7) JANGAN PANGGIL AKU OM

1531 Words
Setelah malam yang panjang—penuh percakapan yang mengalir, tatapan yang terlalu jujur, dan sentuhan yang menabrak batas—ditambah pagi yang sempat canggung namun tetap hangat, segalanya akhirnya tiba pada tahap ini: sebuah diam yang saling memahami, walau belum benar-benar tahu ke mana arah semuanya akan pergi. Cahaya matahari menembus tirai tipis kamar hotel itu, menyinari sudut-sudut ruangan yang kini tampak jauh lebih rapi. Seprai sudah dibenahi seadanya, cangkir kopi masih mengeluarkan uap tipis, dan aroma lavender dari diffuser di meja samping memberi kesan tenang. Di dekat jendela, sarapan telah tertata rapi: dua piring berisi roti panggang, telur orak-arik, potongan buah segar, dua gelas jus jeruk, dan dua cangkir kopi hitam. Sunyi, tapi tidak kosong. Seperti ada sesuatu yang masih menggantung di udara, belum selesai. Keira duduk di tepi tempat tidur dengan punggung sedikit membungkuk. Di depannya, sebuah kotak kecil terbuka, memperlihatkan sepotong gaun satin hitam bergaya cheongsam dengan motif bunga-bunga lembut berwarna merah tua dan emas. Potongannya halter neck—mengekspos bahu dan punggungnya dengan anggun—dan menyempit di pinggang sebelum jatuh lembut di atas lutut. Itu adalah pilihan Delon. Dibeli terburu-buru dari butik di lantai bawah hotel. Ia tidak ingin Keira pulang mengenakan pakaian semalam—terlalu kentara, terlalu banyak kemungkinan. Sekarang Keira sudah mengenakannya. Rambutnya masih sedikit lembap, diikat setengah ke atas dengan sisanya menjuntai ke bahu. Jemarinya menggulir layar ponsel dengan gerakan pelan, matanya penuh kelelahan tapi tidak kehilangan sinar. Puluhan notifikasi menumpuk. Pesan dari Mami dan Papinya, tumpukan missed call dari Sheena—belasan, dari semalam hingga pagi ini. Beberapa teman lain juga ikut mencoba menghubungi. Wajar. Ia menghilang tanpa kabar. Dan Keira tahu betul, di antara orang-orang itu, Sheena adalah yang paling histeris ketika kehilangan jejaknya. Ia menghela napas panjang. Handuk kecil yang tadi ia gunakan untuk mengeringkan rambut masih melingkar di leher. Saat itulah, suara pintu kamar mandi terbuka terdengar. Delon keluar, rambutnya sedikit basah, wajahnya bersih, dan pakaian santainya terlihat kontras dengan kesan maskulin yang tetap tak bisa ditutupi. Kaus panjang abu gelap menempel lembut di tubuhnya, dan celana tidur berbahan katun memberi kesan santai. Tapi sorot matanya... tetap tajam, dewasa, dan entah kenapa, terasa lebih tenang dibanding kemarin. Ia berjalan ke arah meja, menuangkan kopi ke cangkirnya, lalu menatap Keira dari balik uap hangat minuman itu. Hanya senyum kecil yang ia berikan—singkat, tapi cukup membuat Keira merasa diperhatikan. Ponsel Keira tiba-tiba berdering. Ia menatap layar dan mendapati nama Sheena muncul di sana, disertai ikon panggilan yang sudah keempat kalinya dalam lima belas menit terakhir. “Moshi... moshi....” ucapnya pelan, mencoba terdengar santai. Tapi baru dua detik, suara Sheena dari seberang langsung memekakkan telinganya. Keira refleks menjauhkan ponsel. Bahkan Delon ikut mendongak sedikit, menahan tawa. “Masih hidup, tenang aja,” jawab Keira cepat. “Gue cuma nginep di salah satu kamar. Malas balik, capek.” Sheena, tentu saja, tidak puas. Ia langsung bertanya, dengan siapa. Keira melirik Delon—yang sedang meminum kopinya sambil memutar bola matanya dengan geli—dan menjawab cepat, “Sendiri, lah. Siapa lagi.” Ia tak mungkin bilang yang sebenarnya. Bukan karena takut, tapi karena tahu benar konsekuensinya. Jika Sheena tahu, maka bukan hanya omelan panjang yang datang, tapi mungkin juga ancaman untuk menyusul ke hotel dengan koper dan segepok pertanyaan. Bisa-bisa liburan mereka batal. Tapi lalu, seperti biasa, Sheena kembali impulsif. Ia mengusulkan keberangkatan ke Paris dimajukan. Ia ingin liburan lebih panjang, menikmati butik-butik di Champs-Élysées, croissant di pagi hari, dan mungkin lanjut ke Milan untuk berburu tas-tas baru. Keira langsung setuju. Ia butuh rehat. Ia butuh pergi. Mereka sepakat bertemu di bandara malam ini, dan setelah panggilan ditutup, Keira menatap kosong ke arah jendela. “Pergi ke mana?” suara Delon memecah hening. Pria itu mengambil handuk yang masih ada di tubuh Keira, ia kemudian meletakkan di atas meja rias dengan rapi. “Paris. Sama Sheena.” jawab Keira singkat sambil berdiri. Ia mulai membereskan barang-barangnya: ponsel, charger, tas kecil berisi makeup. “Aku harus ke rumah dulu. Kemas-kemas, ganti baju, terus langsung ke bandara.” Delon terdiam. Matanya mengikuti setiap gerakan Keira—tenang, tapi seolah ada sesuatu yang ingin ia tahan. Lalu, pelan, ia berkata, “Kei... ada yang mau aku omongin.” Keira menoleh sebentar. “Om mau ngomong apa? Kalau soal tanggung jawab, aku nggak mau denger ya. Kita sama-sama mau. Lagian, aku juga yang mancing duluan.” Delon tersenyum kecil, pahit. “Panggil aku Delon. Jangan pakai ‘Om’.” Keira berhenti memungut tasnya. Menatapnya. “Serius,” lanjut Delon. “Kamu manggil ‘Om’, rasanya kayak... aku b******n banget. Aku tahu aku jauh lebih tua. Tapi aku nggak mau merasa kayak sugar daddy kamu. Aku... aku pengen ini terasa nyata, bukan transaksional atau semu.” Keira memandangi wajah Delon, mencari celah dalam ekspresinya yang kali ini terasa sangat jujur. Lalu ia tertawa pelan, sedikit meledek. “Delon, huh? Ya butuh waktu sih... Tapi noted.” Delon berjalan mendekat. Ia berdiri di hadapan Keira, menatapnya sebentar, lalu membuka lengannya. Tak perlu kata-kata. Keira langsung melangkah ke dalam pelukannya. Pelukan itu hangat, dalam, tidak buru-buru, dan tak berusaha menjanjikan apa pun. Ia hanya ingin Keira tahu... bahwa meski semuanya rumit, ia peduli. Sangat. Satu tangan Delon naik ke belakang kepala Keira, membelai rambut yang mulai kering. Lalu, perlahan, ia mengecup keningnya. Lama. Diam-diam. Tak perlu suara, karena perasaan mereka pagi ini terlalu jernih untuk dibicarakan. Keira memejamkan mata, menyimpan kehangatan itu sejenak sebelum berbisik, “Aku harus pergi.” Delon mengangguk. Melepaskan pelukannya perlahan, seakan masih ingin menahannya satu menit lagi. “Jaga diri di sana. Dan... jangan bikin aku khawatir.” Keira hanya tersenyum. Ia melangkah ke pintu, lalu menoleh sekali lagi. “Oh, satu lagi,” katanya dengan mata yang menyiratkan keisengan, “Kalau nanti lo kangen... jangan sok cool. Chat aja. Gue bales—asal nggak pas lo nyebelin.” Delon terkekeh pelan. “Deal.” Begitu suara pintu tertutup dan langkah kaki Keira menghilang sepenuhnya di lorong luar, Delon masih berdiri di tempat. Tangannya tetap menggantung di sisi tubuh, dan untuk beberapa detik ia tidak melakukan apa-apa—hanya menatap pintu itu, seolah berharap perempuan itu akan kembali membukanya dan bilang kalau ia hanya bercanda soal pergi. Tapi pintu tetap diam. Sunyi kembali melingkupi kamar hotel, hanya diisi dengungan halus AC dan detak jarum jam digital di nakas. Delon menarik napas dalam, lalu membuangnya dengan berat. Ia duduk di tepi tempat tidur, mengusap wajah dengan kedua tangannya—perlahan, seperti seseorang yang baru saja tersadar dari mabuk. Bukan mabuk alkohol, tapi mabuk karena momen, karena hasrat, karena seseorang yang datang tiba-tiba dan membuatnya lupa bagaimana jadi pria logis berusia 48 tahun. Matanya melirik ke sekitar. Seprai yang sedikit kusut. Cangkir kopi milik Keira yang belum disentuh. Gaun semalam milik Keira yang terlipat seadanya di sofa kecil. Dan parfum samar yang masih tertinggal di udara—aroma khas yang kini seperti menempel di hidung dan pikirannya. “Gila,” gumamnya pelan sambil menggeleng pelan. “Gue beneran gila.” Ia mengacak rambutnya sendiri, lalu tertawa—sendiri, kecil, tapi penuh rasa tidak percaya. Ini bukan dirinya. Bukan versi Delon yang biasa ia tampilkan ke dunia: dingin, rapi, berjarak. Tapi tadi malam... semalam itu, semuanya pecah. Ia membiarkan dirinya jatuh. Menanggalkan kendali. Bahkan mengakui kelemahannya. Semuanya karena satu perempuan muda yang—entah bagaimana caranya—masuk ke hidupnya tanpa permisi. Ia memejamkan mata, membiarkan bayangan semalam kembali seperti film pendek yang berputar pelan di kepala: tangan Keira yang dingin saat pertama kali menyentuh pipinya, matanya yang menyala saat berdebat kecil soal prinsip, napasnya yang dekat ketika mereka terlalu lama saling menatap. Lalu... bibirnya yang akhirnya terlalu dekat untuk dihindari. Delon membuka mata lagi. Pandangannya kosong, tapi ada sisa hangat di situ. “Satu malam,” katanya pelan, “dan rasanya kayak dijungkirbalikkin.” Ia berdiri, berjalan ke jendela, menyingkap tirai, dan menatap keluar. Kota mulai ramai. Mobil lalu lalang, orang berjalan cepat di trotoar, kehidupan terus bergerak seperti biasa. Seolah tidak ada yang tahu bahwa tadi malam, di kamar ini, seorang pria nyaris lima puluh tahun membiarkan dirinya terlepas dari versi dirinya yang selama ini ia kunci rapat-rapat. Ia bersandar di kusen jendela. Memandang langit pagi yang perlahan mulai cerah. “Harusnya gue nggak selemah ini,” katanya pada dirinya sendiri, nada suaranya datar tapi mengandung perlawanan. “Harusnya gue bisa mikir. Bisa nahan. Bisa... nggak terlibat.” Tapi bagian lain dalam dirinya—yang lebih jujur dan lebih sunyi—hanya membisikkan kenyataan: Dia butuh itu semalam. Bukan hanya tubuh, tapi kehadiran. Tatapan. Seseorang yang tidak menghakimi. Seseorang yang tidak melihatnya sebagai CEO, atau ayah dari Elang, atau pria yang hidupnya penuh skandal media dan warisan tanggung jawab. Keira... tidak melihat dia sebagai siapa-siapa, selain Delon. Dan itu justru yang membuatnya runtuh. Ia kembali ke meja, mengambil cangkir kopi miliknya. Sudah dingin. Tapi ia teguk juga. Pahit. Tapi nyata. Persis seperti apa yang ia rasakan sekarang. Sambil menatap cangkir itu, ia kembali bergumam, kali ini lebih jujur dari sebelumnya. “Delon, lo beneran tolol.” Dan untuk sesaat... ia tertawa lagi. Pahit. Tapi juga lepas. Karena yang paling ia takutkan kini bukan sekadar apa yang telah terjadi. Melainkan, apa yang akan ia rasakan... kalau Keira tak kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD