Bercerai atau Memaafkan?

1461 Words
Masih dengan telinga yang setia menempel di daun pintu, aku berusaha meraup suara-suara tawa lirih itu dengan menajamkan pendengaran. Semoga saja Tuhan memberiku beberapa petunjuk terang perihal kegelisahan di hati. Suami mana yang bisa berfikir positif atau cuek melihat istrinya berada di kamar seorang lelaki yang tidak memiliki hubungan darah? Ditambah ia berucap kebohongan dengan berpamitan menjemput Fay di sekolah tetapi berbelok ke rumah paman mudaku. "Suka nggak?" "Ini kegedean mas." Aku menelan saliva bulat-bulat hingga hampir tersedak. Mendengar obrolan mereka justru menciptakan ambiguitas tak terhingga di dalam benakku. Sebenarnya, apa yang tengah mereka bicarakan? Benda apa yang mereka maksud 'gede'? "Bukannya kamu suka yang gede, panjang. Ya aku pesenin seperti mau kamu." "Takut nggak muat mas." Panas dingin tubuhku mendengar kelanjutan obrolan mereka dari balik pintu. Dan hatiku seperti dihujani ribuan panah beracun tanpa henti. Bulir asin mulai bermunculan di setiap lubang pori-pori tubuhku dari ujung wajah hingga kaki. Aliran darah terasa lebih cepat melewati semua pembuluh darah hingga dadaku terasa hampir robek menahan detak jantung yang menggila. Caraku bernafas tidak hanya melalui kedua lubang hidung saja, melainkan mengikutsertakan mulut untuk meraup oksigen sebanyak mungkin untuk memenuhi rongga paru-paru. Kedua mataku membulat bak bola pimpong begitu serangan panik ini datang bergolong-golong. Guncangan kecil terasa dikedua telapak tanganku yang kuperhatikan dengan seksama. Konsentrasiku tidak lagi utuh memikirkan Djentik dan perselingkuhannya, melainkan bagaimana nasib rumah tanggaku esok, bagaimana aku mengatakan kekecewaan ini, dan sebagainya. "Gampang dek. Dilebarin dikit kan bisa masuk." "Sobek mas kalau dilebarin." Ucapnya dengan nada dibuat-buat namun terdengar menggoda. "Ntar aku bantu jahit gimana? Lagian nanggung kan udah terlanjur gede gini." "Janji ya?" "Kapan sih aku ingkar janji sama kamu dek. Kamu seneng nggak sama hadiahku?" Terdengar tawa Djentik yang begitu manis. "Bikin geli mas. Kamu tahu itu dari mana?" "Dikasih tahu teman-teman. Lalu keinget kamu. Rajin dipakai ya?" "Biar apa coba? Biar aku nggak fokus gitu?" "Biar seneng lah. Yuk lah dek, keburu njemput Fay kan?" Setelahnya, aku tidak mendengar obrolan mereka, kecuali suara-suara samar ranjang berderit lirih ketika ada aktivitas di atasnya. Aktivitas yang biasanya kulakukan bersama Djentik kini digantikan oleh paman mudaku yang tidak berhak atas apapun pada raga istriku. Perlahan aku melangkah mundur dengan kecemasan yang hampir tak terkendali. Degub jantungku seakan menggebrak-gebrak rongga paru-paru diikuti hancurnya hati yang tidak bisa dijelaskan dengan apapun. Bagiku, semua terasa sakit dan berat bahkan hanya sekedar ingin memindahkan langkah kaki. Bila ditanya, apa yang kuinginkan setelah memergoki istri berselingkuh? Menodai janji suci ikatan pernikahan kami? Yang kumau hanyalah dia segera mati! Bila ia mati aku merasa lega karena membuatnya kalah telak dan tidak lagi bisa merasakan indahnya surga dunia. Berganti kepedihan dari cambukan sang penjaga dunia keabadian. Dengan tangan gemetar, detak jantung diluar kewajaran, dan pandangan yang berputar-putar, aku merogoh kunci motor yang tersimpan di saku celana. Namun sayang, kunci terjatuh dan menimbulkan suara nyaring. "Bodoh!" Gumamku lirih dengan mata waspada menoleh ke arah pintu kamar pamanku dan Djentik berada. Segera kupungut kunci itu lalu berjalan sempoyongan menuju motorku yang terparkir di tepi jalan. Wujud nyata motor istriku yang terparkir di halaman rumah paman mudaku membuat emosi dan kekecewaanku membuncah ruah. Andai aku punya kekuatan super, ingin kupindah motor Djentik saat ini juga ke sebuah dealer. Dari pada dipakai untuk menemui selingkuhannya. Jika Djentik menjadi simpanan pamanku mengapa masih ingin bersamaku? Bahkan masih melakukan tugasnya menjadi seorang istri? Apa maksudnya? Baru saja aku menarik stang gas, air mataku luruh seketika tanpa bisa dibendung lagi. Bulir bening itu terus keluar dari kelopak mata hingga aku terlihat seperti pria cengeng yang tidak tahan banting. Bukan begitu! Aku menangis karena tidak percaya jika tubuh istriku ternyata ikut dinikmati lelaki lain. Padahal yang lebih berhak atasnya adalah aku, suaminya! "Sejak kapan kamu berkhianat Djentik? Sejak kapan?!" Air mata kehancuran ini tumpah begitu deras sama persis saat ibu memilih meninggalkanku bersama bapak di rumah sekitar dua puluh tiga tahun silam. Meninggalkanku dengan segudang trauma akibat pertikaian mereka yang terlalu egois lalu memilih menangnya sendiri. Lagi-lagi, perceraian hanya akan menimbulkan kehancuran untuk anak-anak mereka. Kala itu, bapak sering menyiksa ibu di rumah karena tidak becus mengurus rumah. Bukan tidak becus, melainkan ibu lelah karena harus mengurus aku dan kedua kakakku yang usianya tidak terpaut jauh. Sedang bapak tidak mau membantu dan banyak mengajukan tuntutan. Alhasil ibu geram namun bapak tidak terima. Bapak kerap melukai ibu di depan mataku tanpa tahu malu atau khawatir bila mentalku terguncang. Kekerasan dalam rumah tangga yang tidak seharusnya dipertontonkan pada anak mereka sendiri yang berusia balita. Hingga pada satu titik lelah, ibu memilih berselingkuh dan meninggalkan anak-anaknya yang masih belum mandiri. Beruntung kedua kakaku tidak mengalami guncangan mental, sedang aku yang paling terluka hingga dianggap gila. Karena saat itu aku sangat membutuhkan kasih sayang ibu akhirnya aku dititipkan di rumah bibi yang juga memiliki banyak anak. "Aku benci begini!" Geramku sambil mencengkeram kuat kepalaku yang terus mengulang mimpi buruk itu. "Kamu benar-benar istri nggak tahu diri Djentik! Kamu bikin usahaku selama bertahun-tahun untuk sembuh berakhir sia-sia!" "Kamu mengkhianati pernikahan kita! Sumpah kita! Kamu bikin aku kembali sendirian dirangkul kesepian, pengkhianatan!" Lalu bayangan Djentik sedang dinikmati oleh pamanku justru menari-nari di dalam benakku. Kini aku tidak memiliki kendali apapun karena Djentik telah memilih menenggelamkan dirinya dalam dosa perselingkuhan. Meski aku seorang suami yang berhak mengatur istri, tapi bila ia menginginkan pengkhianatan ini terjadi, maka aku bisa apa? Ketakutan akan kembali hidup tanpa kasih sayang kini menambah runyamnya hatiku. Kedua saudaraku tidak bisa diandalkan karena memilih tutup mata akan keadaanku sejak lama. Sedang bibi yang mengasuhku selama ini telah tiada dua tahun lalu. Kini, tanpa dukungan kerabat dekat bisakah aku kembali berdiri tegak setelah apa yang Djentik lakukan? Dan butuh berapa banyak obat dan waktu agar aku bisa kembali normal? Dan pada siapa aku bisa mengadukan kerisauan ini? Kelebat Fay, putriku, yang tengah menangis membuatku segera mengusap kasar air mata lalu memacu laju motorku menuju sekolahnya. Persetan dengan tugasku mengajar di jam ketiga. Karena nasib putriku lebih utama, dan ibunya memilih menelantarkannya demi melayani pria yang bukan suaminya. Dimana hati dan nalurinya sebagai seorang ibu? Sungguh durjana iblis bernama Damsin yang diperintahkan oleh tuannya untuk membisikkan godaan perselingkuhan pada setiap pasangan suami istri. Dia berhasil membuat Djentik hilang arah dan liar seperti singa betina yang telah lama puasa dan dipenjara. Setelah menuruni motor di halaman sekolah putriku yang telah sepi, aku memilih jongkok sesaat untuk menetralkan degub jantung akibat kecemasan bercampur amarah. Tidak sopan rasanya bertanya pada ibu guru dengan kondisi gemetar dengan nafas yang memburu. "Tenang Nararya, tenang! Ingat Fay! Ingat Fay!" Gumamku sambil memejamkan mata. Syukurlah aku lebih tenang tapi tidak dengan kecemasanku yang masih saja mendominasi. Ini adalah kejadian pertama sejak psikiater mengatakan aku sudah membaik sepuluh tahun silam. Wajar jika aku tidak bisa mengontrol diriku dengan cepat karena serangannya sangat mendadak. Lalu dering ponselku menginterupsi di saat yang tidak tepat, dan itu berasal dari Suseno, rekan sesama guru. Dia pasti diminta kepala sekolah untuk menghubungiku karena jam mengajar kutinggalkan tanpa ijin. Yah, aku tidak bisa berpikir jernih bahkan sekedar meminta ijin tidak mengajar karena mengurusi masalah rumah tangga saja aku tidak ingat. Yang ada di dalam otakku hanyalah Fay dan betapa teganya Djentik melakukan ini padaku. "Ha...halo?" Ucapku dengan nada bergetar gugup. "Nar, kamu dimana? Anak-anakmu pada nyariin tuh." Menghirup nafas dalam-dalam lalu mengelurkannya perlahan sembari mengatur nada bicara agar tidak terlihat gugup. "Sus, to...long kamu gantiin." "Maksudmu gimana sih Nar? Aku kan guru Kimia, masak di suruh ngajar Geografi?" Aku kembali mengatur diri sendiri yang belum kunjung membaik. "Sus, to...long. Seka...li ini aja. Aku...jemput Fay." "Kamu ini kenapa sih Nar? Bicara kayak orang gagap?" Mungkin membuka rahasia pada Susesno adalah jalan terbaik dari pada dipendam sendiri. "Istriku selingkuh. Nanti...aku ceritain." Selanjutnya, kumatikan sambungan telfon tanpa salam lalu berdiri dengan nafas yang masih memburu dan pandangan kabur. Beginilah susahnya penderita PTSD jika kambuh, ditambah aku sedang seorang diri tanpa penyemangat. Dengan langkah gontai seperti lelaki belum makan, aku berjalan menuju ruang guru yang masih terbuka meski kelas putriku telah usai. Sambil berteriak marah dalam hati mengapa Djentik tega menelantarkan putrinya di sekolah yang telah sepi? Bagaimana jika Fay diculik orang lalu organ tubuhnya dijual? Astaga! Aku tidak bisa membayangkan itu terjadi pada putriku. Lalu serangan kecemasan itu kembali hadir hingga kedatanganku diketahui salah satu guru putriku. Dengan hati-hati beliau membantuku untuk duduk di ruang guru dan memberiku minum. Ternyata, putriku berada di dalam ruang guru bermain seorang diri. Melihatnya yang lucu dan tanpa dosa, aku menghampirinya dengan tertatih lalu memeluknya erat sambil menumpahkan air mata. Biarlah ibu-ibu guru putriku melihat kerapuhanku saat ini. Karena aku tidak bisa menahan ledakan emosional ini lebih lama. Meski Fay ikut menangis karena ulahku, tetap saja aku terus memeluknya. Kini, apa yang harus kulakukan? Memaafkan Djentik dengan alasan Fay yang membutuhkan dia atau aku menceraikan Djentik atas nama pengkhianatan dan sakit hati? Tetapi, jika aku menceraikan Djentik, siapakah yang akan mengurus Fay?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD