Calon Mertua

1561 Words
Rifta akhirnya bisa bernapas lega. Utang kepada rentenir sebesar 250 juta ditambah bunga sebesar 35 persen yakni 87,5 juta akhirnya terbayar lunas. Ke depannya ia tidak akan berurusan lagi dengan para rentenir itu. Sisa uangnya digunakan untuk biaya pengobatan ibunya dan keperluan lain. Jadi sekarang uang itu sudah habis tak bersisa. "Maafkan Ibu, Rif, bikin kamu susah. Katakan pada calon suami kamu, Ibu akan kembalikan uangnya suatu hari nanti. Juga sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya sudah bersedia membantu kita," ucap sang ibu ketika bertelepon dengan suara yang masih lemah setelah keluar dari rumah sakit. "Iya, Bu, tidak apa-apa. Ibu tidak usah pikirkan soal uang itu, biar itu jadi urusan Rifta. Ibu istirahat yang cukup, jangan terlalu banyak pikiran." Rifta mewanti-wanti. Setelah puas bercakap-cakap melepas kerinduan, telepon pun diakhiri. Hari sabtu adalah hari yang paling ditunggu-tunggu, sebab ia bisa menghabiskan waktu seharian menulis novel tanpa khawatir terganggu dengan jadwal kampus. Tapi ketukan di pintu membuat Rifta urung membuka laptopnya. Ia segera menyambar jilbab yang terlampir di sandaran kursi, mengenakannya sambil berjalan menuju ke arah pintu. Kebiasaan buruk yang terus dilakukan, bahkan terkadang ketika tiba di depan pintu jilbabnya belum sempurna ia kenakan. Klek! Pintu terbuka. Dan ia langsung terperanjat begitu mendapati sosok Dannis berdiri di depan pintu kosnya. Eh, ada apaan? Bukan mau ngambil ulang uangnya, kan? Rifta mulai bersiaga. "Ikut aku," ucap Dannis tanpa basa-basi. "Ke mana?" "Nggak usah banyak nanya!" ketus Dannis sambil terus melangkah menuruni tangga teras kosnya. Rifta enggan untuk beranjak, mau ke mana dan untuk apa? Dannis pun tak memberitahu. Lagipula ini hari yang paling penting untuknya, dia harus menyelesaikan deadline novel yang sempat tertunda karena sudah menuju akhir bulan. "Ayo! Ngapain bengong di situ?!" Suara Dannis meninggi. "Emang mau ke mana, sih? Aku punya deadline hari ini," tolak Rifta. Dannis tidak menjawab, hanya kembali berbalik naik ke teras dan menarik lengan Rifta dengan keras. Ia terus menariknya hingga tiba di samping mobilnya. "Lepas!" seru Rifta kesal, ia sampai berjalan tersandung-sandung demi mengikuti langkah panjang Dannis. "Jangan pegang-pegang sembarangan, kita bukan mahram!" "Kamu cerewet banget, sih! Buruan, ini penting. Nanti aku jelaskan di jalan. Pokoknya mulai sekarang, urusan aku lebih penting dari semua urusan kamu," tandasnya. Apa? Kenapa bisa begitu? Rifta menghela napas kesal. Oke, oke, sekarang ia harus mengalah pada pria asing yang statusnya adalah calon suaminya itu, demi 350 juta yang sudah habis! Dannis membuka pintu mobil dan bersiap memaksa Rifta masuk ke dalam. "Tunggu, aku harus kunci pintu kosku dulu." Dannis menggerutu kesal dengan suara yang tidak jelas, memandangi Rifta yang kembali naik ke teras lalu mengunci kosnya. Untuk apa juga dikunci? Toh tidak ada barang berharga kan? Dannis masuk ke dalam mobil lebih dulu, lalu disusul Rifta masuk ke sebelahnya. Mobil melaju dengan kencang membelah jalanan kota Jakarta yang padat. Rifta menunggu-nunggu Dannis menjelaskan tujuan kepergian mereka pagi itu. Tapi, hingga beberapa menit berlalu, dia hanya terdiam dan fokus mengemudi. "Sebenarnya kita mau kemana, terus ngapain?" Rifta akhirnya membuka suara. "Ke rumahku. Aku mau kenalin kamu ke mama dan papa. Ingat, kamu harus pura-pura jadi orang kaya dan jangan sebut-sebut tentang perjanjian kita dan uang itu. Bersikaplah seolah kita memang saling mencintai dan sudah bersiap hendak menikah." Hah?! Untuk urusan sepenting itu Dannis mengajaknya mendadak? Dan nyaris tidak memberitahunya apa pun? Lagi-lagi Rifta dibuat terkejut oleh Dannis. "Nama lengkap kamu siapa? Kuliah jurusan apa? Semester berapa?" Dannis melanjutkan. Rifta nyaris tertawa miris mendengar pertanyaan itu, mereka bahkan belum berkenalan sampai detik itu. "Rifta Ekaputri. Fakultas Ekonomi, jurusan Manajemen Bisnis semester tujuh. Aku dua bersaudara, adikku Rizka Dwiputri." Rifta menjelaskan tentang dirinya. Dannis hanya diam mendengar jawaban itu dan tidak menanggapi lagi. Rifta juga tidak menanyakan tentang identitas Dannis, karena ia sudah bisa menebak, pastinya pria itu dari keluarga kaya raya. "Aku Dannis Hariwijaya. Mama aku Lusiana, papa aku Dimas Hariwijaya." Dannis memperkenalkan dirinya tanpa diminta. *** Dannis memarkirkan mobilnya di sebuah butik ternama di Jakarta. Dari tampilan luarnya saja Rifta memprediksi harga barang-barang di dalamnya pasti sangat mahal. Pagi itu hanya ada sekitar lima buah mobil terparkir di halaman butik itu. Sepertinya sedang tidak banyak pelanggan. Tapi untuk apa Dannis membawanya ke sini? Bukannya tadi dia bilang hendak ke rumahnya? "Rumah kamu di sini?" Rifta mengernyit heran. Dannis menghela napas kesal. "Bisa nggak kamu jangan banyak nanya? Apa kamu nggak ngerti, penampilan kamu sekarang bakal bikin gagal rencana kita! Kamu harus di make over dulu biar meyakinkan," ketus Dannis. Mereka turun dari mobil, lalu masuk ke dalam butik yang langsung disambut hawa sangat sejuk dan aroma terapi yang menenangkan. "Halo, Dannis ganteng!" Seorang wanita yang sangat seksi menyambut kehadiran meraka. "Halo, Bertha," tukas Dannis. "Kamu udah ganti, nggak sama Agnez lagi?" Bertha memperhatikan Rifta sambil mengernyit, jelas wanita ini jauh dari selera Dannis. Tapi kenapa... "Ya, begitulah. Kamu pasti tau apa yang harus dilakukan," ucap Dannis, ia membanting diri di sofa, lalu mengambil ponsel di sakunya. Bertha tersenyum simpul. "Itu gampang." Bertha menjentikkan jari. "Siapa namamu, Sayang? Sudah berhasil mengalihkan perhatian Dannis." Bertha tersenyum jahil. "Kamu sudah cantik, tinggal perlu sedikit polesan natural, apalagi kamu berhijab. Sederhana tapi elegan," ucap Bertha sambil mengitari Rifta yang berdiri mematung. "Rifta, Mbak." Terasa kikuk diperhatikan sedemikian rupa oleh wanita seksi itu. "Rifta." Ulang Bertha sambil mengangguk. "Ayo, ikuti aku." Rifta mengikuti langkah Bertha memasuki sebuah ruangan tertutup. Di dalam ruangan itu tergantung berbagai busana-busana muslimah lengkap dengan salon kecantikannya. Sepertinya butik Bertha itu menyediakan berbagai paket lengkap, bahkan untuk kalangan berhijab sekali pun. "Pilihlah busana yang kamu sukai, Sayang. Jangan sungkan, Dannis tidak akan keberatan kamu memilih yang mana saja," ucap Bertha sambil tersenyum. Rifta hanya menggaruk kepala yang tak sedikit pun terasa gatal, tetapi bingung hendak memilih pakaian yang seperti apa. Ia tak pernah menginjakkan kaki untuk memilih busana di tempat mewah seperti itu, apalagi dengan beragam pilihan yang membuat kepalanya pusing tujuh keliling. "Mmm, bisa Mbak aja yang pilihkan?" Rifta bertanya ragu --malu lebih tepatnya. "Tentu." Bertha menjentikkan jari lagi. Ia mulai memilih-milih bebrapa pakaian, lalu mengepaskannya di badan Rifta, memperhatikan, menimbang, lalu mengembalikan pakaian itu ke tempat semula dan memilih pakaian lain. "Nah, ini cocok." Senyum lebar tersungging di bibir Bertha. Ia mengepaskan sekali lagi sebuah gamis berwarna dusty pink mengkilap. "Ayo, cobalah." Setelah melalui berbagai proses yang cukup melelahkan, akhirnya Rifta keluar dari ruang tertutup itu. Ia telah berganti mengenakan gamis satin hermes dusty pink dipadukan dengan jilbab sifon dua lapis sepaha berwarna beige, juga natural make up sehingga tidak mencolok. "Ini dia, ratu kita sudah selesai," ucap Bertha tersenyum puas. Dannis seketika mendongak, beberapa saat ia tertegun memandangi wanita di samping Bertha itu. Secara jujur ia mengakui jika Rifta memang cantik natural, apalagi dengan penampilan mahal seperti sekarang semakin membuatnya begitu elegan. "Sudah selesai? Kita berangkat sekarang," ujar Dannis tanpa memberikan komentar pada penampilan Rifta. Ia tidak ingin mengubah penilaiannya terhadap Rifta. Rifta hanyalah wanita sementara dalam hidupnya, titik! Bertha mengantar kepergian mereka sampai di depan pintu keluar. "Jangan ceritakan hal ini sama mama, oke?" Dannis mengerling ke arah Bertha sebelum meninggalkan butik. "Oke, Sayang, tenang saja." Bertha tersenyum lebar, lalu melambaikan tangan mengantar kepergian dua pelanggannya pagi itu. *** Dannis membelokkan mobilnya di sebuah rumah yang sangat luas dan besar laksana istana. Bangunannya mengambil gaya kontemporer yang futuristik. Bangunan rumah itu di dominasi kaca, halamannya tetap mempertahankan kesan alami dengan pohon dan tanaman langka yang padat. Rifta menghirup napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Hatinya berkecamuk, gugup, bingung, malu bercampur menjadi satu. Ini pengalaman pertamanya menemui calon mertua, meskipun hanya sandiwara, tapi tetap saja membuatnya canggung. Rifta turun dengan ragu. Ia dibandingkan dengan rumah itu hanya seperti seekor katak yang melihat bulan yang indah. Tak akan pernah bisa menjangkau. Dan mulai sekarang ia harus belajar untuk menjadi bagian dari kehidupan mewah itu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. What a surprise! "Ayo." Suara Dannis melunak. Mereka masuk lewat halaman samping yang ternyata jauh lebih menakjubkan ketimbang di halaman depan. Di sana sejauh mata memandang langsung dimanjakan dengan kolam renang yang sangat luas, di tengahnya terdapat sebuah jalan untuk melintas menuju teras samping. Sangat eksotis, seperti berjalan di tengah lautan. Berapa banyak uang yang mereka gunakan untuk membangun rumah semewah ini? Rifta tidak berhenti mengagumi dan memikirkan kekayaan Dannis. "Wah, anak Mama sudah pulang! Kamu benar-benar menepati janji." Lagi-lagi mereka disambut oleh seorang wanita. Kali ini penampilannya santai tapi tetap terkesan mewah. Wanita yang usianya berkisar empat puluhan itu memeluk Dannis dan Rifta bergantian. "Jadi ini, calonnya Dannis." Lusiana merangkul pundak Rifta dengan akrab. "Iya, Tante. Rifta Ekaputri," ucapnya memperkenalkan diri. "Dannis mulai sering nyeritain kamu beberapa hari terakhir. Kenapa nggak pernah ke sini sebelumnya?" Lusiana membawa mereka masuk ke dalam rumah sambil terus bercakap-cakap. "Iya, Tan, kami sama-sama sibuk. Apalagi aku yang udah masuk semester akhir. Rencananya mau turun KKN semester ini, jadi ya... begitulah," jawab Rifta sambil tertawa. "Iya, makanya Dannis sering pulang larut, atau kadang malah nggak pulang ke rumah. Terus kenapa buru-buru mau nikah? Mama heran aja kenapa Dannis tiba-tiba bahas pernikahan." Lusiana menatap Rifta dengan pandangan yang tidak ia mengerti. Rifta tersenyum malu, terus terang ia tidak punya alasan logis untuk menjawab pertanyaan itu. Ia hanya berusaha terlihat meyakinkan di hadapan ibunya Dannis. "Kami cuma pingin secepatnya menikah, supaya pas aku KKN nggak sendirian lagi, juga pas wisuda nanti." Entahlah, apakah jawaban itu meyakinkan atau tidak. Rifta hanya berharap semoga Lusiana tidak bertanya apa pun lagi. Tapi harapannya sepertinya tidak akan terkabul, sebab Lusiana segera mengajukan pertanyaan baru. "Orang tua kamu setuju kalian menikah secepat itu?" Bersambung...

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD