Bab 227 : "Mihlail."

1959 Words
Malam telah begitu gelap dan Salem Henokh yang baru saja meniup lilin-lilin terakhir sisa kelas paduan suara, tengah bersiap untuk menenggak sebotol sirup calmpose supaya dirinya bisa terlelap tanpa bermimpi. Akhir-akhir ini ia selalu bermimpi buruk dan jadwal tidurnya menjadi terganggu. Ia menjadi ngeri bahwa ketika ia tidur dan bermimpi, ia justru terjebak dalam mimpi itu hingga tidak bisa bangun kembali. Ketakutannya sangat parah sehingga ia butuh obat untuk menidurkan ketakutannya atau ia bisa gila karena tidak berani tidur selama berhari-hari. Saat itulah Mihlail datang. Ia berjalan menuju altar dan berdoa dengan sangat hikmat. Salem Henokh melihat kedatangan bocah itu lalu memutuskan untuk menunda acara minumnya. Ia duduk membelakangi Mihlail, mengamati dari belakang punggung, sosok sendirian nan rapuh dihadapan kuasa Tuhan. "Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Mihlail?" Salem Henokh memulai percakapan. Ia mengelus punggung anak kecil itu. "Tidak ada, Salem," kata Mihlail tanpa menoleh. "Aku hanya ingin berdoa." "Bukankah sudah waktunya kau tidur?" Angin menderu menarikan tirai-tirai vinil di jendela, menjadikan Kapelarium dengan bangku-bangku panjangnya yang kosong seperti suatu tempat di kesunyian. Salem Henokh mengulangi lagi pertanyaannya. "Yah, Salem," Mihlail membuka suara. "Aku akan disini sebentar lagi." Maka Salem Henokh duduk di belakang meja panjang. Ia memperhatikan Mihlail kalau-kalau ada sesuatu yang membuatnya tak bisa tidur. Sekian lama berlalu, akhirnya Mihlail menangkupkan wajahnya menyelesaikan doa. "Salem..." seru Mihlail sembari menoleh. "Aku ingat semua detil dari apa yang aku dengar, ucap, lihat, rasa dan sentuh selama ini." Ia berhenti sejenak. "Tapi mengapa aku tidak dapat mengingat kedua orang tuaku, Salem? Mengapa aku bahkan tak pernah bertemu dengan mereka?" "Aku tidak tahu siapa diriku," jelasnya lagi, parau. Salem Henokh tercengang. Mulutnya bergetar ingin mengutarakan sesuatu, namun hanya embusan angin yang terdengar. Ia bangkit menyentuh punggung Mihlail yang tegang. Dengan tersenyum bijak ia menasihati Mihlail bahwa itulah kuasa Tuhan. Anugerah besar Sang Pencipta. Tidak ada yang tahu mengapa dan kenapa. Tapi segala sesuatu yang dikehendaki-Nya tentu memiliki alasan dan tujuan yang baik. "Terima kasih, Salem," ungkap Mihlail, sepasang matanya berkaca-kaca, bibirnya terkatup rapat, keras. "Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, Mihlail?" Salem Henokh memastikan, ia menegaskan suara di tiap kata-katanya. Tapi dengan nada suara yang dingin Mihlail menjawab tidak ada. "Salve me ab ora leonis," Salem Henokh menutup hari dengan doa. Dengan demikian, anak itu izin pamit. Salem Henokh juga berjalan ke kamarnya. Tetapi ketika ia sampai di depan pintu, ia berhenti sejenak. Lalu ia memanggil semua para The Great Salem untuk berkumpul di ruang The Great Salem. Pintu dikunci rapat. Tirai jendela ditutup. Mereka mulai melakukan pembicaraan yang serius. ***** Mihlail disambut gerangan si kucing Turki yang melompat ke arahnya secara tiba-tiba saat ia baru saja membuka pintu. Sontak Mihlail spontan mundur. Pintu terbanting. "Romeo!" pekik Mikhael, seakan marah oleh suatu kelancangan. Ia buru-buru bergerak mendekati Mihlail, "Aku melihat sekelibat bayangan gelap tadi." "Apa?" Mihlail tak mengerti. "Romeo melihatnya pertama kali," Mikhael berbicara serius. "Lalu aku juga melihatnya. Dia datang lewat jendela." Mihlail membuka jendela, tapi tidak menemukan bahaya apapun selain angin. Untuk memastikan, matanya lurus ke bawah, lurus ke atas, ke samping kanan, ke samping kiri, namun hanya ada kosong. "Aku bersumpah demi Tuhan! Aku tidak akan memaafkanmu kalau kau macam-macam padaku!" hardik Mikhael. "Selama aku tinggal disini tidak pernah ada hal aneh yang terjadi. Sekarang, baru tiga hari kau bermalam disini, jantungku sudah dibikin mau copot rasanya." "Apa-apaan kau ini?" Mihlail menyela. "Aku baru saja sampai disini, aku tidak tahu apa-apa, aku bahkan tidak tahu apa yang kau maksud!" "Terus saja membela dirimu!" "Tapi aku memang tidak tahu!" Pintu diketuk. Seorang perempuan muda berambut gelap datang, "Salem Henokh memanggilmu Mihlail," seru Atalya. Mikhael tersenyum sinis. Ia memberi nasehat kepada Mihlail untuk berhati-hati dengan perbuatannya. Mihlail tersinggung dan menepis semua anggapan Mikhael. Ia justru kini merasa pemuda itu telah melaporkan ketakutan tak bergunanya kepada Salem Henokh. "Halo, bisakah kalian tidak ribut dahulu?" Atalya melerai. "Mihlail, Salem Henokh menunggumu di ruangannya." Mihlail mengangguk. Dalam sekejap, ia dan sang pengasih muda itu hilang dibalik pintu. ***** Salem Henokh menyiratkan wajah yang hangat begitu Mihlail duduk di hadapannya. Waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam saat itu. Salem Henokh menyuguhkan Mihlail secangkir kopi dan sekaleng biskuit karena ia memperkirakan bahwa malam ini akan berlangsung dengan obrolan panjang. Ia juga bercerita bahwa ia telah menunda meminum sirup calmpose dan menambah rasa sakit akibat insomnianya demi perbincangan yang segera berkumandang ini. Ia berharap Mihlail tidak keberatan. Pemuda itu hanya mengangkat bahu. "Berapa usiamu sekarang, Mihlail?" Salem Henokh bertanya, serius. "Dua belas lebih, mungkin." "Hmmm," Pria tua itu mengelus-elus janggutnya dan Mihlail mulai teringat bahwa sebentar lagi adalah ulang tahunnya yang ketujuh belas. "Kau diketahui mulai bisa mengingat sejak usiamu empat puluh hari, bukan?" "Ya," Mihlail membuang pandangannya ke arah lain, seakan mengumpulkan sesuatu untuk berbicara. "Tapi aku masih tidak yakin atas apa yang aku ingat pertama kali." Untuk pertama kali, sesaat rasanya seperti terbangun dari mimpi panjang. Pertama yang ia ingat adalah senyuman seorang pria, namun ia tidak tahu bibir milik siapa yang seakan-akan menggambarkan ketulusan. Namun itu tidak berlangsung lama, orang-orang berebut muncul di bola matanya dan dunia menjadi ribut-ribut oleh segala keributan yang belum ia mengerti selain satu hal: Ia belum pernah melihat kedua orang tuanya. "Kau tahu bahwa kau telah tinggal disini sejak kau diketahui mampu mengingat dan pada saat yang sama, semua koran-koran memberitakanmu," Salem Henokh menirukan kata-kata di surat kabar, "Gempar! Ada anak yang tidak dapat lupa! Ditemukan anak jenius! Anak ajaib! Luar biasa, dia dapat mengingat segala hal yang ditangkap panca inderanya! Tuhan selalu bersamanya." Mihlail tak terkesan, "Mengapa kau memanggilku, Salem?" "Untuk menjawab pertanyaanmu tadi di altar," balas Salem Henokh. Ia menyeruput tehnya. Dari belakang cangkir yang menutupi hidungnya, ia melihat keterkejutan Mihlail. "Aku sudah berpikir barangkali ada baiknya kau mengetahui kebenarannya." Sunyi sejenak. "Kau kehilangan empat puluh hari dari ingatan hidupmu," kata Salem Henokh, nadanya melembut. "Meskipun nantinya kau akan hidup lima puluh tahun ke depan dengan semua ingatan tercerdasmu, kau tidak pernah akan bisa menjadi utuh tanpa hari-hari itu. Hatimu akan selalu dipenuhi tanda tanya." Sepasang mata Mihlail menegang. "Aku tidak mengerti, Salem." Salem Henokh menatapnya sedih. Keningnya berkerinyut, tanda bahwa ia tengah berpikir keras. Pikiran dan kesedihannya bercampur menjadi satu dan bingung ketika harus memutuskan kata apa yang harus keluar duluan dari mulutnya. "Banyak kejadian terjadi selama empat puluh hari itu." Salem Henokh berdecak. Tatapannya kepada Mihlail menandakan bahwa murid di hadapannya adalah masalah yang sangat istimewa. "Ini adalah kisah yang menyedihkan yang telah disembunyikan para The Great Salem di seluruh penjuru Populo Dei selama bertahun-tahun." Tidak ada sahutan. Bibir Mihlail terkatup rapat. Air mukanya keras. Kitab Kosmos Salem Henokh tidak terlalu ingat kapan tepatnya Mihlail lahir, apakah itu saat hari Jupiter atau hari Venus, apakah itu bulan Lilith atau bulan Sextanus, rasanya otaknya sudah terlalu lua untuk mengingat berbagai detil. Tapi ia tahu satu hal; bahwa tahun dimana Mihlail lahir adalah tahun genap, 6000. Tahun 6000 adalah tahun yang cukup mempunyai banyak kejutan, bukan hanya tentang kelahiran Mihlail, namun juga tentang meningkatnya ketegangan antara Old Sammur dan Populo Dei serta usaha Tabliq Suci untuk menghancurkan Tembok Filemon. Tahun ini disebut-sebut sebagai tahun dimana perang mematikan hampir terjadi. Tahun dimana "Detak Jantung" setiap umat manusia di kerajaan Populo Dei dan Old Sammur sama-sama berdetak keras. Semuanya berawal dari kisah Izebel dan Hezron Gideon. ***** "Aku Hezron Gideon," kata pria bermata biru itu, untuk kesekian kali dalam beberapa menit. Izebel yang tengah bersedih, menghiraukan si pria pengungsi dari Old Sammur itu. Salem Salem Eliezer memberi isyarat kepada Hezron untuk memaklumi emosi gadis kecil berambut secantik madu ini. Hezron Gideon hanya mengalirkan nafas kecewa. Pada detik-detik pertama, ketika Raja Arphakshad menutup Populo Dei dengan tembok filemon, datanglah sekelompok orang yang melarikan diri dari kerajaan asalnya untuk kemudian menetap dan membaur bersama masyarakat di kerajaan baru. Awalnya mereka berangkat dari kawanan makhluk di Langit Bawah, kemudian ketika Langit Bawah diblokade, mereka pecah menjadi dua arah, satu ke De Shoshi dan satu ke Old Sammur. Tapi tak lama Old Sammur juga memblokade De Shoshi, maka kelompok ini pun bersatu untuk bersama-sama pindah ke Populo Dei. Kepindahan mereka dicium baik oleh Raja Arphakshad ke-13, yang memang menghendaki mereka untuk pergi. Maka, sebelum Populo Dei dikurung dalam tembok besi itu, atas perintah Raja Arphakshad, para Gamaliel mengumpulkan orang-orang tersebut dan pada saat yang tepat mereka dikepung bersama Tabliq Suci. Mereka inilah yang seiring berjalannya waktu dikenal dengan julukan "Para Pengungsi". Para Pengungsi yang datang ke Populo Dei datang dengan berbagai macam latar belakang dan identitas. Ada yang berdarah iblis dan penyihir, berdarah De Shoshi, dan juga berdarah Old Sammur. Mereka datang dengan pakaian kebesarannya masing-masing. Ada yang memakai jubah panjang berkerudung hitam yang tebal dengan riasan serba gotik yang membuat mereka lekat dengan kekerasan dan kegelapan, ada yang memakai gaun lebar dengan topi berpinggir lebar serta riasan klasik dan tata rambut kuno yang membuat mereka tampak seperti manusia boneka dari negeri dongeng, dan ada juga yang memakai pakaian serba rapi; tuksedo ataupun jas kantor yang elegan. Hezron Gideon, sebagaimana darah Old Sammur yang diwariskan dari keturunannya, datang dengan jas rapi. Ia duduk di kursi roda sambil memperhatikan sekitar. Ia tahu tidak banyak para Elite yang memutuskan pergi dari kemegahan Old Sammur seperti dirinya. Dari ribuan pengungsi itu, kira-kira hanya dua puluh yang berasal dari keturunan Old Sammur. Itu pun mereka adalah kumpulan manusia yang memang tidak dikehendaki lagi hidup di Old Sammur, seperti mereka yang terkena penyakit mematikan, cacat permanen, atau hanya sekedar kelainan mental. Raja Arphakshad benar-benar menerapkan pembersihan total karena ia menginginkan Old Sammur sebagai kerajaan yang luar biasa sempurna sehingga unsur-unsur pengganggu yang akan melukai kemulusan dari wajah Old Sammur harus dibasmi, atau setidaknya disingkirkan. Maka disinilah mereka semua. Tabliq Suci saling mencuri pandang kepada para pengungsi. Ada yang menatap penuh curiga, ada yang menduga-menduga dengan segala pikiran negatif, dan ada yang sudah berancang-ancang untuk menghardiknya. Tetapi kemudian Para The Great Salem memerintahkan Tabliq Suci untuk senantiasa meredam emosi, bahwa para pengungsi juga korban, dan sudah seharusnya sebagai sesama makhluk kita wajib saling membantu. Maka suasana sedikit mencair. Tensi ketegangan menurun. "Aku turut berduka atas kepergian ibumu," ujar Hezron, sepasang mata birunya berkilauan. Izebel melihat kepada pemuda itu dan meskipun Salem Salem Eliezer telah mengatakan bahwa para pengungsi bukan bagian dari kawanan kejahatan yang telah memblokade mereka, perasaannya masih tidak tenang. "Kau suka permen?" Hezron bertanya. "Aku punya beberapa permen," Ia mengeluarkan sejumlah permen dari kantong jasnya. "Satu-satunya hal yang aku bawa dari Old Sammur." Tapi Izebel tidak menerima permen itu, juga tidak mengatakan apa-apa. Dengan satu tatapan, ia meminta Salem Salem Eliezer untuk membawanya kembali ke rumah karena rasa sedih ingin ia tuntaskan sendirian saja di gubuk reotnya. "Sayang sekali," Hezron agak kecewa. ***** Selama beberapa minggu, para pengungsi hidup di sekitar barak-barak di dekat tempat pertama kali mereka masuk ke Populo Dei, suatu tempat di dalam kelebatan hutan Rhododendron. Perlu waktu bagi mereka untuk meluluhkan Tabliq Suci yang masih menjaga jarak karena belum percaya mereka tidak akan sejahat kaum Elite, pun mereka tidak satu iman dengan Tabliq Suci. Bentrokan-bentrokan ini silih berganti hingga akhirnya sidang istimewa diadakan. Para The Great Salem kemudian memutuskan untuk memberi mereka kesempatan tinggal dan hidup, dengan syarat mereka harus mematuhi semua hukum di Populo Dei, termasuk mengikuti keyakinan Tabliq Suci. Maka dibangunlah Kapelarium baru di tengah-tengah hutan Rhododendron, Kapelarium Rhododendron. Beberapa tahun kemudian, Kapelarium ini berganti nama menjadi Kapelarium Bazarjamher. Kepala Kapelarium ini adalah seorang pria paruh baya berperawakan sedang dengan kulit kuning langsat dan hidung kecil, Anthony. Ia adalah keturunan De Shoshi dari garis keturunan kelas petani. Dibawah kepemimpinannya, Kapelarium ini berkembang menjadi Kapelarium yang disegani di Populo Dei dan para pengungsi pun lambat laun mulai membaur menjadi bagian dari masyarakat Tabliq Suci. Bangsa Polumor di De Shoshi sangat menjunjung garis keturunan sehingga batas-batas identitas mereka ditentukan oleh riwayat keturunan yang dibagi atas beberapa kelas: Kelas petani, kelas pekebun, kelas peternak, kelas pengrajin, kelas penyair, kelas akademika, kelas bangsawan, dll.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD