mata seindah dan secerah  safir, amethis, mutiara, maupun sebiru samudera, dan rambut mereka bervariasi dari semerah mahoni hingga secokelat gandum, tapi tidak pernah seputih salju seperti rambut kebanyakan orang-orang di De Shoshi, pun tak segelap rambut milik mereka yang hidup di Populo Dei. Hidung mereka juga proporsional, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, mancung laksana tanah melandai. Mereka juga terkenal memiliki badan seimbang, tidak terlalu gendut dan tidak terlalu kurus. Tinggi mereka lebih mengagumkan lagi, mereka tidak pernah terlihat terlalu pendek ataupun terlalu tinggi. Namun di atas semua itu, pakaian adalah sang daya tarik utama. Para Elite dan para Gamaliel selalu mengenakan pakaian rapi nan mewah setiap saat dan pada waktu yang tepat. Ciri khas dari pakaian mereka adalah adanya lambang obor bersepuh emas, entah di kantong atau di topi atau tertempel begitu saja di mantel maupun blues mereka, serta nametag di bagian d**a kiri. Raja Arphakshad, sebagai Raja Old Sammur, sering mengatakan “Berpakaianlah sebagaimana Anda ingin diperlakukan.” Rasanya kata-kata itu sangat menghunjam sanubari para Elite sehingga mereka benar-benar menerapkannya. Raja Arphakshad sendiri, dari Raja Arphakshad kesatu hingga ketiga belas, merupakan raja yang rupawan. Raja Arphakshad ke-13 misalnya, dengan garis wajah lembut bersahaja, tatapan seteduh hujan dan senyum semanis manisan, ia selalu mampu memikat dan menarik simpati rakyatnya, terutama para perempuan. Usianya sudah menginjak empat puluh, tetapi jika melihatnya tidak akan menduga bahwa usianya setua itu. Ia terlihat seperti seorang pemudia berusia tak lebih dari dua puluh tahun. Benar sekali, ia awet muda! Badannya segar bugar dan wangi. Dengan rambut cokelatnya yang berkilauan tanpa terlihat adanya uban, rasanya tidak mengherankan jika kaum Elite selalu merasa dirinya super superior diantara bangsa lain. Hanya dengan melihat rajanya saja, kita akan tahu mengapa. ***** Parit-parit digali, kawat berduri ditempeli, pesawat pengintai dan kamera video serta segala hal yang berhubungan dengan sensor dan pengintaian dipasang. Mereka, para tentara Old Sammur, terus berdiri disitu. Senjata laras panjang tegak di tangan kanan mereka, memungkinkan mereka bergerak secepat cetah jika ada sesuatu apapun yang membahayakan pendirian tembok filemon ini. Izebel disitu, menekuk wajahnya dibalik kerudung longgar yang panjang terlilit. Tabliq Suci terkenal dengan kostumnya yang agak tertutup. Khusus untuk laki-lakinya, termasuk para Salem, mereka mengenakan tunik atau stola atau chiton yang panjang dan gombrong. Lalu sehelai kain berbahan wol atau linen atau beludru sepanjang 15 kaki, bahkan bisa lebih, disampirkan pada satu bahu atau kedua bahu dari mereka atau bisa pada bagian d**a diberi peniti sehingga muncul lipit-lipit dan pada kedua ujungnya diberi jumbai-jumbai. Ada juga yang menyampirkannya di kepala seperti kerudung. Variasi gaya dari kainnya bebas sesuai selera masing-masing. Sementara itu, untuk perempuannya, pakaian yang paling umum adalah tunik atau stola yang ditutupi oleh palla, kain segi empat yang lebar untuk menutupi bagian kepala, seperti kerudung. Palla disampirkan begitu saja di bahu dan salah satu ujungnya ditarik dari belakang ke depan supaya dapat sedikit menutupi rambut. Pakaian mereka sangat gombrong dan rata-rata hanya terdiri dari warna-warna muda, kecuali untuk para Salem yang diberi keistimewaan untuk memakai warna putih. Putih adalah lambang Salem. Lambang kekudusan serta lambang fitrah manusia. “Lihatlah mereka,” seru seorang pria Elite kepada yang lain. Ia berbicara dalam bahasa Old Sammur.[1] “Alqadhrat, almthdmt, og subbulegur.”[2]  “Apakah itu karung jerami?” tanya lain saat melihat beberapa Tabliq Suci mengenakan pakaian dari kain kasar berbahan mirip karung gandum yang sudah usang. “Warum que usan kannavad riideid, empoeirado,haisev ja perforeeritud, wamathqib, mthqb?” “Li'annahum sie denken, Gott Wunder 'ann alllah taqlil eajayib þess myndi minnka kraftaverk fyrir.” “Hatta yasli, þeir héldu að þeir vegna so beten wazannu 'annaha für sie verringern?”[3] Mereka tertawa, membawa dalam diri Tabliq Suci, perasaan aneh dan terasing yang semakin membawa mereka pada jeratan inferioritas. Para Salem berkumpul di belakang barisan, berbisik satu sama lain. “Ma khazalkia!”[4] seru para Elite sekali lagi. Seseorang diantara mereka mendekati seorang gadis, menyentuh dagunya, dan tersenyum. Mereka mengolok-olok dalam bahasa mereka sambil memperlihtkan gestur yang seperti mengatakan bahwa mereka, dan seluruh gadis di Luciferia lebih baik daripada gadis-gadis di Populo Dei. Sang gadis Populo Dei yang dipegang dagunya itu tertunduk sedih dan merasa malu. Sekali lagi, para Elite tertawa lebih keras. Tak berapa lama, beberapa petinggi kaum Elite, Para Gamalilel, datang. Mereka adalah sekelompok orang bersetelan hitam dan bersepan. Mereka berjalan dengan terhormat melewati jalan sempit diantara para prajurit Old Sammur dan Tabliq Suci. Para The Great Salem melongok melihat keberadaan mereka dan seketika terkejut. Gong dibunyikan bertalu-talu. Para prajurit siap siaga. Teriakan hormat menggaung ke segala penjuru. Seluruh Elite meletakkan telapak tangannya di pelipis mata sementara Tabliq Suci hanya keheranan memperhatikan. Lalu terdengar bunyi keras seperti dorongan benda berat. Izebel menoleh dan melihat, disanalah, di ujung garis batas, tembok filemon berdiri dan secara elektromagnetik bergerak menyusuri ujung batas Populo Dei.        Dan waktu berhenti berdetak.             The Debate “Wahai Tabliq Suci! Oh Tabliq Suci!” seseorang berseru, seorang lelaki diantara para Gamaliel. Ia yang berdiri menonjol di hadapan Tabliq Suci. Ia melihat ke sekeliling dan tersenyum cerah. Ia berbisik kepada salah satu prajurit yang berjaga kemudian mereka tertawa. Ia menggeleng-gelengkan kepala, lalu dengan riang gembira ia menyapa lagi dalam bahasa bersama negara-negara di Tanah Aristarkhus, bahasa Aritarki. “Ali, demikian kalian bisa panggil namaku. Ali Eufrat, tapi eh... baiklah, tidak penting memperkenalkan siapa aku,” lelaki itu kikuk sendiri. Permata birunya menyusuri sekeliling dan kerumunan para Tabliq Suci. Ia menarik napas. Hening. Pepohonan hijau bergoyang membawa rindang. Siang itu sejuk oleh angin yang berkesiut sekaligus buram oleh debu-debu yang bertebaran. “Pikirkanlah bahwa hari ini tidak akan pernah muncul kembali!” sahut Ali, setelah beberapa lama. Ia mengantongi tangan kanannya. “Pikirkanlah bahwa apa yang kalian putuskan hari ini akan mengubah hidup kalian selamanya. Yah, terkadang kehidupan seribu tahun tidak ada gunanya lagi ketika satu hari datang dan mengubah keseribu tahun hidupmu.” Ali mengeluarkan kembali tangannya. Setelah itu, ia mengayunkan jemari ke udara. Sesaat kemudian muncul layar transparan yang lebar dan besar. “Sesungguhnya kami, kaum Elite, adalah kaum yang paling baik hati di tanah Aristarkhus. Bayangkan saja, kaum manalagi yang pernah terang-terangan merangkul kaum lain dan mengajak untuk bersama-sama membangun peradaban yang sangat tinggi hingga....ya, peradaban tinggi hingga Tuhan sendiri tak mampu mencapainya.” Ali Eufrat menyentuh layar transparan yang menggantung di udara. Sesaat kemudian, terlihat dari layar itu, sosok Raja Arphakshad ke-13 tengah duduk dengan latar belakang dari segalanya adalah dinding berwarna silver lengkap dengan segala tombol-tombol otomatis. Semua Tabliq Suci tercengang. Ali membungkuk dan dengan segala hormat, ia mempersilahkan sang raja berbicara. “Hai, sahabatku!” seru Raja Arphakshad ke-13. Ia tersenyum dengan amat-sangat manis. Para gadis terkesiap. Mereka cepat-cepat menundukkan pandangannya serendah mungkin. “Hai, Tabliq Suci!” kata Raja Arphakshad ke-13 lagi. “Hei jangan tertunduk begitu, aku tidak sedang membuat siapapun malu dan aku tidak pernah mencoba untuk melakukannya haha,” Ia tertawa renyah. “Senang bertemu dengan kalian. Sungguh, aku sangat senang akhirnya mendapat kesempatan untuk berbicara dengan kalian. Aku..ehm...yah, ini adalah momen luar biasa!” Raja Arphakshad tersenyum lagi, sama sekali dalam wajahnya tidak menyiratkan raut kekuasaan ataupun permusuhan. Ia berbicara tidak seperti antara lawan dengan musuh, atau raja dengan rakyat, tetapi lebih seperti teman dengan teman, dan kerabat dengan keluarga. Ia memperhatikan para Tabliq Suci dan berdecak kagum sendiri dalam bahasa Old Sammur. Ia menyenderkan bahunya ke kursi metalik dan meletakkan telunjuknya di dagu, seolah tampak berpikir keras. Seorang pelayan, di seberang layar sana, menyuguhkan segelas anggur untuk Raja Arphakshad ke-13. Pria itu menerimanya, tapi dengan menjentikkan jari ia memberikan bergelas-gelas anggur kepada seluruh orang yang berkumpul. Gelas-gelas piala keluar dari layar dan melayang sendiri, botol anggur menuang sendiri, dan dengan sendirinya juga menawarkan diri kepada tiap-tiap wanita berkerudung dan para lelaki bertunik. “Demi ribuan tahun berdirinya kerajaan kita, mari kita bersulang!” kata Raja Arphakshad ke-13.  “Siapapun yang menerima anggur dari sang musuh, maka ia bukan lagi termasuk golongan orang-orang Tabliq Suci!” potong Yefta, salah satu Salem. Ia menghentak geram dengan tongkatnya dan menebarkan debu-debu. “Janganlah kamu menerima mereka dengan tangan terbuka, betapapun nikmatnya,” tandas Salem Eliezer, mengutip dari ayat Habel. Para Tabliq Suci tertunduk enggan menerima kenikmatan anggur tersebut. Maka anggur di gelas-gelas tumpah dan gelas-gelas pecah di tanah. Raja Arphakshad menarik napas. “Propaganda yang apik sekali, tuan-tuan. Apakah Tuhan begitu curiganya hingga tidak memperbolehkan hamba-Nya meminum anggur dari para sahabat yang baik hati ini? Hmm?” Para Elite tersenyum mengejek. Mereka meminum anggur dan bertepuk tangan untuk diri mereka sendiri.                                                         *****        “Apakah masalah kalian semua, terutama engkau Arphakshad, hingga membuat semua ini?” Salem Eliezer merentangkan tangannya menunjukkan semua kekacauan. Ia bergerak maju mendekati layar dimana sosok Arphakshad berada. “Sejak beribu-ribu tahun kita hidup bertetangga. Kau dengan kerajaanmu. Kami dengan tanah air kami sendiri. Kau dengan kepercayaanmu. Kami dengan apa yang kami percayai. Sejak beribu-ribu tahun hal ini berlangsung, lalu mengapakah tiba-tiba kami harus mempercayai apa yang kau dan bangsamu percayai? Tabliq Suci tidak pernah sedikit pun mengganggu kehidupan para Elite, bahkan memaksa para Elite untuk masuk ke dalam agama Tabliq Suci. Tapi mengapa sekarang kalian mengancam akan memblokade kami? Hanya karena kami tidak sepaham dengan kalian? Apakah sekarang kalian berusaha untuk menjadi Tuhan baru bagi kami?” Raja Arphakshad tertawa. “Pertanyaan yang bagus, Salem. Bagus sekali. Mengapa kami tiba-tiba mengancam kalian jika kalian tidak mengikuti ajaran dan aturan kami? Hmmm...jawabnya simpel saja; karena kami adalah bangsa paling beradab diantara bangsa yang lain di tanah Aristarkhus ini. Dan sebagai bangsa yang beradab...” “Dari mana kalian bisa menyebut diri kalian bangsa beradab?” serobot Salem Eliezer. “Kalian, para Elite, dan para Gamaliel, dan juga kau, Arphakshad, dengarlah, tidak ada satu pun bangsa di tanah Aristarkhus yang mengiyakan kalian sebagai bangsa superior.” “Maaf sekali, Salem. Namun janganlah engkau memotong ucapanku karena hal itu sangat tidak sopan dan bukankah pemotongan ucapan itu sudah menjadi bukti dimana tingkat adab dan budi kalian, Salem yang mulia?” Raja Arphakshad mengulum senyum. “Kami, para Elite, mencoba berbaik hati untuk menolong kalian. Kami, para Elite yang santun, pengasih dan penyayang ini, begitu sedih melihat Tabliq Suci harus hidup diantara hutan-hutan dan kesulitan alam, pun kami tidak tega melihat Tabliq Suci harus berlindung hanya dengan pakaian berbahan karung gandum yang bau dan koyak, dan tidak hanya itu, Salem yang saya hormati, lihatlah kalian, lihat negeri tercinta kalian, apakah yang kalian dapat setelah beribu-ribu tahun menyembah Tuhan? Apakah kemajuan yang kalian dapatkan? Ribuan tahun kalian hidup dibawah nama Tuhan yang setiap hari kalian puja dan puji, tapi yang hanya Dia lakukan hanya membiarkan kalian hidup dalam kebodohan dan kemiskinan tanpa sedikitpun memberikan tanda-tanda kehadiran-Nya, bahkan tidak sedikitpun memberi kalian maruah dan berkah. Dan kalian masih mau menyembah-Nya?” “Wahai Raja Arphakshad,” Salem Yosafat berbicara. “Dengan segala hormat, saya harus mengatakan bahwa engkau belum tahu kehidupan kami sebenarnya. Engkau hanya melihat Tabliq Suci dari pakaian dan membandingkannya dengan kecanggihan-kecanggihan teknologimu. Akan tetapi kau tidak memahami makna kehidupan itu sendiri. Apakah engkau mengerti arti hidup bagi Tabliq Suci dan harga dari meyakini suatu agama? Darimana kau dapat mengetahui bahwa Tuhan tidak memberkati kami ketika kau sendiri tidak termasuk di dalam bagiannya? Ya, kami memuja Tuhan dan ada masalah apa kau dengan semua itu? Kami hidup untuk beribadah dan menekan nafsu dunia. Wahai Raja yang mulia, biarlah kami hidup dalam balutan keimanan yang akan membebaskan kami dari sifat-sifat buruk dan keji. Bawalah teknologi-teknologi canggihmu, hantarkan itu semua ke laut, kami tidak membutuhkannya dan kami tidak perlu ditolong!” Dengan bersahaja, Raja Arphakshad menjawab, “Kalian berpikir kami tidak mengetahui harga sebenarnya dari suatu agama hmm? Agama...adalah omong kosong paling gila sepanjang sejarah umat manusia. Pikirkanlah, agama menyakini kalian bahwa ada Tuhan, sesuatu yang tak terlihat...tinggal di atas langit. Si Tuhan ini memiliki kekuatan super untuk mengawasi apapun yang kalian lakukan setiap hari, setiap saat, setiap detik. Dan si Tuhan ini juga punya daftar apa-apa saja yang harus dipatuhi dan apa-apa saja yang harus dijauhi. Dan jika kalian melanggarnya...Dia akan mengirim kalian ke tempat yang sangat-amat spesial, dan Dia akan membuang kalian ke dalam nyala api yang begitu panas, kemudian Dia akan membakar kalian, menyiksa kalian dan membuat kalian menderita dan membuat kalian hangus dan membuat kalian berteriak kesakitan sampai selama-lamanya. Tapi Dia berkata Dia mencintai kalian Oh Dia Maha Pengasih dan sangat menyayangi umat-Nya. Dia mencintai kalian? Ya, Dia mencintai kalian dan Dia butuh uang!” Diam. “Atau katakan begini,” Raja Arphakshad melanjutkan. “Si Tuhan ini, Dia punya kuasa untuk menciptakan, menghancurkan, dan mengatur segalanya dari segalanya. Dan jika Tuhan memiliki kuasa untuk apa yang Dia berikan dan apa yang akan terjadi pada akhirnya, mengapa kalian masih berdoa dan mengira doa kalian akan mengubah semua itu?” “Begini, Raja Old Sammur yang luar biasa pintarnya!” celetuk salah seorang Salem. “Dari ungkapan-ungkapan engkau, terlihat bahwa engkau kurang paham dengan konsep Tuhan sendiri. Sudah dikatakan bahwa kami hidup untuk beribadah dan menekan nafsu dunia, wahai Raja yang mulia. Kami tidak ingin seperti kalian, yang hidup gemah ripah namun tersesat oleh sifat-sifat buruk dan keji kalian sendiri. Berdoa adalah cara kami menekan semua itu. Maka Tuhan  menurunkan seorang utusan yang akan mengajarkan kepada umat manusia bagaimana dan apa-apa saja supaya selamat dari dunia, ialah Sang Rohib Emirel Shofar. Lewat kitab iman Habel, yang mana merupakan ucapan-ucapan Tuhan, kami memahami bahwa doa adalah wujud pengabdian kami kepada Tuhan dan itu berguna sebagai benteng supaya kami tidak tergelincir ke dalam dosa-dosa yang amat pedih.” “Berdoa? Pengabdian? Atas dasar apa manusia harus mengabdi kepada-Nya? Kalian bilang Tuhan yang menciptakan manusia? Baiklah, anggap Tuhan menciptakan manusia. Lantas apa? Tidak ada yang pernah menyuruh-Nya menciptakan manusia tapi sekarang Dia ingin manusia mengabdi kepada-Nya karena Dia merasa telah berjasa menciptakan manusia?” Raja Arphakshad mengerutkan kening. “Dan sekali lagi, kalian harus mempertanyakan logika dari Tuhan yang katanya Maha Tahu dan Maha Kuasa. Jika kami, dan seluruh umat manusia, memiliki sifat-sifat buruk nan keji, maka itu bukanlah kesalahan kami. Tuhan yang menciptakan manusia seperti itu dan bagaimana mungkin Dia menyalahkan manusia untuk kesalahan diri-Nya sendiri? Kepercayaan kalian terhadap Tuhan itu tidak masuk akal!” “Dan Emirel Shofar...” Raja Arphakshad menambahkan. “Ya...kalian pikir dia luar biasa? Sebetulnya dia hanya menulis buku dari imajinasinya dan dengan retorika yang bagus dia katakan...aku baru saja menyalin perkataan Tuhan! Sekarang aku tanya, adakah diantara kalian yang pernah sekali saja mempertanyakan tentang keaslian kitab Habel? Bagaimana kalian yakin kitab itu adalah benar omongan Tuhan? Apakah karena kalimatnya yang bersayap-sayap? Atau karena mitologi-mitologi epik di dalamnya? Atau karena janji-janji dan ancaman-ancaman yang tertulis seperti mengungkapkan ketakutan-ketakutan kalian? Itulah, wahai Tabliq Suci, itulah bisnisnya! Agama menjual ketakutan. Kalian berdoa lebih karena kalian takut sesuatu yang buruk terjadi pada kalian. Doa adalah media pelepas kecemasan manusia. Dan seperti surat, doa pun mempunyai tujuan,.. tujuan itulah yang kalian anggap Tuhan. Tuhan...sebuah tokoh fiktif dalam imajinasi kalian yang kalian gunakan untuk mengurangi kegelisahan-kegelisahan menggebu dalam diri kalian. Sekali lagi, keberadaan Tuhan itu tidak nyata! Itu karangan kalian! Akal dan ilmu pengetahuan telah berhasil mengungkap ini. Jadi tidak alasan untuk terus percaya kepada dewa imajinasi itu.” Terdengar cekikikan tawa dari para Elite. Kemudian tepuk tangan membahana. Para Gamaliel bersorak-sorak memuji Raja Arphakshad. Dari balik layarnya, sekali lagi Raja Arphakshad menyuguhkan segelas anggur kepada semua orang. Untuk sekali lagi, ia berkhotbah, “Ini adalah penawaran terakhir. Apakah kalian ingin bergabung bersama kami dan mengikuti aturan kami? Terdidik secara akal dan tercerahkan secara pikiran? Jika ya, kalian bisa meminum anggur yang melayang di samping kalian itu dan Ali Eufrat, Panglima Besarku, akan menuntun kalian pergi ke kerajaan Old Sammur. Kalian akan menyatu bersama kami dan kalian akan menjadi saudara kami. Oh kami begitu bangganya menerima kalian!” Terdengar bisik-bisik diantara kalangan Tabliq Suci. Izebel menggenggam tangan ibunya erat-erat. Ia memejamkan mata tak sudi melihat segelas anggur merah melayang-layang di sampingnya. Meski harumnya menyeruak menggoda, dan meski nikmatnya tak terbayangkan lagi. Ia berkata terus-terusan kepada ibunya supaya bertahan dan bertahan. Sebab kuasa Tuhan akan datang. Kuatkan iman dan bersabarlah, karena Tuhan bersama orang-orang yang sabar. Tapi Izebel juga mendengar suara dari kawan-kawannya tempo lalu; Kain, Sollice, Hebron. Oh betapa ini adalah momen terbaik untuk keluar dari kemiskinan Populo Dei, betapa ini adalah saat paling ditunggu karena tak perlu lagi pura-pura, Old Sammur telah menyambut, betapa... betapa... dan betapa... Izebel mendengar nada-nada bahagia dari kawan-kawannya. Ia menguatkan diri. Suara itu semakin keras. Ia semakin menguatkan diri. Suara itu semakin dan semakin keras. Ia terus menguatkan diri dan menguatkan diri hingga ia sadar bahwa seseorang yang tidak pernah ingin berada di dalam komunitas tertentu, meskipun ia telah lahir dan tinggal hampir selamanya di komunitas tersebut, tetap akan memilih pergi jika datang kesempatan yang sebenarnya adalah momen indah bagi dirinya.  *** “Izebel,” bisik Lidia. Perempuan itu kemudian menggiring anaknya kepada Salem Eliezer. Sang Salem keheranan dan dengan ayat-ayat Habel terus menguatkan ibu dan anak itu. “Aku punya ide yang bagus, Salem,” seru Lidia, serius. Ia berbisik kepada Salem Eliezer. Kemudian, Izebel menjadi begitu ketakutan terhadap datangnya ide baru tersebut.  “Kau gila, Lidia! Aku tidak akan membiarkanmu melakukan itu!” sahut Salem Eliezer. “Katakan padaku kau tidak akan meninggalkan negeri ini dan...” “Ya, Salem. Aku harus meninggalkan negeri ini.” Lidia berbungkuk menatap anaknya. “Izebel, sayang, dengar...” Bibir Lidia terasa kelu seketika. “Katakan padaku kau tidak akan meninggalkan negeri ini,” Salem Eliezer membujuk. “Pikirkan anakmu, pikirkan keluargamu disini, tolong jangan lakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan suamimu.” “Tapi aku tidak bisa terus tinggal disini. Aku harus menemukan kehidupan yang lebih baik untuk Izebel...” Ia mengatakan ini sambil memejamkan. Air mata merembes dari balik matanya. “Lidia, mohon dengarkan aku, kau memiliki semua yang kau miliki, kau bahkan menghapal semua ayat suci Habel dan itu akan menjadikanmu jalan yang mudah, Lidia. Kau adalah seorang suci sementara mereka tidak percaya adanya Tuhan...” “Aku bisa terus beriman dimanapun, Salem. Tuhan akan selalu ada di hatiku dan aku tidak akan mengkhianati-Nya. Aku menyayangi Tuhan, menyayangi anakku, tapi...”  “Tidak...” potong Izebel, serak. “Tolong jangan pergi, mama...” Dan air mata itu jatuh berderai-derai. Lidia memeluk Izebel. Gelas berisi anggur masih melayang-layang di udara, beberapa orang akhirnya tergoda untuk minum. Kepanikan terjadi. Salem Eliezer berteriak-teriak kepada mereka semua untuk selalu ingat dengan Tuhan! INGATLAH ALLAH! Ia bergerak kesana kemari, sebagaimana para Salem yang lain, dan mencegah orang-orang meminum anggur. Anggur beracun! Teriak para Salem. Kau tidak akan menikmati manisnya anggur itu karena semua hanyalah ilusi!  “Salem, kau tidak akan mengerti rasanya hidup dibawah garis kemiskinan dan berharap semua akan berubah disini...” kata salah satu Tabliq Suci. Ia terisak. “Aku sudah mempertanyakan ini jauh-jauh hari. Ada Tuhan untukmu, tapi apakah ada Tuhan untukku?” “Satu-satunya yang harus kau lakukan adalah meneguhkan hati kalian... apa kalian berani menggadaikan semuanya demi anggur-anggur itu? Sedangkal itukah iman kalian? Setelah semua yang kalian pelajari dan kami ajari hanya segitukah kecintaan kalian kepada Tuhan?!” Raja Arphakshad tertawa. Para Elite tertawa. Mereka melihat semua pertunjukan ini dengan senang hati. “Aku terjebak disini, Salem, dan tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku bisa membunuh diriku...maafkan mama, Izebel... maafkan mama...” Semua menangis. Satu orang terpisah dengan orang lainnya, dan kejadiannya begitu cepat seperti angin yang berembus dalam sekerling mata. Tidak ada kata perpisahaan yang sempat terucap. Tidak ada kecupan yang sempat dilayangkan. Tidak ada peluk yang sempat dirangkul. Sebagian gelas-gelas itu telah kosong. Dengan hati terluka, mereka semua, mereka yang telah meneguk manisnya anggur, berjalan dipimpin oleh para Elite. Genggaman tangan dilepas. Erangan dan decak tangis membumbung. Tapi mereka semua pergi, dan mereka menghilang dibatas horizon. Izebel melihat ibunya dengan perih. Hari paling buruk dalam hidupnya telah tertulis dikeningnya. Ia mengepalkan tangannya: marah, sedih, benci, dan begitu rapuh. Ia  menghapus tangisnya berkali-kali, namun air mata yang keluar begitu hebat hingga ia sendiri tidak menyangka kesedihannya mengalami kedalaman sedemikian rupa. ***** “Pada akhirnya, kehidupan akan memilih siapa penopang sesungguhnya,” kata Raja Arphakshad. “Aku turut berduka pada kalian semua. Kalian yang telah begitu mencintai Tuhan dan kini harus menanggung penderitaan dari cinta itu sendiri.” Ia menggelengkan kepala. “Tapi tenanglah, karena kalian tidak pernah sendirian, karena...” “Tuhan bersama kami,” tiba-tiba Izebel memotong. Ia mengelap air matanya dan berjalan mendekati layar Raja Arphakshad ke-13. Sang Raja tersentak. “Oh siapa yang mengizinkanmu bicara, gadis kecil?” Ia menunjuk Izebel. “Sudah aku katakan janganlah sekali-kali memotong ucapanku karena aku tidak suka seseorang mengambil kesimpulan sebelum aku menyelesaikan perkataanku.” Izebel sesenggukan. Dadanya naik turun. Salem Eliezer segera menggamit jemari anak itu tetapi Izebel mengelak, “Tolong jangan ambil mamaku, Raja,” Izebel terisak. Sang Raja Arphakshad yang terbiasa bersikap ramah nan riang dibalik segala kejahatan dan superioritasnya itu tiba-tiba bungkam. Ia menoleh kepada horizon, tempat Tabliq Suci pergi membelot. Ia berpikir sebentar sebelum perlahan mengalihkan pandang kepada gadis kecil mungil itu: Oh mata hazelnya yang basah, tatapannya yang penuh duka cita. Sesuatu yang aneh berdesir di dalam hatinya. Sesuatu yang bergerak menuju sanubari terdalam. Izebel terus terisak. Raja Arphakshad ke-13 menatapnya simpati. Raut wajahnya menandakan kebingungan bagaimana harus bereaksi, antara sedih, simpati, dan perasaan bersalah. Bibirnya terkatup. Para Elite, prajurit, dan Gamaliel juga tak mengeluarkan suara. Suasana berubah kelabu. Seketika, rasanya seluruh dunia ikut menangis. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD