Bab 190 : "Lautan Air Mata"

1642 Words
Oh, hampir saja, pikir Isadora seraya bernafas lega. "Oii Isadora!!" seorang wanita bertubuh gempal memanggilnya di kejauhan. Isadora bersorak bukan main melihat siapa yang datang. Ia berlari mendekati sang wanita dan bahkan, sebelum ia benar-benar sampai, kata-kata penuh resah berhamburan dari mulutnya. "Rodrigue, apakah aku akan dipecat atas insiden tadi?" "Tenanglah, tenang," demikian Rodrigue, sang Kepala Pelayan Istana Utama menenangkan. "Prince Adrien tidak seburuk yang kau pikirkan, tetapi dia memang tak suka melihat kesalahan." "Apakah kabut turun setiap hari, Rodrigue?" Isadora langsung mengalihkan pembicaraan. Ia tak mau mengingat kejadian mengerikan itu lagi. Rodrigue tersenyum ramah. "Yah, kau harus mulai terbiasa dengan iklim Penthalpa yang berkabut dan...emm...sedikit kelam." "Ah," keluh Isadora. Kekecewaannya sangat dalam. "Ternyata memang tidak lebih baik daripada kampungku di Cottonmouth. Disana bahkan saat musim panas, salju bisa turun setiap hari!" Rodrigue setengah tertawa, setengah menggeleng-gelengkan kepala menanggapi ucapan gadis itu. Kemudian, dituntunnya sang gadis kembali menuju Istana Utama, tempat dimana ia bekerja dan memulai hidup barunya. Selama perjalanan, Rodrigue menjelaskan satu per satu tentang kastil-kastil di Istana, tentang tikungan jalan yang membingungkan, tentang taman hiburan, stasiun kereta dan bangunan-bangunan klasik lain yang entah untuk apa saja digunakan Suaranya semakin lama semakin rendah dan rendah, dan akhirnya menghilang dibelokan jalan setapak. Pada suatu titik di langit, terdengar suara seekor burung bersenandung, suara sayap lebar yang mengepak seperti baling-baling. ***** Sementara itu, saat siang semakin murung dan sepi, Luna berjalan tergesa-gesa menuju ruang utama di istana utama. Tangis di mata safirnya telah mengering, menimbulkan bekas dan rasa kantuk yang berat. Angin sepoi-sepoi, menarikan rambut panjangnya yang pirang kemerah-merahan. Gadis cantik itu seakan ingin menyerah kepada kelembutan mimpi. Namun ia tidak bisa melakukannya. Sebab dering telepon dari seberang telah berdering dan dalam satu tarikan, Luna segera menjumpai Alexandrina, salah satu penasihat keluarga kerajaan sekaligus istri dari Frederich Ford Alegra, adik dari Lord Alastairs. "Dia akan datang malam ini, Alexa," sahut Luna, terengah-engah. "Siapa?" Alexandrina tidak mengerti. "Dia?" Luna mengangguk. "Charles Rosenblum menelpon tadi. Aku tidak menyangka akan mendadak seperti ini. Kenapa tidak ada yang memberitahuku sebelumnya?" "Ssstt," Alexandrina mengingatkan. Matanya memutar keliling ruangan, takut-takut kalau ada yang mendengar percakapan mereka. "Jangan panik," nada suaranya memelan. "Aku pikir Adrien dan Ratu sudah memberitahumu." Luna terdiam. Bekas air mata yang mengering telah menjawabnya. Alexandrina paham maksudnya. Ia menghela napas. "Apakah Tuan Marshall benar-benar akan membawaku ke Asrama Honeysuckle sekarang?" Luna bertanya dengan nada cemas. "Lord Alastairs tidak ada disini. Apa yang harus aku lakukan, Alexa?" "Tenanglah, sayang," Alexandrina menenangkan. "Aku akan pergi sebentar menemui Adrien dan Lady Earlene untuk mendiskusikan ini semua. Aku juga akan menelpon Lord Alastairs secepatnya." Ada jeda sejenak. "Aku juga akan memberitahu mereka kau keberatan dengan misi ini, jika kau mau." Lalu, tanpa basa basi, Alexandrina pergi. Tinggalah Luna sendirian dan dengan letih, ia terduduk di sofa. Ia menangkupkan seluruh wajahnya dengan kedua tangan. Ia tampak berpikir keras. Satu menit, dua menit, sepuluh menit berlalu. Tidak ada ide bagus muncul di kepalanya. Sekali lagi, Luna menangkupkan seluruh wajahnya dengan kedua tangan. Lelah. "Permisi, nona, mau aku bawakan segelas teh?" Rodrigue, Sang Kepala Pelayan yang baru saja sampai bersama Isadora, menawarkan bantuan. "Ya, terima kasih," Luna tersenyum. Tetapi tetap saja tak mampu menghilangkan gelisah di raut wajahnya. Rodrigue yang telah mengenal Luna sejak gadis itu masih bayi pun merasa bersimpati. "Anda terlihat kurang sehat, nona. Apa ingin aku bawakan sesuatu lagi, nona? Makanan atau buah-buahan misalnya?" "Tidak perlu, Rodrigue. Aku hanya akan duduk istirahat sebentar," Luna mengalirkan napas panjang. "Seharusnya aku sudah terbiasa dengan ini." "Barangkali ini hanya hari yang buruk, nona, tetapi bukan hidup yang buruk," Luna menoleh kepada Isadora dan Isadora menunduk dengan segala hormat. Luna mengulum senyum manis. "Oh kau pasti temannya Rodrigue ya," serunya. Isadora mengangguk. Di dalam hati, ia kagum betapa Lady Luna menghargainya. Alih-alih berkata bahwa ia adalah pelayan baru, Luna justru mengatakan teman. "Namaku Isadora Deirde. Aku datang dari Cottonmouth, nona." "Nama yang bagus," puji Luna, tulus. "Aku Luna. Senang bertemu denganmu," Luna mengulurkan tangannya dengan sangat ramah, senyum di wajahnya tak memudar. Isadora menyambut tangan itu penuh kelembutan. Ia ikut tersenyum dan Rodrigue juga tersenyum. Sesaat, berhentilah segala kesusahan yang baru saja dialami mereka dan berganti menjadi keceriaan persahabatan. "Kalau kau ingin mencari uang, disinilah tempatnya. Tapi sayang, disini tidak ada kehidupan." seru Rodrigue, sesaat setelah ia dan Isadora sampai di dapur. Oh sebuah perjuangan yang panjang! Butuh melewati berlapis pemeriksaan untuk akhirnya tiba di dapur utama. Untunglah tadi sempat ada Lady Luna yang membuat hatinya terasa adem dan tentram. "Lord Alastairs, Lady Earlene, Prince Adrien dan Lady Luna, dan saudara-saudaranya, mereka semua hampir tidak pernah berbicara lebih dari lima menit terhadap sesamanya," sambungnya, ia sangat semangat ketika obrolan sudah menjurus ke arah gosip-gosip keluarga kerajaan. Setelah tengok kanan dan kiri dan merasa aman bahwa cctv atau alat pengintai semacam itu tidak akan mencurigai tingkahnya dan Lady Luna yang tengah berada di istana utama tidak akan mendengar obrolan ini, ia mencondongkan wajahnya ke arah Isadora dan berbicara dengan serius, "Bohong kalau media bilang mereka semua tinggal di istana utama ini. Nyatanya, hanya Lord Alastairs saja, sedangkan Lady Earlene, Prince Adrien, Lady Luna dan saudara-saudaranya tinggal di kastil pribadi mereka masing-masing. Jika tidak ada acara kenegaraan, sebetulnya mereka jarang bertemu." Langit menjelang sore di Penthalpa masih sesuram waktu subuh. Sepi menggelayut. Hanya angin dan angin yang lalu lalang di sepanjang kompleks. Aroma musim semi nyaris tak tercium, tergulung oleh mendung yang menghadirkan dingin dan kesedihan. "Aku hanya ingin bekerja saja disini," tutur Isadora, pasrah. Melihat langit murung, ia seakan melihat akhir dari masa depannya. Rodrigue menggeleng-geleng, "Beruntungnya dirimu sempat memperkenalkan diri kepada Lady Luna. Dia adalah gadis yang baik." "Iya ya, dia sangat baik," Isadora girang bukan main. Ia mengenang pertemuannya dengan Luna. Oh rambut merahnya yang alami, strawberry blond. Oh mata birunya sedalam samudera, seindah safir. Hidung mancung sempurna. Bibir tipis serwarna delima. Kulit mulus dan bersih. Garis wajah yang lembut. Luna bahkan lebih cantik dari penampakannya di koran-koran dan majalah nasional. "Jelita sekali, melebihi rembulan manapun," jelas Isadora. "Lady Luna Lavina Alegra adalah perwujudan dari kesempurnaan seorang gadis!" Ia mengulanginya sampai tiga kali, sampai Carter datang dengan lelah. Tak lama, Suzanne, Georgette, Julian, dan para pelayan lain juga sudah berkumpul untuk bersama-sama membentuk paduan suara demi menceritakan pengalaman mereka kepada Isadora. "Yah, Lady Luna Lavina Alegra, dia adalah yang terbaik," seru Carter, "Ia yang paling murah senyum dan paling tidak merepotkan kita. Sebenarnya ia hanya kurang beruntung," Carter mengingat kejadian tadi pagi dengan Adrien, "Sayang, Prince Adrien tidak terlalu menyukainya." "Kalau aku jadi ibunya, aku pasti sudah sangat menyayanginya," Rodrigue berandai-andai. Ia adalah seorang ibu dari pulau Gullviva. Ia terobsesi menjadi perempuan sejati karena dahulu orang tuanya terobsesi memiliki anak laki-laki sehingga latah memanggilnya, "Rodrigue". Ia perempuan, tapi namanya Rodrigue. Sekarang, anak semata wayangnya di Gulviva adalah seorang gadis, dan Rodrigue memanggilnya Julia. Ia berharap Julia dapat memiliki pasangan seperti Julius, sahabat terdekat Lady Luna. "Sebenarnya apa yang menimpa Lady Luna?" Isadora penasaran. Para pelayan saling berpandangan. Satu detik. Dua detik. Hanya gelengan kepala yang bereaksi. "Aku sering melihat Prince Adrien ribut dengan Lady Luna dan ia mengata-ngatai Lady Luna dengan ucapan 'anak haram', 'p*****r', 'perusak rumah tangga orang', semacam itulah. Tapi kami tidak tahu apa masalahnya." "Itu pasti rahasia yang sangat rahasia ya." Semua orang sepakat. "Iya, obrolan ini juga rahasia ya." Tiba-tiba semua jadi takut atas kerahasiaan ini dan ngeri membayangkan kalau-kalau ada intel yang menyelinap secara rahasia ke dalam obrolan rahasia mereka dan secara rahasia pula, melaporkan obrolan rahasia mereka ke Lord Alastairs. Atas pertimbangan itu, majelis akhirnya bubar. ***** Bayang-bayang senja pelan-pelan merayap menyapu bumi. Di kompleks istana, sinar melembut dan lampu-lampu dinyalakan, menghadirkan kehidupan malam yang lambat. Semua orang dibenam kelelahan. Luna telah kembali dari Kastil Frederich ke istana utama. Kali ini ia datang bersama Lady Earlene, Prince Adrien, Lady Alexandrina, Lord Frederich dan William-anak tunggal Frederich. Para prajurit, pelayan, dan petugas istana berbaris hormat kepada mereka hingga mereka sampai ke ruang utama. Patuh. Tertib. Formal. Kaku. Semua orang menjadi waspada atas sedikit tingkah yang dilakukannya, kalau-kalau hal itu memalukan atau membuat gaduh ruangan. "Benar-benar pemandangan yang luar biasa," gumam Isadora. Ia yang berasal dari keluarga miskin di ujung pulau Cottonmouth, diam-diam merasa tersanjung karena di hari pertamanya bekerja, hampir semua anggota kerajaan berkumpul. "Benar-benar cantik," bisiknya lagi saat melihat Lady Luna. Sebentuk gaun panjang menyapu lantai dengan detail elemen beads yang sewarna dengan korsase mawar merah yang menghiasi rambut Sang Lady. Harga pakaian Luna pastilah tidak sebanding dengan gajinya disini, pikir Isadora. "Ssst," Rodrigue menyuruh Isadora berhenti berbicara. "Apa kau ingin dipecat?" tegurnya. Beberapa orang yang mendengar terkikik pelan. "Letakkan lukisan itu disana," tutur Lady Earlene, dingin. Maka beberapa petugas dengan sigap memindahkan lukisan sebesar tembok itu ke tempat yang Lady Earlene perintahkan. "Letakkan piano dan biola disini," sambungnya lagi. "Apakah itu akan banyak berarti?" tanya Adrien, sangsi. "Tentu saja," Lady Earlene membalas. "Aku dengar Tuan Marshall menyukai lukisan dan biola. Lebih dari itu, ia menyukai keistimewaan. Meletakan apa yang disukainya adalah sebuah keistimewaan." "Oh apa aku terlambat? Maafkan aku ya," seru seorang gadis berambut cokelat yang tergopoh-gopoh memasuki ruang utama. Ia memberi salam dengan heboh kepada seluruh anggota kerajaan sambil terus menghamburkan kata maaf. Lady Earlene melenguh panjang. "Tenanglah, sweetheart. Dia belum datang," William menenangkan dengan manja. Gadis yang dipanggil sweetheart itu adalah Lindyana Eyleen Pearce, anak dari bangsawan Pearce. Namun orang-orang lebih akrab memanggilnya Linda. Setelah resmi bertunangan dengan William Wermelinger Alegra, Linda mulai aktif ikut serta dalam kegiatan internal kerajaan-walau kadang kala Lady Earlene dan Alexandrina protes karena gadis itu selalu membuat heboh dengan tingkah konyolnya. Sangat tidak bangsawan, demikian singkatnya Lady Earlene menyimpulkan. "Apa yang akan dia lakukan disini?" Adrien memecah keheningan. Namun semua mengangkat bahu hingga keheningan yang pecah berubah menjadi semakin hening. Salah satu pulau di selatan Great Alegra. Terkenal dengan kereligiusannya, Gulviva memiliki berbagai bangunan keagamaan, dari masjid, gereja, kuil, vihara, hingga sinagog serta makam-makam para tokoh agama berpengaruh. Oleh karena itu, Gulviva dianggap sebagai pusat spiritual nasional.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD