4. Everything Is Changed

1407 Words
Cahaya matahari membuat wajah Felia merasa panas, dia membuka matanya dan melihat jam susah jam 10 pagi. Dia sudah terlambat ke sekolah, jadi dia memutuskan untuk tidak ke sekolah, kalau dia ke sekolah buat apa juga kalau cuma buat dengar ocehan pak Didi. Masih belum pulang juga orang tua nya. Seharian ngak pulang kemana mereka? Felia sedang benar-benar malas memasak jadi dia memutuskan untuk membeli bubur kacang hijau kesukaannya di depan kompleks. Felia membuka pintu depan rumahnya. Ada sepucuk surat di depan pintu rumahnya. Surat itu berwarna putih tapi di setiap tulisan atau gambar berlapiskan warna emas. "Surat apaan nih?" Felia membolak-balik surat itu. Tapi akhir nya karena tingkat ke kepoan nya akut jadi dia membuka nya. Kertas putih dengan tinta biru. Diana Rafelia Griselda Estefany Scowatis. Jam 13:00 Akan ada yang menjemput mu Bersiap siap lah. Felia menyirngit. Apa maksud surat ini? Tidak ambil pusing dia meletakkan surat itu di atas meja. Lalu dia mengambil kunci mobil milik Aldrian dan melajukan mobil nya menuju depan kompleks rumah nya. Dia sudah selesai menikmati bubur kacang hijaunya, surat yang tergeletak di atas meja itu mengundang rasa penasaran nya. Dia mengambil surat itu membaca nya ulang dengan seksama. 13:00 Dia melirik jam, kurang 5 menit lagi jam satu. Tepat jam satu siang. Ting tong! Bel rumah nya berbunyi. Ceklek! Dua orang berbadan besar yang memakai baju setelan seperti.... Apa yah di bilang. Pengawal atau apalah, karena ada semacam alat yang bertengger di telinga mereka. "Nona anda di minta untuk ikut dengan kami." Ucap yang kepalanya botak. "Kalau ngak mau?" "Kami akan pakai kekerasan." Ucap yang berambut hitam. "Jangan macam-macam, gue bakalan teriak." Felia mulai membuat ancang-ancang untuk berteriak, tapi salah satu dari kedua orang itu membekap mulutnya dengan sapu tangan yang dia yakin di beri obat bius. Karena setelahnya semua gelap. _U16_ "Erm.." Felia menggeram dalam tidur nya, perlahan dia membuka mata nya. Dia terbelak menyadari dia tidak lagi di rumah nya. "Anda sudah bangun, Nona?" Pramugari? Awan? Jangan-jangan? "Ini di mana?" "Ini dalam jet pribadi putri Alicia." Felia menyirngit. "Hah?" "Orang tua putri." "Kayanya namanya bunda bukan Alicia deh?" "Putri Adilia bukan orang tua anda, orang tua kandung anda adalah putri Alicia." Felia menatap Pramugari itu tajam. Enak-enak nya dia bilang bunda nya bukan orang tua nya, dan mengatakan orang lain sebagai orang tua nya. Pramugari itu melihat perubahan wajah Felia. "Ma-af, anda bisa tanya kan itu kepada putri Alicia ketika kita sampai." Pramugari itu langsung berjalan pergi. Felia mengacak rambut nya dengan frustasi. Ini hari ulang tahun nya dan ini juga hari sial nya. "Huaa, bunda Feli mau nangis." Sekitar 20 menit kemudian terdengar suara pemberitahuan kalau mereka akan mendarat. Felia menggunakan sabuk pengaman nya. Pesawat mendarat dengan sempurna. Tunggu! Ini bukan di bandara sepertinya. Lalu ini di mana? Jangan-jangan? Felia mengambil ancang-ancang. "Ini tempat apa?" Tanya nya ke pramugari yang ada di depan nya. "I-ni istana keluarga Scowatis." Jawab salah satu pramugari itu dengan takut. Felia tidak lagi memasang kuda-kuda nya. Dia berjalan ke luar. Satu kata. Wow. Benar-benar istana. Pilar-pilar marmer, ada air mancur, pepohonan, bunga, dan satu lagi di depan istana itu ada bunda nya. Felia berlari dan langsung memeluk bunda nya. "Bunda dari kok di sini?" Tanya Felia. "Dan ini tempat apa?" "Ini rumah kita sayang." Felia melepaskan pelukan mereka. Dahi nya menyirngit. Adilia menyentuh dahi Felia yang berkerut. "Iya, rumah kita. Ada yang harus kamu bicarakan sama kamu." Felia di bawa ke tempat yang katanya ruang keluarga di istana ini. Kalau gue tersesat di sini ada yang nemuin gue ngak ya? Batin Felia. Pasalnya istana ini sangat besar dan banyak lorong nya, bahkan dia sudah lupa dia sudah melewati berapa belokan tadi. Mereka sampai di depan pintu berwarna putih yang besar. Pintu terbuka lebar, di dalam ruangan itu sudah ada banyak orang yang duduk di sana. Felia melihat ke badannya, dia hanya memakai baju kaos biru muda dan celana jins, rambut nya di cepol asal, dan dia tadi pagi belum mencuci wajahnya. Perfect sudah. "Ayo!" Adilia menarik Felia. Mereka duduk di sofa besar itu, di sana ada.... Siapa ya? Semua orang yang duduk di sana tidak ada yang di kenal Felia, yang di kenal nya paling hanya Ayahnya yang sedang tersenyum ke arahnya. "Ekhm!" Wanita paruh baya yang duduk di sofa single berdeham. "Jadi kamu Rafelia." Felia menyirngit, dari mana dia tau namanya? Felia mengangguk patah-patah. Wanita itu melihat Felia dari atas sampai bawah. Tau gue berantakan, tapi ngak usah dilihat kek gitu juga kaleus. Itu suara batin Felia. "Kamu benar-benar harus di ajari semua hal yang harus seorang putri miliki." "Tunggu! Putri? Gu--" "Language, please." Felia memutar mata nya dengan malas. "Mungkin anda salah orang." "Kamu Rafelia 'kan." Felia mengangguk. "Berarti kamu cucu saya." "Hah?" "Kamu cucu perempuan saya satu-satu nya, yang telah hilang 16 tahun yang lalu." Felia memasang wajah inconnect nya. "Lebih baik cerita kan dari awal, mah." Ucap Adilia. "Baiklah. Kamu adalah putri dari anak pertama saya, dan kamu bukan anak nya Adilia tapi kamu anaknya Alicia dan putra saya Nicholas. Intinya kamu adalah anak mereka jadi, mau tidak mau kamu jadi cucu saya. Dan kamu harus belajar bagaimana cara nya untuk menjadi putri yang baik." Felia Cengo. "Terus bunda saya siapa saya kalau bukan orang tua saya?" "Sayang, kami cuma merawat kamu saja. Dan bunda bukan anak dari nenek kamu, bunda hanya anak adopsi saja." Adilia mengatakan nya dengan sedikit pelan. "Bun. Jangan nangis." Felia memeluk Adilia. "Bunda tetap jadi bunda aku apapun yang terjadi." Adilia melepas pelukan mereka, dia mencium puncak kepala Felia. Felia menatap wanita yang mengaku sebagai nenek nya itu. "Lalu di mana orang tua ku?" "Mereka sedang dalam perjalanan." Amelia-nenek-berucap. "Karena di sini ada paman-paman mu, jadi akan aku kenalkan terlebih dahulu paman-paman mu. Itu yang di samping Kalvian adalah paman mu dia adik ayahmu." Felia memotong ucapan Amelia. "Ayahku? Yang kau sebut namanya tadi itu ayahku jadi jangan salah. Buatlah sebutan lain untuk anak mu itu." Felia tidak terima tentu saja, Kalvian yang notabe nya ayahnya di sebut bukan ayah nya. "Baiklah. Daddy mu, dia adik daddy mu namanya Alberto dan yang satu lagi Juano." Felia memandang dua orang itu, lalu kembali memandang Amelia. "Oh." Hanya kata itu yang ke luar dari mulut nya. Felia menepuk jidat nya. "Bunda mana hape Feli?" "Hape?" Felia mengangguk. "Oh, ada." Adilia merogoh tas kecil nya lalu memberikan benda pipih itu ke Felia. "Aduh gimana nih?" Felia menggigit kuku jarinya. "Kenapa sayang." Tanya Kalvian. "Hari ini Felia harus nya manggung di--" Dia membekap mulutnya sendiri. "Jadi yang di bilang Karel sama Kean benar?" Felia menyengir. "Jangan marah ya. Itu cuma iseng aja, suer." Felia mengangkat tangannya membentuk huruf V. "Kamu ini." "Maaf kami terlambat." Muncul lah dua orang, satu perempuan yang nampak elegan dan seorang pria yang bisa di bilang tampan. Mereka duduk di kursi yang ada di depan Felia dan Adilia. Felia memandang kedua orang itu dengan teliti. "Ini Ayah dan ibu mu." "Ralat mereka bukan ayah dan ibuku. Buat panggilan lain." Felia berucap dingin. Dua orang itu menatap Felia. "Jadi kamu anak itu?" Tanya yang wanita. "Lama tidak bertemu anak ku." Tidak ada niat sama sekali untuk melakukan sesuatu, padahal Felia adalah anak mereka yang hilang. Tapi Felia hanya seperti orang asing. "Sudah besar ternyata. Dan penampilan mu." Wanita itu menggantung ucapan nya. Felia langsung memotong ucapan wanita itu sebelum dia sempat berbicara. "Kenapa tidak suka?" Felia berucap pedas. Adilia menyenggol tangan Felia. Tapi tidak di pedulikan nya. "Tidak tau sopan santun." "Memang. Baru tau. Ya iya lah baru tau. Pantas aja kalian sama sekali ngak ada berniat nyari anak kalian." Felia tersenyum sinis. "Harta." Telak. "Jaga ucapan mu." Yang pria sekarang angkat bicara. "Kenapa? Tidak suka? Emang aku peduli?" "Adilia apa yang kau ajarkan pada anakku?" Ucap yang perempuan suara nya sedikit meninggi. "Hei. Jangan salahkan Bunda ku, dia masih lebih baik daripada kalian. Setidaknya dia merawat ku, daripada kalian, cih orang tua macam apa kalian." Plak! Satu tamparan mengenai pipi kanan Felia, dan orang yang melakukan nya adalah Nicholas, ayah nya sendiri. "Jaga bicara mu." Felia memandang Ayah kandung nya itu. "Benar 'kan. Ayah mana yang menampar putrinya sendiri." Felia berdiri. "Kalau aku di sini hanya untuk di hina. Lebih baik aku kembali ke indonesia dari pada di sini." "Maaf. Ayah tidak sengaja." Felia menepis kasar tangan Nicholas. "Nggak butuh." Lalu dia berjalan ke luar dari ruangan itu. "Bagus kak. Kau sudah membuat putri mu menangis di saat pertama bertemu dengan mu. Bagus, dan aku pastikan setelah ini dia tidak akan berbicara dengan mu." Adilia berlalu. "Saya permisi." Kalvian mengejar istri nya. _U16_ Felia berjalan entah ke arah mana di istana yang super besar itu. Akhir nya dia menemukan jalan keluar, dia menemukan taman yang besar. Dia duduk di bawah pohon dan menangis. "Sayang." Itu suara Adilia. Felia langsung memeluk Adilia. "Feli mau pulang, Bun." Adilia menghela nafasnya. "Eh, Bunda hampir lupa hari ini anak bunda 'kan ulang tahun." Felia melepas pelukan mereka. "Ini buat kamu dari bunda." Benda itu adalah kalung. Kalung berbentuk bintang tetapi di tengah nya berbentuk bunga. "Suka?" Felia mengangguk dan memeluk kembali Adilia. "Jangan nangis, okay." Felia mengangguk.  . . . 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD