Sore itu, Bandara Soekarno-Hatta tidak hanya dipenuhi suara koper dan panggilan boarding. Ada sesuatu yang lebih mencolok sore ini—sesuatu—orang lebih tepatnya—yang membuat beberapa kepala menoleh, kamera diam-diam diangkat, dan bisik-bisik kecil terdengar di antara antrean panjang.
Keira dan Sheena berdiri di depan check-in counter kelas bisnis, tampak seperti dua tokoh utama yang baru keluar dari fashion week Eropa. Setiap detil penampilan mereka seolah dipilih dengan koreografi visual: serasi, berani, dan tak bisa diabaikan.
Keira tampil menawan dalam balutan mini dress satin putih, dihiasi lace transparan di area pinggang dan d**a—elegan, tapi tetap youthful. Layer tulle panjang menjuntai mengikuti langkahnya, menciptakan siluet gaun couture yang nyasar ke terminal. Di telinganya, earmuff bulu putih berpadu serasi dengan kulit bening yang memantulkan cahaya senja. Rambutnya ditata sleek dan lurus, menjuntai rapi di punggung, sehalus garis lukisan.
Sementara itu, Sheena adalah kontras sempurna. Edgy, tajam, dan nyaris intimidatif. Rambutnya diikat ponytail tinggi, diberi aksesori berkilau yang seperti pecahan bintang. Bralette hitam renda, celana pendek high-waist, dan long coat kulit menciptakan tampilan yang tak main-main. Earmuff hitam dan masker senada membuatnya tampak seperti tokoh dari film aksi yang sedang menyamar—dan semua orang tahu, menyamar itu percuma, karena siapa pun pasti akan menoleh dua kali.
“Astaga, akhirnya lo dateng juga,” cibir Sheena, menyilangkan tangan dengan gaya dramatis. Satu alisnya terangkat tajam. “Gue kira lo batal. Nggak ada kabar, tau-tau cuma bilang, ‘jemput koper dulu, Sheen.’”
Keira terkikik, menarik koper silvernya dengan santai. “Sumpah ya... gue punya cerita gila banget. Tapi janji, lo jangan teriak dulu.”
Sheena langsung melotot, antusias. “Apaan? Lo ke mana semalem?”
Keira menoleh kanan-kiri, lalu sedikit mendekat dan membisik, “Gue nginep... sama Delon.”
Waktu seakan berhenti sepersekian detik.
“APAAN?!” Tote bag Louis Vuitton-nya nyaris jatuh dari tangan. “LO... NGAPAIN?!”
Keira tertawa. Bukan malu, tapi lebih ke heran pada dirinya sendiri. “Iya, iya, beneran. Gue juga nggak ngerti kenapa bisa kejadian. Tapi ya... kejadian. Dan lo tau gak? Dia tuh surprisingly... attentive banget.”
Sheena memelotot, langkahnya mulai gelisah. “Lo becanda. Ini bukan level lo ngambil piring dari rumah mantan. Ini tuh... udah level kayak... nyulik mantan ortu lo sendiri!”
Keira angkat tangan seperti bersumpah. “Gue juga shock, sumpah. Tapi dia tuh... ya gitu deh. Ada momen-momen yang... bikin gue diem terus senyum kayak orang bego.”
Sheena langsung membawa Keira ke pojok ruangan lounge, seperti agen CIA sedang briefing. “Oke, listen. Ini udah masuk zona tarik-ulur tingkat dewa. Lo jangan gampang lumer. Kasih sinyal, iya. Tapi jangan langsung pasrah. Lo harus pinter ghost-in sedikit, slow reply, tapi jangan sampai kayak ngilang. Gitu. Paham nggak?”
Keira mengangguk, lalu terkikik geli. “Sheen... lo tuh kayak guru besar reality show percintaan. Gue cinta banget deh.”
Mereka tertawa lepas. Tegangan kecil itu pecah, diganti dengan langkah ringan menuju boarding gate. Koper ditarik, boarding pass di tangan, dan layar ponsel menyala siap mengabadikan.
“Sebelum naik, foto dulu. Gila sayang banget nih look kalo nggak masuk i********:,” ujar Keira sambil menata rambutnya.
Sheena udah standby dengan iPhone-nya. Mereka berdiri bersebelahan, satu dengan senyum calm classy, yang satu lagi tatapan fierce ala runway Milan. Jepret. Jepret. Jepret.
Satu foto terpilih langsung naik ke i********: Keira.
Caption: “Let’s raise hell in Paris 💋✈️ #bestieescape”
Dalam hitungan menit, like mulai berdatangan. Komentar pun membludak.
“DUA BIDADARI KEK GINI MAU NGAPAIN SIH DI PARIS?!”
“FASHION GODDESSES GOING GLOBAL 🔥🔥🔥”
“INI CUMA DI SINETRON NGGAK ADA SIH YANG KAYAK BEGINI.”
Tapi yang tak Keira prediksi... adalah DM yang masuk dua puluh menit kemudian.
Dari: Delon.
Isi:
“Kapan pulang?”
Disusul...
Satu foto. Mirror selfie. Sudut cermin kamar hotel yang ia pakai semalam. Fokusnya?
Bekas kissmark samar di lehernya. Sengaja. Tapi dibuat seolah nggak disengaja.
Jantung Keira langsung berdegup setengah ketukan. Senyum tadi perlahan memudar.
Sheena melirik. “Apaan sih? Mukalo kayak abis nonton plot twist HBO.”
Keira nyodorin layar. Dan Sheena?
“YAKAN GUE BILANG JANGAN BIKIN DIA KETAGIHAN CEPET-CEPET!!”
Tapi semuanya udah telanjur.
Karena permainan ini udah dimulai.
Dan jelas, Delon belum mau kalah.
Dengan jantung yang masih berdegup tak karuan, Keira menatap layar ponselnya seakan benda kecil itu adalah sumbu dari seluruh semestanya. Notifikasi DM dari Delon masih terpampang di sana—bersama sebuah foto yang bisa dengan mudah membuatnya menjerit. Tapi bukan karena rasa malu, bukan pula karena takut.
Melainkan sesuatu yang jauh lebih rumit:
Rasa bersalah... yang anehnya terasa manis.
Sheena, yang duduk di sebelahnya dengan ekspresi setengah panik, mendekat dengan wajah terbelalak.
“Gue bener-bener speechless sih,” gumamnya dengan nada nyaris frustrasi. “Itu cowok bukan cuma nempel, Keir—dia literally ngajak lo perang urat saraf.”
Keira mengembuskan napas dalam-dalam, tubuhnya terasa seperti tertimpa kabut tipis yang menggantung antara euforia dan kebingungan.
“Salah gue ya?” bisiknya. “Harusnya gue... nggak segila itu semalam.”
Sheena memelintir bibirnya sebelum akhirnya nyengir dengan wajah pasrah.
“YA IYALAH SALAH,” katanya dramatis. “Tapi juga... ya masa lo bukan manusia? Manusia kan kadang butuh... revisi naskah hidup.”
Kalimat itu membuat Keira tertawa lirih. Namun dalam pikirannya, kilasan semalam kembali terputar dengan brutal. Cara Delon meraih selimut dan menutupi tubuh mereka berdua. Cara ia duduk diam memandangi lampu kota dari balkon kamar, mengenakan jubah hotel, dengan aroma sandalwood samar menyelimuti udara. Dan tentu saja, cara dia menyusuri helai-helai rambut Keira dengan jari-jarinya yang hangat, seolah sedang menyentuh sesuatu yang miliknya sejak lama.
Ponselnya kembali bergetar.
Keira menunduk.
Pesan baru dari Delon.
Nikmati Paris-mu, ya. Tapi jangan terlalu lama.
Nanti aku nyusul.
Paris bisa dingin kalau gak ada kamu.
Keira melotot, tangannya langsung refleks menutup wajahnya.
“Astaga.”
“Apaan tuh?” tanya Sheena sambil menyosor penasaran.
Keira menyodorkan layar ponsel ke arahnya dengan ekspresi campur aduk.
“Sheen... dia mulai flirting mode.”
Sheena membaca pesan itu cepat-cepat, lalu refleks mengumpat pelan.
“GILA GILA GILA.”
Dia menatap Keira dengan ekspresi campur aduk antara syok dan kagum.
“Ini cowok kok... bisa-bisanya ngasih sweet threat kayak gini?!”
Keira menggigit bibirnya.
“Ini bahaya.”
Sheena mengangguk setuju.
“Ini candu.”
Tatapan mereka bertemu. Lalu tawa pun meledak—keras, lepas, seolah seluruh bandara bisa mendengarnya. Di antara koper, boarding pass, dan cahaya malam yang jatuh dari kaca-kaca besar terminal internasional, dua sahabat itu tak sadar bahwa mereka baru saja menandatangani sebuah perjanjian diam-diam:
Mereka resmi masuk dalam permainan yang jauh dari sederhana.
Romansa masa lalu... yang belum pernah benar-benar selesai.
Beberapa jam kemudian. Di atas pesawat.
Langit malam terhampar luas di balik jendela oval pesawat, menghitam dengan bias keperakan seperti kain beludru mewah yang dihamparkan Tuhan sendiri. Kabin redup, dibanjiri aroma lavender dari diffuser maskapai yang menyebar lembut. Penumpang mulai terlelap, tenggelam dalam kenyamanan kelas bisnis yang sunyi.
Keira, kini mengenakan hoodie putih oversized dan masker katun lembut, menyandarkan kepala di bahu Sheena. Tapi matanya tak bisa terpejam.
Pikirannya tertinggal.
Di Jakarta.
Di kamar hotel yang pagi tadi ditinggalkannya tanpa sepatah kata.
Di seorang pria yang—terlalu dewasa untuk disebut kesalahan, tapi juga terlalu menggoda untuk diabaikan sebagai awal yang baru.
Pelan-pelan, ia meraih ponsel dari pangkuannya. Jari-jarinya bergerak nyaris tanpa sadar, membuka kamera, lalu mengabadikan langit malam dari balik kaca jendela.
Ia mengetik satu kata.
Escaping.
Tak ada emoji. Tak ada filter. Hanya langit, dan dirinya yang masih melayang antara penyangkalan dan ketertarikan.
Ia hendak menutup layar saat sebuah notifikasi muncul.
Delon replied to your story: 🔥
°°°
Jakarta. Kamar Delon.
Ruangan itu sunyi.
Lampu gantung temaram memantulkan cahaya hangat ke dinding abu-abu, menciptakan bayangan samar di sekitar jendela kaca besar yang terbuka sedikit. Angin malam bertiup pelan, menggoyangkan tirai linen putih dengan gerakan lambat, seperti bisikan rahasia yang enggan hilang.
Delon duduk di kursi santai, mengenakan celana linen gelap dan kemeja putih yang digulung hingga siku. Gelas wine di tangan kanannya tinggal separuh. Ponsel menyala di meja sampingnya, dan matanya terpaku pada layar.
“Escaping,” gumamnya.
Satu kata yang bisa berarti banyak hal.
Atau satu hal saja, yang terlalu dalam untuk diucapkan.
Ia menyeringai. Bibirnya terangkat pelan, namun matanya tajam.
Lalu, dengan ketenangan yang justru mencurigakan, ia meneguk wine-nya.
“Lari sejauh apa pun, kamu tetap akan kembali, Keira.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Delon bisa duduk tenang—dengan tenang yang menipu. Karena yang dibangkitkan oleh semalam itu...
...bukan sekadar gairah, bukan sekadar nostalgia.
Tapi permainan psikologis.
Antara dua orang yang tahu persis bagaimana caranya membuat yang lain—
Jatuh lagi.
Jakarta. Pukul 02.17 dini hari.
Hujan turun tanpa suara.
Butirnya menari di luar jendela kamar Delon, membentuk pola acak di kaca yang dingin. Lampu tidur menyala redup di sudut ruangan, memantulkan cahaya kekuningan ke dinding, membuat bayangan ranjangnya tampak melengkung seperti pelukan yang tak pernah selesai. Di atas kasur berlapis linen kelabu, tubuh Delon terbaring setengah telanjang, hanya mengenakan kaus tipis dan celana tidur.
Ponselnya tergeletak tak jauh dari tangan. Layar mati.
Tapi pikirannya terus menyala.
Keira.
Nama itu berdengung di dalam kepalanya seperti mantra. Terus berulang, pelan tapi pasti, menghantam ketenangannya dengan kekuatan yang bahkan dirinya sendiri tak bisa pahami. Ini bukan rindu biasa. Ini... racun. Dan dia sedang keracunan dengan cara yang tidak bisa ia tolak.
“Sudahlah,” katanya pelan, nyaris tak terdengar.
Tapi tak ada yang benar-benar selesai saat ia memejamkan mata.
[Dalam mimpi.
Ia kembali ke kamar itu.
Bukan kamar yang ini, tapi kamar hotel semalam. Kamar yang sunyinya terasa berirama, diisi hanya oleh desahan napas yang tidak pernah ia lupa.
Langit di luar balkon berwarna jingga lembut, seperti dicat dari ingatan paling intim yang ia simpan. Angin berhembus membawa bau tulle basah dan parfum floral yang tipis tapi tajam—aroma Keira.
Dan di sana, ia berdiri.
Keira. Membelakanginya.
Mengenakan gaun satin putih yang tipis seperti kabut, leher dan pundaknya terbuka tanpa malu, rambut hitamnya terurai dan jatuh anggun di punggung telanjangnya.
Dia tidak menoleh. Tapi suaranya... suaranya menusuk.
“Lo selalu bangun telat, Delon.”
Nada suaranya lembut. Tapi tidak polos.
Ini suara perempuan yang tahu persis apa efek dirinya.
Dan Delon—bahkan dalam mimpi pun—tak bisa melawan.
Keira berjalan pelan ke arahnya, lalu duduk di tepi ranjang.
Gerakannya lambat, penuh perhitungan. Matanya tajam, tapi kulitnya halus seperti permukaan bulan. Ia merayap masuk ke balik selimut, seakan itu tempatnya sejak awal. Tangannya dingin—selalu dingin—tapi sentuhannya membakar seperti api.
“Kenapa diem?” bisiknya, jemarinya mulai menari pelan di d**a Delon.
Delon ingin menjawab. Ingin mengatakan, jangan pergi lagi, jangan jadi kabut, jangan Cuma mimpi. Tapi suaranya hilang. Mulutnya terbuka, tapi hanya napas berat yang keluar.
Keira tersenyum kecil.
Lalu mendekat, mencium bahunya.
Lehernya.
Helaian rambutnya menyentuh dagu Delon, membuatnya nyaris gemetar.
Lalu ia berbisik di telinga Delon—bisikan yang begitu pelan tapi mematikan.
“Lo nyari gue, kan?”
Dan tepat saat ia ingin meraih tubuh Keira, perempuan itu menjauh.
Menjauh seperti bayangan sore hari.
Keluar dari ranjang. Keluar dari kamar.
Ke luar pintu—tanpa suara, tanpa permisi.
Yang tertinggal hanyalah aroma samar tubuhnya di bantal.
Dan rasa kehilangan yang terlalu nyata untuk disebut mimpi.]
Delon terbangun.
Dadanya naik turun. Napasnya berat, seolah baru saja berlari.
Keringat dingin melapisi pelipisnya, membasahi tengkuk dan kerah kausnya.
Ruangan kembali gelap. Hujan masih turun.
Tapi Delon tahu.
Itu bukan sekadar mimpi.
Itu adalah panggilan tubuhnya.
Itu adalah penolakan tubuhnya untuk lupa.
Tangannya bergerak otomatis. Mengambil ponsel.
Layarnya menyala, dan di sana masih terpampang story terakhir Keira.
Langit malam. Dari jendela pesawat. Caption-nya satu kata.
“Escaping.”
Delon menatapnya lama.
Matanya tajam, tapi tidak marah. Tidak kecewa.
Hanya... haus.
Ia tersenyum miring. Tapi tak ada kebahagiaan di sana.
Yang ada hanyalah pengakuan yang ia tidak pernah ingin ucapkan:
“Sial. Gue ketagihan.”
Karena Keira bukan cuma mantan calon menantu.
Bukan sekadar perempuan dari masa lalu.
Keira adalah candu.
Dan Delon...
...sudah terlalu dalam untuk keluar.