2) RENCANA

1658 Words
Keluarga Wiranata bukan keluarga biasa. Mereka adalah bagian dari satu persen teratas yang tak sekadar kaya—tapi punya kuasa. Nama besar mereka tertulis di banyak papan direksi perusahaan besar, dari properti, tambang, hingga teknologi. Keluarga konglomerat yang tak pernah benar-benar muncul di media, tapi diam-diam mengendalikan banyak hal dari balik layar. Mereka tinggal di kawasan Dharmawangsa, Jakarta Selatan. Sebuah rumah besar bergaya kolonial modern berdiri di tengah lahan hampir satu hektar, dikelilingi pagar tinggi dan pepohonan rindang. Bukan tipe rumah mencolok yang suka pamer kemewahan, tapi siapa pun yang tahu… tahu. Keira Wiranata adalah satu-satunya anak dari pasangan Jonathan Wiranata dan Maria Alexandra. Sejak kecil, dia tumbuh di antara grand piano, sekolah internasional, dan liburan musim panas ke Eropa. Tapi dia bukan gadis yang manja atau suka memamerkan nama belakangnya. Justru sebaliknya. Keira dikenal sebagai pribadi yang mandiri dan cerdas. Ia lulus lebih cepat dari jurusan Komunikasi di universitas swasta ternama, lalu bekerja sebagai strategic planner di sebuah agensi iklan besar—bukan perusahaan milik keluarganya. Dia bisa saja duduk manis di kursi direksi holding keluarga, tapi Keira lebih memilih membangun namanya sendiri dari bawah. Usianya baru 23 tahun, tapi dia sudah jadi salah satu planner termuda dengan klien-klien besar di tangannya. Dia perfeksionis, berani, dan tenang. Terlalu tenang, hingga banyak orang salah mengira bahwa hidupnya tak pernah retak. Tapi bahkan berlian pun bisa pecah—kalau ditekan dari sisi yang paling tak terduga. Dan malam itu, setelah pengkhianatan Elang, semua lapisan elegan yang menyelimuti Keira mulai retak perlahan-lahan. °°° Satu minggu sudah berlalu sejak nama Keira Wiranata jadi trending topic nasional. Semua akun gosip, podcast seleb, dan forum netizen berisik membahas satu hal yang sama: Elang Atmadja selingkuh. Dan yang lebih viral lagi—cewek yang jadi selingkuhannya adalah Elin, mantan teman Keira sendiri, yang sekarang... sedang hamil. Skenario sinetron? Sayangnya bukan. Keira tidak membuat klarifikasi. Tidak ada video berdurasi satu menit penuh air mata atau cuitan panjang dengan catatan “mohon hormati privasi saya.” Ia hanya... diam. Tidak karena takut, tapi karena dia tahu: netizen akan selalu lapar. Mereka tidak butuh kebenaran, mereka butuh tontonan. Dan Keira menolak jadi tontonan. Hari itu, matahari Jakarta bersinar cukup bersahabat. AC di dalam mall premium Galleria Jakarta terasa seperti spa pribadi bagi para sosialita. Keira duduk bersama Sheena Malika di sebuah kafe Prancis bernuansa ivory dan gold, menghadap ke atrium utama yang dipenuhi orang-orang berdandan seperti cover majalah. Di atas meja mereka: dua iced oat latte dalam gelas tinggi, sepiring croissant almond setengah dimakan, dan satu kotak kecil berisi bros Chanel baru yang tadi “tidak sengaja” dibeli Keira. Keira mengenakan kacamata hitam Dior dan tank top linen putih bersiluet halus, ditimpa blazer tipis Alexander McQueen yang tersampir manja di bahunya. Sheena tampil effortless dalam crop denim jacket Balenciaga dan sneakers Off-White edisi terbatas, rambutnya diikat high bun acak seperti baru selesai sesi pilates—padahal baru dari valet. “Kacau ya hidup lo sekarang,” celetuk Sheena sambil mengaduk kopi tanpa menyentuh sedotan. Keira menyeringai tipis. “Thanks. Gue juga cinta banget sama hidup lo yang selalu ngingetin gue betapa berantakannya hidup gue.” Sheena tertawa pendek. “Yaa at least lo dapet cuti. Kalau gue yang kayak lo, gue udah check-in di Amanjiwo atau healing ke Maldives sambil ngelempar HP ke laut.” “Gue malah pengen ke tempat yang sinyalnya 0 bar. Tapi Papi bilang jangan. Banyak mata katanya. Keluarga Wiranata harus tetap berdiri elegan, even when it’s burning.” Sheena memutar matanya. “Keluarga lo tuh udah kayak Kardashians versi elite. Tapi lebih kalem dan proper.” Mereka tertawa kecil, lalu diam sejenak. Keira mengangkat gelasnya, menyeruput minuman tanpa terburu-buru. Sampai akhirnya Sheena menatapnya penuh arti. “Ngomong-ngomong... lo udah baca gosip baru soal keluarga Atmadja?” Keira mengerutkan alis. “Gue udah muak sama semua yang ada nama Atmadja-nya, jujur.” Sheena mendekat sedikit, suaranya mengecil tapi penuh api. “Delon. Atmadja. Bokapnya Elang.” Keira diam sejenak. Nama itu sudah terlalu familiar. Delon Atmadja, usia 48 tahun, CEO Atmadja Group. Miliarder, mantan model cover majalah bisnis, dan duda berkarisma tinggi sejak istrinya meninggal sepuluh tahun lalu. Punya rumah sebesar museum di kawasan Menteng dan koleksi mobil klasik yang bisa bikin Sultan Brunei iri. “Kenapa dia?” tanya Keira, tetap datar. Sheena bersandar di kursi sambil memainkan sedotan. “Rumornya... dia yang damage-control semua skandal anaknya. Tim PR Atmadja Group yang ngatur narasi di media, yang nge-push semua opini publik biar Elang keliatan kayak korban.” Keira mendengus pelan. “Typical.” “Dan yang lebih gila lagi,” Sheena melanjutkan dramatis, “katanya, dia udah minta maaf langsung ke Papi lo. Ada private dinner—kelas dewa—antara keluarga Atmadja dan keluarga Wiranata. Lo nggak tau?” Keira mengernyit. “Papi belum bilang apa-apa soal itu. Mungkin karena dia tau gue bakal naik darah.” Sheena menyikut lengan Keira. “Lo sadar nggak sih... lo tuh hampir jadi mantu Delon Atmadja. That man is 48, but looks like a billion-dollar Bond villain. Gue aja yang bukan siapa-siapa bisa kering liat dia.” Keira memelotot. “Sheen, ew.” “Gue nggak bilang lo harus ngedeketin dia, ya. Tapi... kalau bukan Elang, siapa tau takdir lo justru papinya? Bayangin aja: lo jadi nyonya Atmadja, tapi... versi boss level.” Keira langsung menutup wajahnya pakai napkin. “Gue trauma, makasih.” Sheena tertawa keras sampai nyaris menumpahkan kopi. “Ya udah ya, cuma becanda. Tapi serius, Kei. Lo harus tau permainan mereka bukan cuma Elang doang. Ada Delon di balik layar.” Keira terdiam. Matanya menatap atrium mall yang masih dipenuhi orang sibuk. Mungkin Sheena ada benarnya. Ini bukan lagi soal patah hati. Ini udah masuk ranah permainan kelas atas. Dan Keira... harus belajar cara bermainnya juga. Beberapa saat berlalu, Keira dan Sheena melanjutkan obrolan mereka seperti dua orang yang sudah lama tidak tertawa lepas. Mereka membahas banyak hal—dari rencana cuti yang diperpanjang, tren fashion Prancis musim panas ini, sampai ide dadakan untuk menyewa vila di Luberon demi “healing maksimal”. Sheena menarik napas panjang dan bersandar ke kursi. “Gue serius lho, Kei. Kita harus cabut. Bayangin aja, lo duduk di taman kebun lavender sambil minum rosé, terus ada orang Prancis random main gitar di bawah pohon zaitun.” “Terus tiba-tiba ada cowok tampan dari Avignon jatuh cinta sama gue dalam tiga hari,” tambah Keira, setengah bercanda. Sheena menjentikkan jari. “Oui, madame! Itu dia. Lo butuh soft life, bukan drama percintaan Indo yang penuh bocoran chat dan testpack palsu.” Keira tertawa geli. “Tapi serius, Prancis kedengeran tempting banget. Provence, Loire Valley, atau sekalian ke Paris. Kita bisa spa dua hari, terus shopping sampe dompet minta tobat.” Sheena mengangguk mantap. “Lo nggak usah mikir dinner keluarga Atmadja lagi. Trust me, lebih baik kita makan croissant di Saint-Germain daripada foie gras sambil pura-pura senyum ke orang yang lo tau diam-diam nutupin skandal anaknya.” Keira hampir menyemburkan minumannya. “Astaga, Sheen…” Sheena menaikkan alis, lalu mulai berimajinasi lagi. “Tapi, balik lagi ke topik awal. Gue serius. Bayangin aja lo jadi mertua dari si Elin. Lo duduk di meja makan, dia manggil lo Mami Keira. Terus lo jadi penguasa baru di keluarga Atmadja.” “Mulai... mulai,” gumam Keira sambil melirik ponselnya yang baru saja menyala dengan beberapa panggilan tak terjawab—dari Papi, satu dari asistennya, dan satu dari nomor yang tidak dikenalnya. Tapi Sheena belum selesai. “Tapi seru sih. Nih ya, skenario absurd. Lo nikah sama Delon Atmadja. Langsung jadi istri CEO. Bonus: anak, menantu, di-combo sama cucu. One package deal!” Keira memelototinya. “Gue trauma, Sheen. Tolong jangan jadikan drama hidup gue jadi plot sinetron.” Sheena mengangkat tangan. “Gue cuma kasih lo opsi karir jangka panjang. Lo bisa langsung masuk daftar top-tier MILF influencer di Indonesia. Followers lo pasti tembus sejuta dalam semalam.” Keira tertawa sambil menutupi wajahnya. “Lo butuh terapi.” “Gue tahu. Tapi sebelum terapi, kita ke Prancis dulu.” Tawa mereka pecah lagi, makin kencang. Suasana sore yang awalnya hanya untuk ngopi cantik kini terasa seperti terapi emosional terbaik yang bisa Keira minta. Setidaknya, dia tidak merasa sendirian. Tapi kemudian— Langkah tenang terdengar dari belakang. Bukan keras, tapi cukup kontras dari hiruk-pikuk mall sore itu. Seolah semesta sedang memencet tombol dramatic timing. Seorang pria—tinggi, elegan, dengan aura yang tak bisa diabaikan—berjalan melewati meja mereka. Kemeja putihnya digulung sampai siku, celana abu-abu tailored membingkai posturnya dengan presisi, dan jam tangan klasik yang menempel pas di pergelangan tangannya hanya memperkuat kesan: berkelas, mapan, dan sangat sadar dengan keberadaannya. Wajahnya familiar. Delon Atmadja. Sheena langsung refleks memegang lengan Keira. “Kei... itu...” Keira menoleh perlahan. Dunia seakan melambat sejenak. Delon berdiri tak jauh dari mereka, sedang berbicara dengan seseorang dari timnya di ujung lounge. Tapi begitu dia melirik ke arah meja mereka—matanya bertemu dengan Keira. Tatapan mereka saling mengunci. Dan di momen itu, tidak ada lagi suara Sheena, denting gelas, atau hiruk pikuk pengunjung mall. Yang ada hanya dua pasang mata yang saling mengakui satu hal diam-diam: mereka tidak akan bisa sepenuhnya menghindari satu sama lain. Delon mengangguk pelan. Sopan. Tidak berlebihan. Seolah berkata: Aku tahu siapa kamu, dan aku tahu kamu tahu siapa aku. Keira membalas dengan anggukan kecil pula, lalu buru-buru memalingkan wajah, mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa naik setengah oktaf. Sheena masih terdiam, lalu tiba-tiba berbisik pelan, “Lo ngerti nggak... seandainya hidup lo novel romansa, barusan tuh chapter turning point.” Keira meletakkan kopinya. “Sheen... fokus. Kita ke Prancis. Please.” Sheena hanya mengangguk cepat. “Yes. Liburan. Healing. Dan menjauh dari tatapan pria super karismatik yang secara teknis—mantan calon mertua lo.” Keira menatap sahabatnya. Kali ini, bukan karena frustasi... tapi karena dia sadar: dunia benar-benar kecil. Dan kadang, pertemuan yang terasa kebetulan... mungkin bukan kebetulan sama sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD