Masa lalu Arman

1234 Words
Masih enggan rasanya aku membuka mata saat kurasakan wajahku dihujani ciuman bertubi-tubi, mungkin karena aku memang baru terlelap saat menjelang dini hari, "Ayo bangun sayang, udah pagi," bisik Mas Ridho sambil terus menciumi pipi, kening dan bibirku, aku terpaksa bangun dari pada nanti ciumannya berlanjut ke mana-mana.  Akhirnya aku bangkit dari rebahan lalu duduk di samping Mas Ridho yang duduk di tepi ranjang. "Iya Mas, aku mandi dulu, nanti baru bantuin Ibu siapin sarapan," ucapku sambil menuruni ranjang lalu berjalan ke kamar mandi yang ada di sudut kamar. Akan tetapi belum sempat kututup pintu kamar mandi Mas Ridho sudah menyelinap masuk. "Eh mau ngapain?" Ucapku spontan. "Mandi bareng," jawab suamiku ringan. "Enggak ah malu," jawabku kembali keluar dari kamar mandi dan membiarkan Mas Ridho mandi terlebih dahulu. * Dita Andriyani * Rumah sudah sepi saat Mas Ridho selesai sarapan, Risti juga sudah berangkat ke sekolah sejak jam setengah tujuh pagi, tak berselang lama kedua mertuaku berangkat. "Mas, aku minta ijin, mau main ke rumah Ibu ya, kangen," pamitku pada Mas Ridho saat dia hendak berangkat kerja. "Pulangnya kapan?" tanya Mas Ridho. "Belum juga berangkat udah ditanyain kapan pulang," jawabku pura-pura sewot seraya melipat tangan di bawah daada. "Bukan begitu, Mas cuma takut kangen kalau kamu sampe nginep di sana. nanti Mas bisa kesepian kalau harus tidur tanpa kamu," jawabnya sambil mencolek hidungku. "Ih gombal! nanti sore Mas." Aku coba merayu agar mendapat ijin darinya untuk pergi ke rumah ibu. "Kalau begitu ntar pulang kerja Mas jemput kamu ke sana ya." Akhirnya aku bisa bernapas lega karena Mas Ridho mengijinkan.  "Iya." Sebuah senyum manis menghiasi wajahku, melihatnya Mas Ridho juga tersenyum senang. "Kamu hati-hati ya dek, salam buat Ibu, maaf Mas nggak bisa nganterin," ucap Mas Ridho penuh sesal seraya mengelus pipiku.  "Iya Mas," jawabku lalu sedikit membungkuk saat mencium punggung tangannya. "Yes aku bebas," gumamku setelah mengunci pintu depan selepas keberangkatan Mas Ridho bekerja. Segera aku berjalan meniti anak-anak tangga menuju ke kamar Arman untuk membangunkannya dan menyiapkan sarapan untuknya, sama persis seperti yang aku lakukan pada Mas Ridho setiap harinya. Dia masih terlelap, damai sekali kulihat wajahnya tak nampak bila hatinya menyimpan luka, aku duduk di tepi ranjang menepatkan wajahku di atas wajahnya dengan tangan menopang tubuhku agar tidak menindih tubuhnya, kubiarkan ujung rambutku yang terurai menyentuh wajah tampannya, dahinya mengernyit matanya terkejap merasakan ujung rambutku yang menari-nari di wajahnya, senyumnya tersungging manis. "Sayang," Gumamnya sambil menarikku dalam pelukan, lalu mengunakan sebelah kakinya untuk mengangkat kakiku melewati tubuhnya berguling hingga kini kami berdua berbaring bersebelahan. "Ayo bangun, Sayang, aku udah siapin makanan kesukaan kamu," ajakku seraya memainkan jemari di atas dadanya.  "Nanti aja masih pagi, aku masing pengen berduaan sama kamu, Sayang," ucapnya sambil terus mengecup bibirku, aku membalas ciumannya, kuhisap-hisap bibirnya yang merah alami karena tidak pernah mengenal rokok. Ia menarikku lebih dalam kepelukannya. Bahkan menarik satu kakiku agar menindih tubuhnya, ia terus melumat bibirku. Tangannya mulai nakal menyelusup ke dalam kaus yang kukenakan bahkan ke dalam bra memainkan p****g buah dadaku membuatku menggelinjang di buatnya.  "Aku mau bangun tapi ... nen dulu!" Rengeknya sambil menirukan gaya anak kecil merengek pada ibunya.  "ish! Nakal!" jawabku, ia tertawa kecil tapi tetap melakukannya. Aku meremas kuat bahunya saat ia mulai memainkan ujung payudaraku dengan bibirnya, mengisapnya mulai dari hisapan lembut hingga kuat membuatku merasakan bagai di awang-awang, namun segera tersadar, ini sudah siang. "Udah, ah, Sayang ... Ayo anterin aku!" Ujarku seraya mendorong tubuhnya menjauh, ia merengut kecewa. Janganngan tanya susahnya kami mengendalikan hasrat dewasa kami bila sedang berdua begini, tapi kami tidak pernah berani melakukan lebih, terutama aku. Aku takut menghianati Mas Ridho terlalu jauh, bagaimanapun aku tetap menghargainya. "Ayo, anterin aku mau ke rumah Ibu, aku kangen sama Ibu," rengekku manja. "Tapi aku juga kangen sama kamu," rajuknya tak mau bangun. "Ya udah aku berangkat sendiri aja, biarin nanti di jalan ditaksir tukang becak!" ancamku sambil meninggalkannya yang masih betah di ranjang. "Yah, tukang becak? kerenan dikit kek." Arman malah meledekku. "Ya udah, supir angkot!" jawabku sewot, dia malah terkekeh. "Iya, iya Sayang, aku anterin. aku mandi dulu," ucapnya setengah berteriak karena aku sudah di luar kamar. * Dita Andriyani *  Dua puluh tahun yang lalu, Pak Raharja berselingkuh dengan wanita yang masih bersuami, Asri istrinya pak Dodi. Asri tidak hidup kekurangan secara materi, tapi berdalih kekurangan kasih sayang dari Dodi suaminya, suaminya yang bekerja di luar kota dan hanya pulang ke rumah sebulan sekali membuatnya leluasa berselingkuh dengan Pak Raharja. Suatu saat Pak Dodi pulang lebih awal hingga memergoki istrinya sedang berselingkuh dengan Pak Raharja, pertengkaran demi pertengkaran selalu terjadi di rumah mereka hingga Pak Dodi depresi dan bunuh diri dengan seutas tali di dalam rumahnya, pada pagi hari putra semata wayang mereka terbangun dari tidur dan mencari Ibunya ke dapur. Namun, malah tubuh tak bernyawa Ayahnya yang dia lihat. Pak Raharja dan Bu Asri yang tengah di mabuk cinta malah bersenang hati atas kepergian pak Dodi untuk selamanya, tidak ada lagi yang menghalangi hubungan mereka, sementara Bu Rita istri Pak Raharja tidak bisa berbuat apa-apa memilih di madu daripada jadi janda apa lagi putranya sudah beranjak remaja mana mau mereka hidup susah meninggalkan Pak Raharja yang bergelimang harta di tambah Bu Rita sedang mengandung anak kedua mereka. lima tahun setelah pernikahannya dengan Pak Raharja, Bu Asri mengalami kecelakaan yang merenggut nyawa dan bayi dalam kandungannya. Karena sudah tidak memiliki keluarga ataupun saudara putra Bu Asri dan Pak Dodi di rawat oleh Pak Raharja dan Bu Rita, dialah Arman. Akhirnya kuketahui juga alasan keluarga pak Raharja memperlakukan Arman dengan berbeda, tidak sia-sia aku seharian di rumah Ibu, melepas rindu sambil mencari tau. Cerita Ibu, sungguh membebani fikiranku, terutama kisah perselingkuhan itu sungguh menamparku. Apa yang sebenarnya ada dalam fikiran Arman, jika dia merasakan sakitnya jadi korban perselingkuhan mengapa dia membawaku pada jerat yang sama, jerat penghianatan. Jika memang keluarga pak Raharja telah berjasa merawatnya sejak anak-anak mengapa dia tega menghianati mereka semua, apa hanya karena cintanya yang begitu besar padaku, sama seperti cintaku padanya, aahhh memikirkan perasaanku sendiri sungguh menyiksa batinku, sementara jauh di dalam sana di dalam ruang yang bernama perasaan aku telah merasakan nyaman dengan kehadiran Mas Ridho meskipun mungkin belum bisa di sebut cinta. ----------- POV bu Rita Rasa sakit yang tertancap di relung hatiku bagaikan sebilah pisau semakin lama semakin berkarat. Penghianatan suamiku dengan wanita itu bisa kumaafkan tapi tak bisa kulupakan, apalagi suamiku memutuskan untuk merawat anak dari maduku selepas dia meninggal dunia, awalnya aku sangat bahagia mendengar berita kematian Asri, akhirnya aku bisa memiliki suamiku secara utuh lagi sampai anak laki-laki itu di bawa ke rumah inim Tampan, dia mewarisi garis wajah ibunya yang sangat cantik yang membuat suamiku tergila-gila. "Pokoknya aku sudah ambil keputusan dan kamu nggak bisa membantah, Arman kita yang asuh!" bentak suamiku saat aku menyarankan agar Arman di taruh di panti asuhan saja. "Kamu nggak usah khawatir soal harta, Arman bisa membiayai hidupnya sendiri mendiang Bapaknya ninggalin warisan yang banyak buat dia," imbuh suamiku seolah bisa membaca kegundahanku. "Yang dia butuhin cuma keluarga, kalaupun kamu nggak bisa sayang sama dia. kamu cukup terima aja dia di sini." Hal itu memang benar karena sampai dia dewasa pun aku tidak pernah bisa menyayanginya, saat memandang wajahnya bayangan Asri lah yang tampak, padahal Arman adalah anak yang baik. Aku tidak pernah menularkan kebencian ini pada Ridho anakku, tapi dia sudah remaja saat melihat penghianatan Ayahnya, dia sudah tahu tentang hati Ibunya yang terluka, hingga kebencian yang sama juga nampak pada diri anakku untuk Arman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD