Bab 118 : Kejahatan Berencana

1032 Words
"Oke, baiklah," kata Adrian, akhirnya. Ia mengacungkan telunjuknya, "Tapi dengan satu catatan." "Apa?" Adrian memandang istrinya sebentar. "Aku cuma mau kamu tinggal di tempat yang terbaik disana, okay?" "Tapi-" "Aku gak mau kamu tinggal di tempat yang gak layak, sayang." Jullia terdiam. Ia bisa merasakan kasih sayang Adrian yang begitu besar dari perhatiannya ini. Ia pun tersenyum haru. "Okay," katanya, lembut. Adrian menghela napas lega. *** Hera membanting seluruh benda di kamarnya; guci, lampu, tas, lukisan, pajangan, gelas bahkan piring. "AAAAARGGGGGGHHHHHHHH!!!!!!!" Ia berteriak sejadi-jadinya. PRRANGG!!! PRAANGG!!! PRANGGG!!! Benda-benda jatuh, pecah dan berantakan. Archi masuk ke kamar, melihat semua kehancuran yang diciptakan Hera. Ia pun marah bukan main. "Apa yang kau lakukan??!!" Bentak Archi. "Kau sudah gila! Kau melempar semua barang-barang!" "Ya, aku sudah gila!" Jawab Hera. Ia berbalik mendekati Archi dengan wajah penuh air mata. "Aku sudah gila melihat kelakuan konyol mantan pacarmu itu!" "Bukan sepenuhnya salah Jullia," Archi menyela. "Jullia tidak tahu apa-apa dalam hal ini-" "OH YA TERUS SAJA KAU MEMBELANYA!!" Potong Hera. Ia menatap Archi dengan benci. "Aku yang merencanakan semua ini," Archi masih berusaha sedikit tenang. "Aku yang merencanakannya, tetapi Adrian yang berkhianat-" "Oh ya salahkan saja terus Adrian!" "OH TERUS SAJA KAU MEMBELANYA!!" Archi dan Hera saling melotot. Mereka terengah-engah mengatur napas dan amarah. Kedua tangan mereka terkepal. "Kau tidak boleh menghakimi Jullia begitu saja-" "KENAPA AKU HARUS PEDULI DENGAN p*****r ITU??!!" "KARENA AKU PEDULI DENGANNYA DAN JANGAN PERNAH KAU BILANG PEREMPUAN YANG PALING AKU CINTAI ITU p*****r, HERA!!!" "p*****r!!!" "HERA!!!!" Hampir saja Archi menampar wajah istrinya kalau saja ia tidak ingat bahwa itu bukanlah hal yang baik. Archi menghempaskan tangannya ke bawah. "AKU PEDULI DENGANNYA SIANG DAN MALAM, KAU TAHU!! DAN AKU TIDAK MAU LAGI MENDENGAR KAU BERKOMENTAR APAPUN TENTANGNYA!! PAHAM KAU??!!" "KENAPA KAU LEBIH MEMILIH DIA DARIPADA-" "KARENA AKU MENCINTAINYA!!" "CINTAILAH ORANG YANG KAU NIKAHI!!" "OH APA KAU BISA MENCINTAIKU?? SAAT AKU BERTENGKAR DENGAN ADRIAN DAN TERLUKA, KAU BUKANNYA MENEMUI SUAMIMU MALAH PERGI KE RUANGAN ADRIAN!! APA KAU PERNAH SEDIKIT SAJA MENUNJUKKAN RASA PERHATIANMU PADAKU?? APA KAU PERNAH SEDIKIT SAJA BERPIKIR BAHWA SUAMIMU INI MEMBUTUHKANMU??!! KAU SELALU MEMIKIKRAN TENTANG ADRIAN-" "KARENA KAU SELALU SAJA MEMIKIRKAN JULLIA!!!" "AKU TIDAK BERTANGGUNG JAWAB DARI SEMUA ALASAN YANG KAU BUAT-BUAT!!!" "f**k YOU!!" PLAKKK!!!! Akhirnya tamparan itu keras mendarat di pipi Hera. Dan cuih, Hera membalasnya dengan ludah yang dimuntahkannya secara kasar, tepat mengenai pipi Archi. Hampir saja keduanya terlibat dalam pertengkaran yang lebih hebat lagi kalau saja seorang pelayan tidak mengetuk pintu kamar mereka. "Permisi, Tuan. Hanya mengingatkan bahwa makan malam sudah tersedia," kata pelayan itu, dengan segala rasa hormat. Archi tak mengindahkan, pun tak menjawab perkataan pelayannya. Pandangannya masih nyalang tertuju kepada istrinya yang juga masih memandanginya penuh kebencian. "Sekali saja kau berani menyakiti Jullia, maka kau akan berurusan denganku," ancam Archi sambil mengacungkan telunjuknya. "Oh ya dan aku akan membongkar skandal busukmu ke hadapan publik! Puas kau??" BRAKKK!!! Archi membanting pintu. Ia tak mau lagi terlibat dalam perkelahian yang makin panjang. Jadi ia memilih pergi, menuruni tangga, dan keluar entah kemana. Hera masih terdiam di dalam kamar. Pandangannya beredar melihat sekelilingnya yang hancur pecah belah ia banting dan rusak. "Tak ada yang peduli padaku," kata Hera di dalam hatinya. "Tak ada yang mencintaiku..." Tangisnya berderai-derai. "Tak ada yang menginginkanku... tak ada yang mau berdiri disampingku... menemaniku... tak ada hiks... hiks... hiks... tak ada siapapun..." Hera jatuh tersungkur, lemah di lantai. "Tak ada hiks... hiks... tak ada siapapun yang ingin bersamaku hiks... hiks... tak ada yang peduli padaku hiks... hiks... hiks... Argh! Argh! AAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!!!!" Teriakan itu menggema di ruangan bagai ledakan amarah. *** "Ah, ini sangat kacau," curhat Lady Novina di taman istananya. Bersama Lady Claudia dan Marigold, mereka menghabiskan malam itu dengan mencoba mencari solusi atas permasalahan yang terjadi tadi siang. "Archi baru saja pergi, katanya pelayan," seru Lady Claudia. "Ia bertengkar hebat dengan Hera," lanjutnya. "Ah, tentu saja mereka akan bertengkar hebat." Lady Novina menuangkan sepoci teh ke dalam gelasnya sendiri, lalu meminumnya. "Archi yang membuat masalah. Mengapa ia harus susah payah mencarikan jodoh bagi si perempuan jalang itu huh? Dan mengapa jodohnya harus Adrian? Benar-benar tidak bisa dipercaya." "Yang paling tidak bisa dipercaya adalah kenyataan bahwa mereka sama-sama menyukai perempuan itu," sembur Marigold. Ia tak bisa menahan kekesalannya sendiri. Bagi dirinya, Jullia hanyalah perempuan biasa-biasa saja. Apa pula istimewanya? Kenapa dua pangeran Rotsfeller sampai harus memperebutkannya? Berkali-kali ia menggelengkan kepala, tak habis pikir. "Oh media akan menjadikan ini headline news," seru Lady Claudia, khawatir. "Ini sudah terpampang di headline news," Lady Novina menimpali. "Setelah ini, mereka pasti akan sangat menyorot biduk rumah tangga Hera dan Archi, juga mengorek lebih dalam tentang Jullia dan Adrian." "Itulah yang aku takutkan." Lady Claudia memijat keningnya. Sebagai ibunda dari Archi, ia sudah susah payah menyembunyikan kasus Jullia dari hadapan publik. Ia sudah susah payah memberikan kompensasi kepada keluarga Baldwin. Ia pikir masalahnya sudah selesai sampai disitu, tanpa ia tahu bahwa anaknya telah mencuri skenarionya sendiri. Ia menjalankan alur cerita yang berbeda, dan sekarang beginilah keadaannya. "Oh apa yang harus kita lakukan? Apa solusi dari semua masalah ini?" Lady Claudia melenguh panjang. "Membunuh Jullia," jawab Lady Novina. Lady Claudia dan Marigold tersentak. "Akar dari semua masalah ini adalah Jullia. Karena Archi masih mencintai Jullia, maka pernikahannya pun tak berjalan dengan baik. Dan karena Adrian juga mencintai Jullia, maka perjodohannya dengan Marigold pun akan terkendala. Daripada menyelamatkan rumah tangganya, Archi malah sibuk mengurus urusan Jullia. Dan daripada fokus ke masa depannya, Adrian juga malah fokus mengurusi Jullia. Sampai sini, kalian paham siapa biang masalahnya?" "Jullia," jawab Lady Claudia dan Marigold bersamaan. "Yup. Perempuan kampungan yang hamil diluar nikah itulah masalahnya," timpal Lady Novina. "Dan karenanya, ia menjadi bagian dari daftar orang yang harus dibunuh." Hening. Sepanjang sejarahnya, keturunan Rotsfeller memang suka sekali membunuh. Mereka adalah keturunan yang ambisius, yang tidak segan-segan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan mereka. Nyawa bukanlah sesuatu yang penting bagi mereka. Hanya nyawa Rotsfeller yang berharga, selebihnya nol belaka. Jadi, ketika Lady Novina berbicara tentang rencana pembunuhan, sebenarnya itu bukanlah hal yang mengejutkan. Mereka terbiasa membunuh. Mereka merasa benar dengan pembunuhan itu. Sebab mereka merasa bahwa mereka adalah keturunan yang unggul dan semua orang selain mereka harus tunduk dibawah kaki mereka. Rotsfeller. Ikuti permainan mereka... atau mati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD