Mayor Sinatra

1704 Words
Di sebuah rumah kontrakan yang dijadikan kantor darurat oleh Mayor Sinatra. Detektif yang dimintai kerja sama oleh kepolisian setempat, karena keahliannya memecahkan kasus khusus orang hilang yang diduga sebagai korban kekerasan, sedang mempelajari berlembar-lembar kertas. Setiap data di susun dengan rapi sesuai kolom-kolom yang dia buat sendiri. Mengklasifikasikannya sesuai data, Mencari persamaan antara satu korban dengan korban lainnya. Dinding tembok penuh dengan poto-poto dan keterangan, kliping koran, artikel dan berita-berita lama tentang menghilangnya seorang anak gadis berdasarkan laporan keluarganya kepada kepolisian. Tanggal, jam dan proses serta progres penyidikan dicatatnya secara detail dan teliti. Matanya berkedut-kedut tanda lelah. Mayor beranjak menuju dapur, menjerang air pada teko kecil di kompor, lalu meracik kopi lokal yang menurutnya sangat berkualitas. kemudian berdiri menghadap kompor, di tangannya cangkir kopi sedang menunggu untuk di seduh air panas. Mayor Sinatra merasa heran, karena korban-korban yang hilang secara misterius itu sangat acak. Mereka juga berlatar belakang pendidikan dan orang tua yang beragam. Hanya saja kalau tidak ada benang merahnya antara korban satu dengan korban lain, berarti harus ada benang merah antara korban dengan si pelaku yang menghilangkan mereka. Benang merah inilah yang menjadi fokus utama dalam agenda Mayor saat ini. Menilik lokasi tempat tinggal dan tempat terakhir korban-korban terlihat sebelum menghilang itu beda wilayah, Usianya pun satu dengan yang lainnya tidak ada yang sama. Makin membingungkan. Tapi tetap saja Mayor percaya bahwa korban tidak berdiri sendiri-sendiri dalam arti di pilih secara acak, Melainkan ada yang menargetkannya. Apakah target itu? ini juga masuk ke dalam agenda pertamanya. “Interesting” Gumam Mayor Sinatra. Setelah menyeduh kopi, dia kembali ke meja kerjanya. ◇◇◇ Mayor Sinatra berdiri di depan pagar berwarna hitam. Suasana rumah bertembok pink pudar itu tampak sepi. Halaman berukuran tidak lebih dari lima belas meter persegi, bersih dari kotoran sampah daun-daun kering dari pohon yang berdiri di sudut halaman. Seseorang baru saja membersihkannya. Dua pasang sandal jepit teronggok di bawah pintu samping yang menjorok ke dalam. Sepeda motor otomatis terparkir persis di depan jendela kaca. Mayor Sinatra memencet tombol bel. Suara ‘Ting tong’ terdengar nyaring dari dalam rumah. Pintu rumah bagian depan yang menghadap teras sempit terbuka. Seorang wanita berusia lima puluh tahunan melongok keluar melihat ke arah Mayor Sinatra. Di wajahnya tersirat rasa heran melihat orang asing sedang berdiri di depan pagar rumahnya. Ragu-ragu untuk menyapa, bingung harus menggunakan bahasanya atau bahasa inggris. Akhirnya hanya kata “Ya?” yang keluar dari mulutnya. “Selamat pagi Ibu Sandra? Saya detektif Sinatra dari kepolisian, ingin mengajukan beberapa pertanyaan tentang menghilangnya Rita Amelia?” Mayor Sinatra mengangkat tangan kanannya untuk memperlihatkan lencana identitasnya. Sesaat wanita yang disapa dengan sebutan Ibu Sandra terdiam. Hatinya sedikit lega karena pria asing itu menggunakan bahasanya dengan fasih, sisi lain dia bingung. Kenapa detektifnya orang asing. Mayor Sinatra menangkap keraguan Ibu Sandra, “Boleh saya masuk? Saya tidak akan lama, hanya ingin mengajukan beberapa pertanyaan saja.” Katanya meyakinkan. “Oh, sebentar.” Sahut Ibu Sandra yang berbalik kembali ke dalam rumah. Tidak lama kemudian Ibu Sandra muncul, tangannya menggenggam serenceng kunci yang mengeluarkan suara bergemerincing saat beradu satu dengan lainnya. Pintu pagar di buka, Mayor Sinatra dipersilakan masuk ke dalam rumah. Suasana di dalam bersih dan rapi. Terdapat satu set kursi kayu berlapis bantal tipis warna coklat tua lengkap dengan meja kayu berhias pot rotan dengan beberapa tangkai bunga plastik. Di sudut ruangan, berjejer poto-poto keluarga yang di letakkan diatas meja sudut. Ibu Sandra mempersilakan tamunya duduk, lalu permisi untuk meninggalkannya sebentar, masuk ke dalam melalui pintu penghubung ruang tamu. Mayor Sinatra meraih salah satu poto sebelum menempatkan bokongnya pada kursi. Poto yang diambil adalah poto Rita Amelia yang telah menghilang selama tujuh tahun. Pada usianya yang ke lima belas. Mayor Sinatra mempelajari poto tersebut dengan seksama. Membayangkan sosok Rita Amelia yang hidup pada saat itu, memakai T-shirt polos warna biru, celana jeans pendek pudar, berambut ikal sebahu, ketika senyum giginya gingsul, berbadan kurus dengan bobot tak kurang dari empat puluh kilo gram, tertawa ceria kepadanya. “Apa yang terjadi padamu, gadis cantik?” Mayor Sinatra bergumam. Ibu Sandra membawa baki berisi dua buah cangkir, asap masih mengepul dari teh panas di cangkir itu. “Silakan diminum.” Ibu Sandra membuyarkan pikiran Mayor Sinatra. “Terima kasih.” Jawab Mayor mengangguk. Ibu Sandra melihat poto yang masih dipegang oleh Mayor Sinatra, “Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke dua puluh dua tahun.” Ibu Sandra agak melamun dengan tatapan kosong. “Ayahnya telah meninggal tiga bulan lalu, sejak hilangnya Amel, dialah yang paling terpukul dan sering sakit-sakitan setelah itu.” Ibu Sandra mulai menitikkan air mata. “Saya telah melakukan berbagai usaha untuk menemukan satu-satunya putri kami, dengan kondisi yang serba kekurangan.” Lanjutnya. “Bagaimana dengan teman-temannya?” Mayor mulai menggali info. “Dia anak kesayangan ayahnya yang selalu menghabiskan waktu bersama. Saya rasa selain teman sekelasnya, dia tidak punya teman lain. Di kelasnya dia hanya dekat dengan anak yang bernama Mia. Mia sering kesini untuk belajar bersama dan bermain.” “Mia sangat terpukul saat tahu Amel menghilang, menangis terus selama beberapa hari.” Diam sejenak seakan ingat sesuatu. “Oh iya, sebentar.” Kata Ibu Sandra sambil berdiri. Lalu masuk ke kamarnya. Ibu Sandra keluar kamar ditangannya ada sebuah buku kecil seperti buku diary anak-anak dengan gambar karakter katun yang popular pada saat itu, tujuh tahun yang lalu. “Ini, saya tidak tahu apakah bisa berguna atau tidak, tapi ... Mia memberikan ini seminggu setelah Amel menghilang. Saya merasa tidak enak hati, untuk apa mereka membuat tulisan ini ....” Ibu Sandra menyodorkan kertas yang di laminating seukuran kartu kredit. Tulisan di kertas tersebut seperti tidak mengandung makna tertentu. Tetapi, tinta yang membentuk tulisan ‘Tidak layak dicintai’, pola dan butirannya seperti darah. Mayor Sinatra menatap Ibu Sandra dan bertanya, “Apa boleh saya melihat dan memeriksa kamar Amel?” “Oh, Silahkan. Mari ....“ Ibu Sandra membimbing jalan. Mayor Sinatra menyelipkan kertas berlaminating tadi ke saku jasnya. “Kemungkinan sudah tidak ada sesuatu yang bisa membantu. Karena kamar ini sering di tempati oleh ayahnya Amel.” Sambil membuka pintu kamar. Hal pertama yang dilihat oleh Mayor Sinatra adalah ranjang ukuran kecil, satu bantal dan guling, boneka-boneka yang disusun menempel pada dinding kamar. Mayor Sinatra menghampiri meja belajar. Beberapa buku usang berdiri berdempetan di rak terbuka yang tersambung ke meja. Seluruh laci diperiksa, namun tidak ada yang bisa dijadikan sebagai alat petunjuk. Sebuah peti kayu kecil seukuran dua kali lipat dari dus sepatu, menarik perhatian Mayor Sinatra. Secara sigap membuka tutupnya. Beberapa tumpuk poto dan sebuah buku harian. Poto-poto itu adalah poto Rita Amelia bersama ayahnya dalam berbagai kesempatan. Insting Mayor Sinatra berdengung. Dia menutup kembali peti itu dan membawanya keluar. Di ruang tamu, Ibu Sandra tengah duduk menunggu dan menoleh kepada Mayor yang ditangannya membawa peti kayu. “Apa ada sesuatu di sana? Isinya hanya poto-poto dan pernak pernik dari pelajaran kerajinan tangannya.” Ujar ibu Sandra. “Saya mohon ijin membawa peti ini, untuk dipelajari, saya akan kembalikan setelah selesai. Bagaimanapun, barang-barang ini sangat penting bagi Ibu karena menyimpan banyak kenangan.” Mayor Sinatra meminta ijin dengan sungguh-sungguh. “Oh, silakan ... bawa saja.” Ijin Ibu Sandra. “Ini nomor telepon saya. Ibu bisa menghubungi saya baik melalui telepon atau pesan, jika menemukan sesuatu.” Kemudian Mayor Sinatra pamit. Membuka bagasi mobil dan meletakkan peti itu di sana. Hari ini jadwal untuk mengunjungi tiga alamat rumah yang telah melaporkan kehilangan anak gadisnya kepada kepolisian tujuh dan delapan tahun lalu. Keputusan mengambil kunjungan dari tujuh dan delapan tahun lalu berdasarkan dari usia anak-anak tersebut yang hanya terpaut satu dan dua tahun pada saat dilaporkan menghilang. Yaitu usia empat belas tahun, lima belas tahun dan enam belas tahun. Sesuai catatan laporan masuk ke dalam kelompok usia termuda. Memacu mobilnya ke arah timur yang menempuh jarak kurang lebih satu jam dari rumah Rita Amelia ke alamat berikut yang akan di tuju. Mayor Sinatra memarkirkan mobilnya di seberang rumah besar berhalaman asri. Rumah bergaya kolonial itu, telah di renovasi berulang kali dengan tetap mempertahankan struktur aslinya. Setelah memencet bel yang menempel pada dinding, suara gonggongan anjing menyambutnya. Dari lorong samping rumah tampak wanita setengah baya tergopoh-gopoh menghampiri pintu, matanya menyiratkan tatapan aneh. Mayor Sinatra memperkenalkan dirinya sebagai detektif dari kepolisian, bermaksud untuk menemui pak Wiryo. Pintu pagar di buka, tamu asing tersebut dipersilakan masuk dan menunggu di ruang tamu yang luas. Seluruh perabotan terbuat dari kayu jati dan berusia lebih dari setengah abad. Seorang pria yang usianya mendekati enam puluh tahun, tergopoh gopoh ke ruang tamunya. Detektif itu memperkenalkan dirinya dan tujuannya datang ke situ. “Itu adalah luka lama. Apakah dengan menyelidikinya kembali akan membawa anak kami kembali ke rumah ini?” Pak Wiryo pesimis. “Penyelidikan ini penting dilakukan untuk mencegah kejadian terulang kembali atau mencegah korban-korban baru.” Jawab Sinatra. “Apakah saya boleh melihat barang-barang pribadinya Bella?” Lanjutnya. "Kemungkinan sudah tidak yang bisa menjadi petunjuk, karena sudah lama sekali. Tapi kalau mau di coba ya silakan." Jawab pak Wiryo. Pak Wiryo memimpin jalan ke arah dalam, sampailah mereka di depan pintu. Ada nota warna merah tergantung disana bertuliskan 'Ketuk sebelum masuk'. Pak Wiryo membuka pintu, ruangan kamar itu agak luas dan sangat bersih terawat. Mengesankan bahwa kamar itu bisa dihuni kapan saja. Bisa berarti bahwa harapan keluarga ini sangat besar akan kepulangan Bella. Mayor Sinatra masuk, menuju meja yang di duga adalah meja belajar Bella. "Apakah setelah menghilangnya Bella ada kiriman sesuatu dari temannya?" Tanya Mayor Sinatra. "Lupa, tapi seingat saya ada yang mengirim barang, makanan ... seperti itu." Jawab pak Wiryo. Mayor Sinatra mengambil sesuatu dari dalam sakunya dan memeprlihatkan kepada pak Wiryo. "Apakah ada yang mengirimkan ini?" Tanyanya. Pak Wiryo menerima barang yang disodorkan oleh Mayor Sinatra. Alisnya mengernyit tampak mengingat-ingat. Pak Wiryo melangkah menghampiri meja, lalu mengambil kotak bekas tempat sepatu dari rak paling atas dan membukanya. "Di sini banyak yang kirim kartu seperti itu." Katanya sambil mengeluarkan kartu dan amplop satu persatu lalu dia tertegun, mengambil satu buah amplop berwarna pink dan membukanya. Di tangan pak Wiryo ada kartu berlaminating yang sama dengan yang berada di tangan Mayor Sinatra, mereka berpandangan. "Kartu itu punya siapa?" Tanya pak Wiryo. "Ini punya salah satu korban yang baru saya temui tadi pagi di kamarnya." Jawab Mayor Sinatra. "Berarti ...." Pak Wiryo terduduk lemas. "Anak saya di culik?" Tanyanya. "Siapa yang mengirimkan kartu ini?" Selidik Mayor Sinatra. "Teman dekatnya, mari saya antar ke rumahnya." Ujar pak Wiryo mengajak Mayor Sinatra menemui teman yang dulu pernah dekat dengan Bella.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD