STRIKE NUMBER?

605 Words
“Interview?” tanya gue tanpa basa-basi. Dia menoleh dan gue pura-pura pasang tampang polos. Lalu, dia celingukan. Woi... emang lo yang gue ajak ngomong. Nyahut kek! “Lagi nungguin giliran interview?” ulang gue keki. “Saya?” tanyanya. Ketika itu kami bersitatap. Alisnya terangkat sedikit. Mungkin bingung karena ada makhluk secantik gue tiba-tiba mengajak dia ngobrol. Dalam versi gue, menyelamatkan dia dari kebosanan. Versi dia? Emang gue pikirin. “Mbak nanya saya?” ulangnya, mungkin gara-gara gue enggak kunjung menjawab. Bego! “Yaiyalah, emangnya ada orang lain? Gue enggak demen ngajak dedemit ngobrol, kok.” “Oh.” Dia cuma jawab segitu. Gila... irit banget. “Experience atau fresh graduate?” Meneliti dari tampangnya gue yakin dia bukan golongan mahasiswa hijau baru lulus yang nyoba-nyoba melamar posisi auditor. Tapi, tetap aja gue tanya, biar gue tahu trik mana yang bisa gue pakai biar dia angkat kaki dari sini. “Enggak keduanya,” jawabnya. Bah! Bau-bau kandidat yang enggak pengalaman tapi enggak bisa dianggap hijau juga, nih. “Sudah pernah dengar tentang kantor ini?” “Arven Tanudiredja & Rekan?” “Itu nama kantornya,” sela gue. “Maksud gue, sebagai pelamar lo pasti punya ekspektasi. Nah... lo sudah tahu gimana jenjang karir di sini?” “Sama seperti KAP lainnya.” Gue berdecak. “Bukan gitu.” Matanya melebar, gue paham banget kalau itu reaksi orang-orang yang mau tahu. Gue sengaja menahan kata-kata, biar menimbulkan efek dramatis aja. “Gue cuma enggak mau lo nyesel.” “Kenapa harus menyesal?” “Di sini itu jenjang karirnya susah.” Gue ngomong sepelan mungkin. Takut juga gue kalau si Mila mendengar dan mengadu sama Pak Arven. “Bos di sini menaikkan karir berdasarkan faktor like dan dislike,” tambah gue. “Oooh.” Dia ber-oh lebih panjang, tandanya gue harus meneruskan. “Gue kasih tahu, ya, meskipun kerja lo bagus, tapi kalau bos enggak suka, lo tamat,” kicau gue, sambil memeragakan telunjuk memotong leher. “Pak Arven?” tanya dia. Gue mengangguk cepat. “Makanya, gue kasih tahu lo sekarang biar lo enggak mimpi ketinggian. Sakit banget jatuhnya.” “Kalau saya enggak berharap? Cukup melakukan pekerjaan sebaik mungkin?” “Enggak usah muna, mana ada manusia yang enggak doyan imbalan? Orang yang bilang kalau rezeki sudah diatur terus nyuruh mensyukuri yang ada itu cuma kamuflase. Palsu.” “Seperti Mbak?” Strike number one. Gue menggeleng penuh semangat. “Bukan. Asal lo tahu, gue senior auditor di sini. Orang lama. Gue kasih tahu lo karena gue enggak mau nanti lo naik ke atap terus lompat bunuh diri gara-gara kecewa.” “Pak Arven semengerikan itu?” “Jauh di atas itu. Kerjanya dia cuma satu...,” cecar gue, “...memastikan anak buah menderita.” “Mungkin karena Pak Arven terlalu jeli?” Strike number two. “Bandot tua itu bisanya cuma memerintah dan marah-marah.” “Kedengaran menyeramkan.” “Banget. Makanya, mending lo angkat kaki dan cari KAP lain. Gue cuma enggak mau nasib lo kayak teman-teman gue.” “Memangnya teman-teman Mbak kenapa?” “Mangkrak jabatan.” “Wah...,” dia berdecak, “terus Mbak sendiri? Naik jabatan?” Strike number three. “Gue solid,” kilah gue. “Enggak mau gue enak sendiri.” “Oooh.” Dia ber-oh panjang. “Inget nasihat gue. Jangan percaya janji-janji manis soal promosi di dalam nanti. Itu cuma jebakan k*****t buat mengikat kita. Tahu-tahu, kita susah ngelepasinnya.” Gue berdiri, dan gue tepuk bahunya. Lalu gue berlalu ke dalam. Gue merasa sudah melakukan perbuatan kebajikan. Menyelamatkan manusia dari pemerasan dan ketidakadilan Si Bandot Tua. Gue memang baik, kok. Mau protes?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD