Prolog

1218 Words
Tidak ada banyak hal yang berubah dalam keseharian terkecuali tindakan yang akan menentukan masa depan seseorang. Mungkin pada sebagian orang, tindakan yang sama setiap harinya membawa perasaan kebosanan yang menjadikan mereka tidak memiliki minat dalam mempertahankan kehidupannya. Namun bagiku, itu semuanya ingin aku ulangi setiap kali, setiap waktu, setiap hari, dan selamanya. Dimana tindakan ini membuat aku tidak merasakan hal yang tidak pernah aku bayangkan. Jika aku memiliki kekuatan sihir seperti halnya film bergenre fantasy apakah aku akan mendapatkan kekuatan untuk kembali ke masa itu? Ya, itu tidak mungkin ada di dunia ini. Ada kalanya aku, Agetha Preyliana berpikir tentang kalimat yang pernah dikatakan oleh seseorang, dimana semua garis takdir kehidupan makhluk hidup telah ditentukan oleh Sang Pencipta Dunia, Tuhan. Aku berpikir tentang kalimat itu dan aku kembali mengingat perkataan lainnya, sebuah kalimat yang mengatakan bahwa jika kita ingin terlahir di dunia ini kita akan mendapatkan pertanyaan apakah kita sanggup melakukan segalanya dan mempertanggung jawabkannya ketika di akhir, dan jika kita tidak sanggup maka Tuhan tidak akan memberikan nyawa kehidupan. Ketika itu aku berpikir, jiwaku kenapa mengatakan bahwa dia menyanggupinya jika alur kehidupannya seperti ini? Aku tidak menyalahkan takdir, mungkin, tetapi aku pernah melakukannya secara tidak sengaja jika aku berada dalam batasnya. Batas dimana aku hanya memikirkan bahwa kematian akan membawa ketenangan, aku mengakui itu pikiran terbodoh yang pernah kupikirkan selama hidupku ini. Hanya menghela napas pelan serta melakukan sesuatu yang membuat kulitku terluka, hanya itu yang bisa aku lakukan untuk menenangkan diriku. Mereka berdua itu kapan akan menghentikan pembicaraan mereka yang menyakitkan telinga dan pikiranku? Menyebalkan! Bahkan suara irama lagu yang menjadi kesukaanku tidak terdengar begitu indah ketika suara mereka masih terdengar samar, meskipun aku sudah berada di dalam kamar dan mengenakan earphone. Lagi-lagi aku hanya menghela napasku sembari menatap langit-langit kamar yang tidak memiliki corak apapun. Aku berpikir, sejak kapan mereka menjadi seperti ini? Ketika aku berada di sekolah menengah pertama, aku tidak pernah mengingat sebuah memori yang menjadi inti permasalahan ini. Bahkan tidak ada hal lain yang membuat mereka pada akhirnya memilih untuk beradu pendapat dan mempertahankan ego masing-masing. Tetapi ada satu memori dimana pada saat itu, beliau menangis sembari mengatakan bahwa beliau tidak mendapatkan hak apa yang seharusnya dia dapatkan selama hubungan ini. Pada saat itu aku hanyalah seorang anak yang tumbuh dalam tahap memasuki remaja sehingga pikiranku masih tidak memikirkan apapun tentang kerumitan dalam masalah ini, keluarga. Umurku pada saat itu menginjak usia empat belas tahun jadi aku tidak terlalu mengerti tentang hal tersebut, karena kehidupan keluargaku sebelumnya tidak seperti yang sekarang. Ketika itu, beliau yang menjadi seorang “Mama” bagiku menangis setelah pergi mencari udara segar dengan seseorang yang menjadi “Papa”-ku. Aku yang berada di kamar sembari memainkan ponsel hanya diam menatap Mama yang menangis sembari mengatakan hal yang menurutku, “Bukankah hal seperti itu hanya masalah kecil?” Tetapi aku tidak mengatakannya dan tidak ingin mengatakannya. Seseorang yang menjadi “Papa” bagiku mengatakan bahwa dia memiliki alasan untuk tidak memberikan hak kepada Mama, masih belum mempercayai sepenuhnya. Lalu untuk apa kalian menikah jika salah satu dari kalian belum sepenuhnya percaya pada pribadi masing-masing? Itu yang aku pikirkan pada saat itu. Aku, Agetha Preyliana yang menginjak usia empat belas tahun pada waktu itu tidak memikirkan apa saja konsekuensi dari permasalahan seorang suami yang tidak memberikan uang nafkah kepada istrinya. Karena bagiku, berapa besar jumlah uang yang diberikan itu tidak masalah, bukan? Meskipun aku tidak pernah melihat Mama-ku diberi uang sih, terkecuali jika dalam keadaan dimana Papa-ku harus pergi bekerja di kota lain selama beberapa hari dengan jumlah yang diberikan sekitar kurang lebih dari tiga hari. Di masa itu dimana usiaku menginjak angka empat belas tahun yang hanya bisa diam tidak melakukan apapun dan menangis melihat Mama-ku yang menitikkan airmata dan dengan ketidaksopananku, aku memilih untuk mendukung Papa-ku tanpa mengerti bahwa hal memberi nafkah seperti itu merupakan kewajiban sebagai seorang suami. Itu kejam, disaat permasalahan di tahun ini, pada alur hidupku yang sekarang itu menjadi boomerang dan masalah lain bagiku dan keluargaku. Jadi, di salah satu kenangan memori ini apakah aku melakukan kesalahan yang tidak bisa dimaafkan? Tetapi, aku ini sama sekali tidak berubah, ya? Jika aku pikirkan kembali, aku selalu terjebak dalam pikiranku dan dalam mengambil keputusan yang penting untuk kehidupanku. Seperti ketika aku ingin menghentikan pertikaian mereka pada malam hari ini, apakah esok paginya mereka akan dalam keadaan baik-baik saja? Apakah mereka tidak berada dalam suasana canggung? Apakah jika aku mengatakan semua yang aku rasakan kepada mereka, mereka akan berhenti bertikai dan menjalani kehidupan bersama dengan damai seperti memulai kembali kehidupan yang runtuh ini? Omong kosong! Itu mimpi! Mana mungkin akan menjadi seperti itu! Bahkan mereka hanya diam setelah bertengkar hebat sebelumnya, apakah mereka tidak memikirkan bahwa anak akan menjadi korban dari segala hal yang dilakukan oleh Orangtua? Jika aku melakukan bunuh diri apakah masalah ini akan terselesaikan? Mungkin tidak tetapi, aku akan tenang bukan? Meskipun banyak yang mengatakan seseorang yang melakukan bunuh diri maka arwahnya tidak akan tenang dan tidak diterima baik di nirwana maupun neraka. Setidaknya ketika aku melakukannya, apakah mereka akan berpikir seperti “Ah, kami telah melakukan kesalahan yang membuat anak kami memilih untuk mengakhiri kehidupannya sendiri”, dan dengan itu mereka berjanji akan hidup bersama sembari memikirkan cara menyelesaikan permasalahan yang ada. Sejujurnya ini hanya pemikiranku, karena aku belum pernah mencobanya lebih dari melukai pergelangan tanganku sendiri. Melukai pergelangan tanganku ini merupakan tindakan yang sangat menenangkan bagiku dan cara agar aku kembali dengan tenang, dalam arti kegelisahan diriku menghilang. Terkadang aku tertawa ketika melakukannya karena menganggap bahwa ini semua adalah karma. Sebuah karma yang aku dapatkan karena telah mengatakan hal yang seolah aku mengerti segalanya kepada salah satu temanku yang dulu juga melakukannya, namun dalam kasus permasalahan yang berbeda. Dia yang melakukannya karena permasalahan dari dirinya sendiri sehingga kedua Orangtuanya menekan dan membuatnya sedikit depresi, sedangkan Aku melakukannya karena tertekan dengan kondisi keluarga lebih tepatnya kedua Orangtua. Pedih. Airmataku mengalir deras, bibir bawahku aku gigit kuat agar tidak mengeluarkan suara isakan sekecil apapun itu. Rasanya terasa pedih ketika benda tajam itu menyentuh dan menggores kulitku sehingga mengalirkan cairan merah darah. Namun rasa pedih itu terasa sangat menenangkan. Apakah aku termasuk orang yang memiliki fetish terhadap menyakiti diri sendiri? Tetapi aku rasa bukan seperti itu. Yah, apapun itu setidaknya aku sudah cukup tenang ketika rasa pedih itu datang. “Agetha?” Tubuhku terlonjak merasa terkejut ketika suara dengan nada lembut yang diucapkan oleh Mama-ku memanggil namaku dan Aku memilih untuk tidak menjawabnya, karena menurutku mungkin lebih baik jika aku bersikap tidak mendengar semuanya dan keesokan harinya mereka akan bertingkah seolah semuanya dalam keadaan baik-baik saja. Ya, itu keputusan yang bagus. Maka dari itu, lebih baik aku segera memasuki alam mimpi meskipun tubuhku bergetar karena tangisanku yang sedari tadi belum mereda. Hiks… Sedikit mengeluarkan isakan kecil, bukan masalah besar untuk masa yang akan datang, bukan? Semoga saja mereka tidak mendengarnya. Aku membuka kedua kelopak mataku yang memburam karena airmata yang masih mengalir, kedua belah bibirku terbuka ketika melihat pergelangan tanganku, ‘Ah, luka yang baru menutupi bekas luka lama.’ Ah, aku teringat sesuatu tentang pemikiranku. Jika “Dia” tidak ada, apakah inti masalah keluargaku akan terselesaikan dengan mudah? Lagipula “Dia” itu yang menjadi permasalahan utama selain permasalahan pemberian hak yang terkendala. Karena selama aku mendengarkan mereka bertengkar, lagi, mereka selalu membahas tentang “Dia”.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD