The Denial

1019 Words
“Apa yang sebenarnya terjadi padaku?” tanyaku masih berusaha memahami kondisi. “Kau ditemukan di tangga dengan luka di bagian kepala yang cukup parah. Kemungkinan kau pingsan dan kelelahan saat akan menuju basement untuk pulang. Sayangnya kau apes dan harus mengalami peristiwa itu,” Imran menjelaskan walau aku masih cukup mengingat bahwa aku sama sekali tidak ada keinginan menuju tangga malam itu. Tidak ingin mendebat kejadian yang sudah lalu, aku lebih ingin fokus dengan kondisiku saat ini. Aku bertanya, "Bagaimana dengan mataku?" Aku sangat yakin ada masalah dengan mataku saat ini. Buktinya saat ini aku masih melihat Imran dengan warna biru yang melingkupinya dan perawat itu masih dilingkupi warna merah muda juga. Jelas benturan keras pada kepalaku menyebabkan masalah pada mataku. Harusnya Imran sebagai dokter yang melakukan perawatan padaku, sudah memiliki penjelasannya. "Matamu baik-baik saja dok. Tidak ada masalah berarti," jawab Imran dengan begitu tenang. “Bagaimana mungkin tidak ada masalah dengan mataku?” tanyaku sedikit membentak karena tidak percaya dengan penjelasan Imran. “Aku yakin ada masalah dengan mataku. Aku tidak bisa melihat dengan jelas seperti sebelumnya. Mataku pasti mengalami masalah. Aku ingin melakukan pemeriksaan ulang khusus mataku,” cecarku kemudian. Imran terlihat khawatir karena keluhan mengenai penglihatan yang barusan kujelaskan. “Baiklah. Ada baiknya juga memang kau melakukan pemeriksaan ulang. Khususnya di bagian mata, jika memang kau merasa ada masalah dengan kondisi matamu saat ini,” ucap Imran kemudian. Saat itu juga, aku ditemani oleh perawat itu melalui serangkaian tes kembali. Khususnya pemeriksaan pada bagian mataku. Aku melakukan semua jenis pemeriksaan yang mungkin, juga menjelaskan kondisi aneh yang kualami sejak sadarkan diri pada dokter spesialis mata yang kutemui. Begitulah hingga akhirnya aku hanya bisa menunggu hasil pemeriksaanku keluar beberapa hari kemudian. ***** Hari keluarnya hasil pemeriksaan …. Laura, perawat itu memasuki ruang rawatku pagi ini. Sama seperti pagi-pagi sebelumnya, Laura yang sebelumnya ditugaskan di poli bedah mendampingiku, kini beralih tugas menjadi perawat shift pagi di ruang rawat ini. “Selamat pagi, Dok!” sapanya. Seperti biasa dia riang, bahkan di saat perasaanku sedang tidak senang. Aku menjawabnya dengan ketus, “Pagi! Bagaimana dengan hasil pemeriksaanku apakah sudah keluar?” Pertanyaan yang kulontarkan juga merupakan pertanyaan yang sama setiap pagi. Ya, aku memerlukan kepastian melalui hasil pemeriksaan itu. Karena faktanya memang penglihatanku tidak baik-baik saja. Aku masih melihat wanita ini dengan warna merah mudanya, begitu juga dokter dan perawat lain yang menemuiku bermunculan dengan warna yang berbeda-beda. “Sudah keluar Dok,” jawab wanita itu semangat. Aku segera melihat ke arahnya, dia tidak membawa semacam berkas apapun. Katanya sudah keluar, tapi mana? “Mana hasilnya?” tanyaku tidak sabar lagi ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padaku. “Masih di dokter Imran, Dok. Nanti dokter Imran bantu jelaskan ya,” ucapnya tanpa mengetahui aku kesal dengan jawabannya itu. “Maksudmu aku harus menunggu dokter Imran untuk menjelaskan hasil pemeriksaanku? Menurutmu aku tidak bisa membaca dan memahami hasil pemeriksaanku sendiri? Kalau-kalau kamu lupa, aku ini juga seorang dokter!” ucapku panjang lebar dan sedikit membentak di akhir. Wanita itu terlihat berjengkit kaget. Tubuhnya mundur selangkah dengan wajahnya yang menunduk, kini tidak lagi berani memandangku. Saat melihatnya seperti itu, aku menyadari warna merah muda yang melingkupi tubuhnya pun berubah menjadi biru. Suasana yang kurasakan disekitarku pun mendadak sendu. Aku tidak pernah mengalami kejadian seperti ini sebelumnya, seakan-akan aku bisa merasakan perubahan hati seseorang. Masih termenung-menung mendapati perubahan warna pada tubuh wanita itu, aku pun kembali mendengar suaranya. “Maaf dok untuk kekeliruan saya. Saya permisi ambilkan hasil pemeriksaannya sebentar!” ucapnya dan berlalu pergi begitu saja. Sesaat setelah wanita itu keluar dan pintu tertutup, suasana sendu akibat perubahan warna menjadi biru sebelumnya pun hilang begitu saja. Lagi-lagi ini aneh! Tidak berselang lama kemudian, pintu terbuka kembali. Kali ini wanita itu datang tidak sendiri, ada Imran bersamanya. Benar-benar perawat yang satu ini! Dia tetap memanggil Imran untuk membantuku memahami hasil pemeriksaan tubuhku sendiri? “Marteen … katanya Laura kamu mau lihat hasil pemeriksaanmu ya? Sorry tadi aku masih harus cek pasien rawat inap sebentar. Ini hasil pemeriksaanmu,” ucap Imran sambil menyerahkan beberapa kertas padaku. Aku membaca setiap halaman tanpa melewati sedikitpun informasi di dalamnya. Sampai akhirnya aku membaca halaman terakhir dari kumpulan berkas ini. “Tidak ada masalah berarti bukan?” jawab Imran setelah menyadari aku sudah memahami semua informasi dalam kertas itu. Aku mengangguk lemah sambil mengembalikan kertas-kertas itu padanya. “Tubuhmu sudah kembali sehat dan semua organ tubuhmu normal, tapi mengapa wajahmu terlihat tidak senang?” tanya Imran kemudian. Aku kembali menggeleng, tidak ingin menjawab apapun. Entah mengapa aku memiliki keyakinan, bahwa upayaku menjelaskan padanya hanya akan membuat masalah baru. Tidak akan ada yang memahami kondisiku saat ini, karena pemeriksaan medis yang sudah dilakukan pun tidak bisa menjelaskannya. Helaan nafas berat kukeluarkan sambil berkata, “Sudahlah. Kalian bisa keluar, aku ingin sendiri!” Setelah mengucapkan kata-kata itu, aku kembali merebahkan tubuhku dan memunggungi orang-orang tadi. Selanjutnya, aku mendengar suara langkah kaki mereka keluar dari ruang rawatku. Saat aku sudah benar-benar sendiri, saat itulah aku merutuki kehidupanku. Kehidupanku yang begitu mulus sejak aku lahir, tidak pernah kusangka akan berada pada kondisi seperti saat ini. Saat aku sudah mendapatkan profesi yang kumimpikan, saat aku tinggal menjalani setiap detiknya dengan penuh kebanggaan, tetapi semuanya harus berakhir seperti ini? “Tidaaaak … aku tidak mau!” teriakku marah. ***** Aku akhirnya kembali ke apartemen setelah memaksa diri menerima kenyataan bahwa tidak ada masalah fisik yang terdeteksi dan menyebabkan keanehan pada mataku. Sepanjang aku mengurus proses keluar dari rumah sakit, aku bertemu lebih banyak lagi orang lain daripada sebelumnya. Saat itulah aku menyadari, bahwa setiap orang yang kulihat menampilkan warna yang berbeda. Bahkan ketika aku sampai di apartemenku dan saat di lobby bertemu dengan seorang bapak-bapak yang sedang berjalan bersama seekor anjing peliharaannya. Ada warna juga yang melingkupi anjing itu. Warna putih yang begitu cerah, sedikit berbeda dengan warna putih yang melingkupi manusia yang sempat kulihat di rumah sakit sebelumnya. Kondisi ini aneh dan tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Namun aku tidak bisa menerima begitu saja. Aku terus berusaha mencari tahu apa penyebabnya. “Cobalah berpikir!” aku makin frustasi. “Cobalah pahami kondisi ini!” perintahku pada diriku sendiri. to be continued
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD