Prolog

2256 Words
"Tunangan?" Iksan mengepalkan satu tangannya dibawah meja tinggi di depannya, sementara tangan yang satunya menggenggam gelas kertas berisi kopi dingin sambil memandang ke arah Ririn, untung saja gelas rapuh itu tidak ikut remuk dibuatnya. Ini bukan berita yang mengagetkan sebenarnya, dia sudah mendengar desas desus ini dari Owka, kakak Ririn, dan itu sudah beberapa waktu yang lalu, tapi ketika Ririn mengucapkan langsung padanya, kok efeknya terasa beda ... hatinya terasa nyess ... melorot dari tempatnya. Mungkin inilah akibat dari cinta sepihak, yang dirugikan ya yang mencintai, sementara itu yang dicintai bebas mau melakukan apa saja, ini sungguh tidak fair. "Sudah yakin banget sama Alvin?" tanya Iksan pelan. Ririn mengangguk sambil tersenyum, dia mengambil cangkirnya dari atas meja. "Alvin memang baik sih," ucap Iksan lagi. Rela tidak rela dia mengucapkan ini, Iksan seolah - olah sedang menyanjung saingannya sendiri dan mengucapkan selamat atas keberhasilannya. Kenyataannya sepanjang dia mengenal Alvin beberapa tahun belakangan ini, memang Alvin selalu baik kepadanya ... apalagi mereka beberapa kali bertemu di acara keluarga Ririn, malah pernah Iksan ikut di acara liburan mereka, Alvin cukup welcome dan mengenal Iksan sebagai sahabat kakaknya Ririn yang juga akan menjadi kakak iparnya kelak. Dulu, sempat Alvin mengira Iksan adalah sepupu Ririn... apalagi Ririn memperlakukan Iksan seperti kakaknya sendiri tapi sayangnya Iksan tidak mau menganggap Ririn sebagai adik sendiri. Ah .. itu saja sudah beda. "Iya, apalagi pekerjaan kami kan satu bidang ... jadi sudah saling tahu kesibukan masing - masing dan kalo berumah tangga nanti kan jadi mudah membagi jadwalnya." Iksan menipiskan bibirnya. Kok semakin ditanya hatinya semakin perih rasanya mendengar jawaban Ririn, edan! "Tapi rencananya masih dua bulan lagi kok Mas, abis mas Kana pesta yang di Jakarta dulu. Mas Iksan jangan sampe nggak datang ya, aku ngambeg lho nanti," ancam Ririn lalu menyesap kopi hangat dari cangkir warna sage. Kamu tahu nggak sih Rin ... ini sakit lho rasanya sampe ke sumsum tulang, tapi aku juga nggak mau sampe kamu ngambeg. "Memangnya kalo aku nggak datang, pertunangan kamu batal gitu? Kan nggak," ucap Iksan yang masih berusaha tersenyum walau itu palsu. "Ya nggak, tapi masa mas Iksan nggak datang? kan ini masih lama, request libur dooong," rengek Ririn." Aa' sama Papa kalo ada keperluan bisa minta libur kayaknya," tambah Ririn lagi. Dia mengundang Iksan persis seperti mengajak Iksan untuk datang ke pesta ulang tahunnya saja, benar - benar tanpa beban. Tanpa Ririn sadari, itu sangat menyakitkan buat Iksan. "Ya bisa sih," jawab Iksan terlihat tanpa minat. "Tanggal berapa memangnya?" lanjutnya lagi. "Belum fix sih tanggalnya, nanti aku tanya mama dulu ya." Iksan tidak menanggapi, dia memilih meminum kopinya yang mulai terasa hambar. Inginnya Iksan tidak hadir di acara pertunangan Ririn, tapi yang paling diinginkan Iksan sebenarnya adalah, yang bertunangan dengan Ririn itu bukan Alvin tapi dia, boleh nggak sih? Mereka ini sedang menghabiskan waktu berdua di sebuah Cafe rumahan masih di area kebayoran Baru yang tidak terlalu ramai karena Ririn memang ingin duduk santai di tempat sepi. Tadi menjelang sore Ririn menelpon dan meminta Iksan untuk menjemputnya di rumah. Ririn sudah tahu jadwal Iksan mendarat di Jakarta siang tadi, semalam kan mereka berkirim pesan via wa saat Iksan lagi di Surabaya. Kebetulan Ririn tadi lagi gabut karena jadwalnya sedang kosong dan sedang tidak ada orang juga di rumah, seperti biasa ... Iksan adalah andalan penangkal kesepian Ririn. "Kamu besok jalan jam berapa Rin?" "Biasalah pagi, mas Iksan terbang jam berapa?" Ririn balik bertanya. "Jemputan jam dua." "Itu yang schedule tiga hari ke Perth itu ya?" Iksan menjawab dengan anggukan. "Kamu mau titip apa Rin?" "Nggak nitip apa - apa, ini serius lho ya, aku nggak nitip apa - apa dan jangan iseng beliin aku oleh - oleh, nanti aku marah nih," ancam Ririn. Iksan itu memang susah dibilangin, berkali - kali dia bertanya ke Ririn dan berkali - kali juga Ririn menolak dibawakan oleh - oleh, tapi tetap saja pada akhirnya Iksan selalu membawakan oleh - oleh kalau dia pulang terbang dari luar negri. Mungkin terlalu lama dekat, sampai - sampai Iksan saja tahu skincare dan bodycare Ririn, itu gara - gara dia pernah menemani Ririn belanja di Korea, dan pernah juga suatu waktu belanja di Singapore. Jadi kalau Iksan terbang ke kedua negara tersebut, pasti skincare yang sama selalu dibelikan Iksan tanpa Ririn minta. Kalau ke Perth, Iksan paling tidak membawakan Ririn coklat ataupun vitamin produksi Australia. Iksan hanya terkekeh mendengar ancaman Ririn, sudah biasa dia begitu, nanti juga kalau sudah dibawakan pasti dia tetap menerima walau pakai ngomel - ngomel dulu. Dan biasanya Iksan hanya mengirim via Ojol ke Kebayoran supaya ngomel - ngomelnya Ririn tidak langsung didengarnya.. "Jangan ketawa aja mas, aku serius!" "Iyaa .. kenapa sih kamu marah - marah aja, pms ya?" "Iya nih, kepalaku agak sakit dari tadi ... suntuk juga bawaannya," keluh Ririn. "Kamu lagi pengen makan yang pedes - pedes nggak?" "Iya yuk mas ... makan seafood saos padang enak nih," usul Ririn sambil membayangkan rasa pedas yang dia inginkan sekarang ini. "Mau cari di blok M? Atau mau makanan Korea di Santa?" tawar Iksan dengan suara lembut. "Kita cari di blok M aja kalo gitu, banyak pilihan kan?" "Banyak, tapi nanti kamu dilihatin orang nggak apa - apa?" "Eh iya juga, aku lagi nggak mood banget," jawab Ririn dengan wajah sedikit cemberut mirip suasana hatinya akibat pms. "Ya udah, kalo gitu kita cari resto dekat sini aja ya ... lebih privat," usul Iksan untuk kenyamanan Ririn. "Ya udah terserah mas Iksan aja." Mereka berdiri, Iksan menuju kasir untuk membayar minuman dan camilan mereka tadi selama satu jam disini. Ririn membuka pintu mobil Mercy Iksan, mobil yang dibeli Iksan setelah dia setahun dirilis menjadi Captain Pilot, bersamaan dengan Owka. "Mas Iksan sudah lama nggak ketemu aa'?" tanya Ririn sambil memasang seatbelt-nya. "Tadi pagi ketemu di Juanda, dia baru datang, aku baru mau terbang. Tapi cuma sebentar," jawab Iksan sambil menghidupkan mesin mobil. "Jadi aa' sekarang di Surabaya dong?" "Iya." Mobil mulai meninggalkan parkiran pinggir jalan di depan cafe tersebut. "Tante Priska lagi kemana memangnya Rin?" "Lagi pergi sama Papa, sama uncle Di, mungkin Budhe wendy juga ... nggak tahu kemana, biasalah mereka banyak banget urusannya." Tiba - tiba telepon Ririn berbunyi. "Alvin," ucapnya singkat dan itu saja sudah membuat Iksan jadi bad mood. "Halo ya mas," jawab Ririn. Ririn tidak punya panggilan khusus ke Alvin, seingatnya saja, kadang Mas, kadang hanya Vin - Vin saja. "Hmm ... aku lagi di dekat rumah sama mas Iksan, kamu di mana?" "Di rumah? O yaudah aku pulang sekarang." Tanpa menunggu perintah Ririn, Iksan langsung mengarahkan kendaraannya ke arah kediaman keluarga Pratomo. Iksan tidak budeg, dia dengar waktu Ririn bilang mau pulang sekarang. Iksan tahu diri. Sesampainya di rumah Ririn, terlihat mobil Alvin sudah ada di depan rumah berpagar hitam milik keluarga Narendra itu. "Aku langsung pulang aja ya Rin." "Nggak boleh ih, mas Iksan turun dulu." "Lho kan ada Alvin, aku nggak enak ... ntar ganggu lagi." "Nggak ganggu, dia cuma sebentar kok, aku nggak janjian pergi sama dia, cuma mau nganter sepatu aku doang." "Ckk ... tanya dulu, siapa tahu dia mau ngajak kamu pergi, aku bener - bener nggak enak." Mobil Iksan parkir di belakang mobil Alvin. Alvin pria metroseksual yang selalu menjaga penampilannya itu turun dari mobilnya melalui pintu penumpang belakang, Iksan pun jadi tidak enak, mau tidak mau dia ikut turun ... setidaknya dia akan menyapa Alvin dulu. "Hei Vin ..." "Eh Captain Iksan, long time no see ... lagi nggak terbang nih?" sapa Alvin ramah. "Baru pulang tadi siang," jawab Iksan lalu bersalaman dengan Alvin lalu dengan teman - teman yang datang bersamanya. Alvin datang bersama Andi, sahabatnya sekaligus manager pribadinya dan Acel, asistennya. Mereka baru pulang dari Bogor ada acara panggung musik di sana yang disponsori salah satu produk minuman energi. "Kalian mau pergi kan, saya pulang dulu ya," pamit Iksan, dia mengabaikan larangan Ririn tadi. "Iya, mau cari makan dulu, bareng aja yuk mas," ajak Alvin ramah. "Kita tadi udah ngafe, kalian lanjut deh..." tolak Iksan. "Ayo lah mas, besok terbang siang juga kan?" giliran Ririn yang mengajak. "Next time ya Rin, hari ini nggak dulu," jawab Iksan sambil tersenyum. Setelah menyalami semua, dia pun menuju mobilnya. "Rin ... salam buat tante Priska." "Males!" rajuk Ririn dan hanya membuat Iksan terkekeh sambil menggelengkan kepala, tapi dia tetap pergi juga. **** Iksan menyusuri perjalanan dari Kebayoran Baru ke Tebet rumah orang tuanya dengan perasaan nelangsa. Kemacetan yang selalu ada di sore hari tidak dirasakan oleh Iksan, biasanya dia suka mengeluh juga kalau macet begini. Ntah kenapa harinya ini benar - benar mix feeling, tadi dia senang ketika menjemput Ririn, lalu terhempas dengan kabar tunangan, sempat membaik sebentar dan bad mood lagi ketika melihat Ririn akan pergi sama Alvin, padahal Iksan sudah biasa melihat Ririn pergi sama Alvin, kenapa baru sekarang kesalnya malah bertambah? Apa mungkin efek dari berita tunangan tadi ya? Padahal Ririn pergi sama pacarnya sendiri! Owka sudah seringkali bicara dengan Iksan soal adiknya itu, mulai dari bicara baik-baik sampai level mengejeknya tapi Iksan tetap santai menanggapinya sampai-sampai Owka kesal sendiri dengan sahabatnya itu, kata Owka Iksan keras kepala! Owka bukannya tidak setuju Iksan mendekati Ririn, dia sempat ingin menjadi mak comblang malah, itu dilakukan sangking dia inginnya Iksan menjadi adik iparnya, tapi Ririn tetap kekeuh sama Alvin, Owka tidak bisa ikut campur lebih jauh dan kini malah menyuruh Iksan menjauhi Ririn. Owka tidak mau sahabatnya menjadi tua sendirian karena menunggu Ririn, lagi -lagi Iksan tetap mengabaikan saran Owka, dan baru sekarang dia mulai merasakan akibatnya. Iksan tiba di rumahnya pukul setengah tujuh malam. Papa dan Mamanya ada di rumah, Iksan menandai dengan mobil papa dan mamanya sudah ada di garasi. Tadi waktu Iksan pergi, kedua orang tuanya sedang tidak ada di rumah, pergi dengan urusan masing - masing, satu di kantor yang satu lagi arisan. "Papa sudah pulang dari tadi Li?" tanya Iksan pada Ali, supir papanya. "Baru kok mas, belum ada setengah jam." "Oowh." "Mobil mau sekalian dibersihkan nggak mas?"tanya Ali yang sedang membersihkan mobil bosnya, setiap pulang dari kantor dia akan langsung membersihkan mobil. "Nggak usah, nggak kotor kok," jawab Iksan. Iksan langsung masuk ke dalam rumah, dia bertemu dengan papa dan mamanya yang sedang makan malam bersama. "Eh so pulang ngana San, bukannya ngana pigi deng Ririn, kiapa capat skali?" tanya mama Iksan yang berdarah manado dan sudah banyak terkontaminasi bahasa orang - orang Jakarta sebenarnya, tapi kalau dia sudah berbahasa daerah begini, berarti mama Iksan ini baru pulang arisan sesama orang Manado. "Ririn mau pergi sama pacarnya," jawab Iksan tanpa menyebutkan bahwa dia juga diajak. "Masih jalan sama Ririn?" tanya Papa Iksan. "Masih sekali - sekali." "Kamu kayak berkutat di satu wanita aja, sudah bertahun - tahun masih Ririn - Ririn aja, kapan kamu menikah kalo gitu?" "Kiapa Papa ini? Biar jo dia dekat - dekat deng Ririn, mana tahu nanti Ririn ada hati sama torang pe anak," sahut mama Rosa julid. "Ririn mau tunangan Ma, mungkin satu dua bulan lagi." Ucapan Iksan sukses membuat mama Rosa, mamanya Iksan terdiam dan melirik ke arah suaminya. "Kan, ujungnya akan begini? Bagus deh Ririn tunangan, setidaknya itu bisa bikin kamu sadar. Pangkat udah tinggi, wajah nggak jelek, penampilan kurang Manado apa kamu? Masa nggak bisa dapat cewek cantik yang lain?" tanya papa Bimo setengah mengejek anaknya yang memang lebih banyak mengikuti gaya mamanya, pantang lusuh alias ingin keren terus. "Serius ngana San?" tanya Mama Rosa mengabaikan ejekan suaminya barusan. "Iya Ma, tadi Ririn sendiri yang ngomong sama aku." "Nyanda bisa ngana kasih tikung sadiki si Ririn,San? Percuma jo ngana ada Ordal ... masa kalah deng artis rupa Alvin itu? Ngana kang lebih mirip deng Oppa - Oppa Korea noh, cuma ngana bukang artis." "Dia keturunan Papa banget Ma, ... lebih senang pake jalur prestasi, bukan jalur Ordal," sahut Papa Iksan dengan senyum kemenangan. "Owka udah nyuruh aku udahan aja, udah lama dia nyuruh aku nggak usah dekat - dekat Ririn lagi, akunya aja yang nggak bisa." "Oooh memang ngana Papa pe anak skali San, ... nyanda bisa jauh - jauh dari Maitua," lirik mama Rosa ke suaminya yang sedang terkekeh. "Sekarang keputusan ada di kamu, kalo memang sudah tidak ada harapan, ngapain maksa ... sesuatu yang dipaksa akan buruk akhirnya. Lagian sudah berapa lama kamu begini ... nggak pernah ada nama lain yang Papa dengar, Ririn dan Ririn aja. Kalo Papa nih San ... kalo dulu Mama kamu jual mahal, sudah Papa tinggal kawin sama yang lain." "Eh ... mana ada kita jual mahal deng Papa, apa kotek orang sekarang bilang, posesif? Ngana pe Papa ini posesif sekali San, mana bisa mama bakudapa deng laki - laki laeng, so di ika mama pe kaki," sahut mama Rosa judes sekali. "Habisnya kamu kalo nggak diikat bisa kabur kemana - mana, ngerepotin," jawab papa Iksan santai. Mama Rosa beralih Iksan, "Nyanda bisa ngana kase ika Ririn pe kaki rupa Papa beking pa Mama?" "Udah nggak zaman Ma, sudah terlalu jadul cara seperti itu," jawab Iksan. Makan malam bersama orang tuanya malah semakin membuat Iksan galau, mamanya masih mendukungnya sama Ririn, sementara papanya sudah tidak mendukung lagi, Iksan bingung, dia harus bagaimana? Antara Cinta dan kenyataan memang suka beda, terlalu beruntung orang - orang yang kisah cintanya mulus, atau Iksan yang terlalu sial? Ah entahlah ... yang pasti Ririn akan semakin jauh dari genggaman. Baru sekarang Iksan merasa dia hanya orang 'ketiga' yang berlindung dibalik status sebagai sahabat kakak di belakang kekasih Ririn, lagi - lagi atas nama cinta dia bertahan lama di status itu dan tidak mau mendengar saran Owka, lalu buat apa dia jalan sejauh ini kalau pada akhirnya tetap jadi orang asing juga? Poor Iksan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD