Kehidupan Hita

1248 Words
[Kamu sudah menikah?] Balasan yang Hita dapatkan. [Iya, jadi aku harap kamu lebih menghargai itu.] Cepat jemari Hita mengetik pesan lalu mengirimkannya pada nomor yang belum ia simpan bahkan berencana untuk menyimpannya saja tidak. [Menghargai? Tentu saja, karena kamu adalah seseorang yang sangat berharga bagiku.] Kedua mata Hita membola saat membaca pesan yang kembali ia terima dari pemuda yang menurutnya aneh itu, mereka memang bernaung di perusahaan yang sama tetapi tidak saling mengenal secara personal hanya sekedar tahu media sosial masing-masing, itu pun tidak pernah saling bertegur sapa dan dalam berkarya mereka bisa dibilang adalah dua orang penulis yang sangat baik, karya-karya mereka pantas diacungi jempol tulisan rapi dan enak dibaca, alur cerita yang semuanya bagus dan memuaskan hingga karya mereka banyak dicari pembaca. Sesekali Hita yang karena penasaran mampir untuk membaca karya Arutala tanpa wanita itu ketahui jika semua karyanya telah menjadi bacaan wajib bagi pemuda itu, bahkan semua akun media sosial wanita itu adalah media yang selalu Arutala kunjungi beberapa kali dalam sehari, bagai seorang stalker Arutala pada Senja Suraduhita, karena pada wanita itu Arutala merasa menemukan sebagian hatinya yang kosong. Dari setiap huruf menjadi kata dan kata menjadi kalimat lalu kalimat-kalimat itu menjadi sebuah cerita, Arutala jatuh cinta. Sama sekali tidak berniat membalas pesan itu, Hita lebih memilih bangun dari rebahannya lalu ke kamar mandi yang ada di sudut kamarnya, ia ingin menyegarkan tubuh lelahnya karena hari memang sudah menjelang sore mungkin setelah itu agendanya adalah menyiapkan makan malam, untuk dirinya dan sang suami yang sudah dua hari ini tidak ditemuinya. . Keluar kamar mandi dengan tubuh lebih segar yang hanya berbalut kimono handuk dan sebuah handuk melilit rambutnya yang basah, perhatian Hita tertuju pada ponselnya yang menyala dia atas kasur posisinya masih sama seperti saat ia tinggalkan tadi. Tentu saja karena dia hanya sendiri di rumah itu kalau pun tidak, tidak ada seorang pun yang akan memasuki kamarnya kecuali Mbak Mimi orang yang biasa datang dua hari sekali ke rumah itu untuk membantunya bersih-bersih. Hita mengambil ponselnya, tidak mau terus abai karena takut pesan yang baru saja masuk adalah pesan dari sang suami. Benar saja dugaannya ada dua pesan yang ia terima dari sang suami dan dari nomor yang baru saja mengganggunya, nomor Arutala. [Kamu sudah di rumah? Sepertinya aku pulang agak terlambat. Lembur.] Hita menghela napas, sepertinya ia bisa lebih santai untuk memasak makan malam karena sang suami akan terlambat pulang. [Iya, Mas.] Setelah mengetik balasan singkat dan mengirimnya Hita keluar dari chat room sang suami dan ... awalnya tidak ingin tetapi tetap saja ia penasaran untuk membuka pesan yang Arutala kirimkan padanya. [Sebuah keuntungan buat aku kalau kamu sudah menikah, setidaknya sainganku cuma satu.] Hita menggelengkan kepala membaca pesan itu. Lalu spontan tangannya mengetik empat buah huruf. [Gila.] Lalu mengirimkannya pada pemuda itu, dan melemparkan asal ponselnya ke atas ranjang sementara dirinya berganti pakaian, sementara di jauh di sana pemuda itu hanya tersenyum membaca empat huruf yang Hita kirimkan. Ia kembali membuka foto yang tadi Hita kirim, sebuah foto pernikahan, sepasang pengantin dengan kebaya berwarna biru muda dengan senyum yang terkesan dipaksakan. "Pernikahan memang sebuah ikatan yang sakral tetapi apa salahnya kalau aku merasa lebih mampu membahagiakan?" gumam Arutala, sebuah pengumuman jika pesawat yang akan membawanya pulang mengalihkan perhatiannya dari ponsel yang ia genggam. * Dita Andriyani * 'Cinta ada kalanya bukan hanya tentang sebuah asa menuju bahagia, kadang kala cinta adalah sebuah pengorbanan yang menyakitkan. Bertahan dengan sebuah luka karena rasa bernama cinta. Bukankah naif namanya jika kita inginkan semua cinta berakhir bahagia sedangkan di dunia ini memang telah Tuhan ciptakan berbagai rasa selain bahagia? Memanglah terlalu naif namanya jika kita menghendaki semua bisa mencintai kita, tetapi tidak dengan hati ini. Hati yang hanya memiliki keinginan sederhana untuk dicintai oleh orang yang semestinya.' Tiga paragraf terakhir yang Hita tulis dalam satu bab yang baru ia buat di sela waktu menunggu sang suami pulang, wanita itu menghela napas terasa ada sebuah cubitan dalam hati saat membaca ulang kata demi kata yang ada di layar laptopnya. Seperti inilah hidupnya, menghabiskan waktu dengan berkarya membuat berbagai macan cerita untuk para pembaca ceritanya. Hampir seratus persen waktunya ia habiskan di rumah, di depan layar komputer atau layar ponsel dengan berbagai macam kesibukan pekerjaan, mengarang dan mengarang sebuah kisah yang berakhir bahagia membuat ribuan bibir tersenyum manis karena kata-kata indah dan kisah romantis tetapi tidak jarang juga ia membuat ribuan pasang mata menangis kala kisahnya berada dalam alur yang tidak manis. Wanita cantik berhidung mancung dengan dagu terbelah alami itu melirik jam yang tertempel di dinding, sudah menunjukkan angka delapan lebih dua puluh menit tetapi sang suami belum juga pulang. Ia memindahkan laptop yang semula berada di pangkuan ke atas sofa kosong tepat di sebelah tempatnya duduk lalu memilih membuka aplikasi, membalas berbagai macam komentar yang ia dapatkan di novel-novelnya, ada yang memuji dan turut berbahagia tetapi ada juga yang marah-marah pada tokohnya. Hal-hal semacam itu yang membuat hari-hari Hita semakin berwarna, di antara hari nyatanya yang terasa hanya ada satu warna, monoton tanpa kesibukan yang berarti. Bangun pagi, memasak sarapan, melayani sang suami makan lalu ditinggal bekerja. Sedikit menyelesaikan pekerjaan rumah karena pekerjaan itu lebih banyak diselesaikan oleh Mbak Mimi, suaminya adalah lelaki yang pengertian tidak ingin Hita kelelahan mengurus rumah hingga menghadirkan seorang asisten rumah tangga untuk membantunya sekaligus menemani Hita pada siang hari karena tidak ingin wanita itu terlalu merasa kesepian karena tentu saja belum ada seorang buah hati di rumah itu meski sudah lima tahun mereka berumah tangga. Sore harinya saat Mbak Mimi sudah pulang Hita akan mempersiapkan makan malam untuk sang suami, sekedar mengobrol ringan lalu keduanya kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sudah lebih dari tiga tahun Hita menjadi seorang penulis, mencari sebuah kedamaian untuk hatinya sendiri sekaligus mengisi waktunya yang terlalu luang. Bukan materi tujuan utamanya dalam menulis karena apa yang suaminya berikan jelas jauh dari kata cukup sebagai seorang staf BUMN tentu saja gaji pokok dan tunjangan yang diterima suami Hita tidak sedikit, meski karena pekerjaannya itu mengharuskan sang suami lebih sering berada di layar rumah, tetapi itu tidak ada bedanya bagi Hita. Maka menulis adalah jalan bagi Hita untuk memiliki dunia baru, dunia yang lebih menyenangkan daripada dunia nyatanya. Bibir yang masih tersenyum lebar kala berbalas pesan dengan salah seorang pembaca itu sedikit mengatup saat mendengar pintu rumahnya diketuk, Hita segera meletakkan ponsel di atas meja dan berjalan untuk membuka pintu. Hita mengulurkan tangannya lalu mencium punggung tangan yang baru saja masuk dalam genggaman dengan penuh penghormatan, lelaki gagah berusia tiga puluh lima tahun itu tersenyum tipis. "Kamu pulang jam berapa?" tanya lelaki yang baru saja melangkah memasuki rumah sambil membuka beberapa kancing kemejanya. "Sekitar jam tiga sore," jawab Hita sambil mengekori langkah sang suami lebih dalam memasuki ruang tamu, lelaki itu berdiri di dekat sofa lalu memutar tubuhnya agar bisa berhadapan dengan sang istri yang berjalan di belakangnya tentu saja hal itu membuat Hita menghentikan langkah. "Gimana acaranya?" tanya lelaki berambut hitam legam kontras dengan kulitnya yang putih bersih. "Menyenangkan," jawab Hita sekenanya, sang suami hanya tersenyum. "Mas, mau makan?" tanya Hita menanyakan hal yang semestinya ia tanyakan. "Aku udah makan tadi sama temen-temen, mau istirahat aja. Capek," jawab lelaki yang lalu meninggalkan Hita menuju kamarnya, kamar yang sedari tadi pintunya tertutup rapat, sementara Hita mengambil laptop dan ponselnya membawanya ke meja makan. Wanita itu asik menikmati makan malamnya yang sedikit tertunda kerena menunggu sang suami pulang sambil melanjutkan berbalas komentar di media sosialnya, sesekali wanita itu tertawa kecil saat ada hal yang menggelitik hatinya. Itulah hidup Hita, hidup berat yang sama sekali tidak dianggapnya sebuah beban.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD