4 (Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad)

1746 Words
Aku membangunkan Qia ketika aku selesai menunaikan shalat ashar. Si kecil Attar juga ikut terbangun ketika kakaknya bangun. Aku meminta bantuan Bi Marni untuk membantu Qia mandi, sedangkan aku memandikan Attar dalam bak mandi kecil di kamar mandi. Rupanya bocah kecil ini sangat suka bermain air. Attar sangat senang memainkan mainan bebek dan bolanya di dalam air. Tak lupa tangannya juga mengecipak permukaan air di sekitar tubuhnya hingga terciprat ke wajah dan bajuku. Aku membersihkan mukanya dan seluruh permukaan tubuhnya dengan sabun bayi. Sesudah itu aku membilasnya hingga bersih. Tetapi, sepertinya ia msih betah berada di bak mandinya karena ia menangis ketika aku angkat dari bak mandi.“Cup ... cup ... Sayang besok lagi ya main air nya, nanti Dedek sakit loh,” ucapku sambil menimang-nimang badan mungilnya yang terbungkus handuk. Aku membawa Attar yang masih menangis ke luar dari kamar mandi dan  segera meletakkannya di kasur. Aku berusaha mengalihkan perhatian Attar dengan memberi mainan kesukaannya. Akhirnya, Attar asyik bermain dengan mainannya sambil telanjang di tengah kasur. Aku sudah menyiapkan baju tidur di atas ranjang sebelum ia mandi tadi. Aku membalur tubuhnya dengan minyak telon dan bedak, lalu memakaikan baju dan popok agar dia tidak kedinginan dan masuk angin. Aku  puas menatap bayi tampan yang sudah wangi khas bayi ini. “Ih ... anak siapa ini ya? Cakep dan wangi lagi,” ujarku sambil berulang kali menciumi pipi gembilnya. Bayi itu hanya tergelak kegelian karena ulahku. Usai memandikan Attar, aku menitipkannya dulu sebentar pada Bi Marni karena aku juga harus mandi karena bajuku juga basah saat memandikan Attar tadi. Selesai mandi, aku menuju kamar Qia dan bermain bersama kedua anakku itu sampai waktu maghrib. Sebelum adzan maghrib, aku dan Bi Marni memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat. Dari artikel yang pernah aku baca, waktu maghrib adalah waktunya jin dan setan berkeliaran dan memasuki rumah-rumah yang pintu dan jendelanya terbuka dan mengganggu si penghuni rumah, terutama yang punya anak bayi atau balita. Saat adzan maghrib, aku menitipkan Attar pada Bi Marni sedangkan aku dan Qia shalat maghrib. “Qia udah bisa shalat belum, Sayang?” Ia pun hanya menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaannku. “Hmm ... tante ajarin mau?” Aku pikir tak ada salahnya mengajari salat apalagi usianya sebentar lagi menginjak tujuh tahun, setidaknya ia akan terbiasa nanti. Awalnya bocah itu hanya terdian, tapi kemudian dia menganggukan kepalanya tanda setuju. Aku pun tersenyum melihat tingkahnya. Setidaknya dia mau menurutiku dan meski masih menampakkan ekspresi wajah jutek. “Qia udah punya mukena buat salat belum, Sayang? Nih yang kayak punya tante?” tanyaku sambil menunjukkan mukena yang sering aku pakai salat. “Ada,” jawabnya singkat. “Mukenanya disimpan di mana?” “Ada di lemari kamar aku.” “Ayo kita ke kamar Qia, kita ambil mukena Qia dulu ya.” Aku pun mengambil mukena Qia yang berwarna merah muda dengan motif khas untuk anak-anak dari lemari Qia dan memakaikannya. Qia terlihat sangat imut dan cantik dengan mukenanya. Wajahnya yang putih, alisnya yang hitam dan matanya yang bulat membuat siapa pun yang melihatnya kagum. “Nah, sudah cantik deh. Sekarang Qia ikutin gerakan tante dulu ya. Besok baru kita belajar surat-surat pendek. Oke?” “Aku belajar ngajinya sama Ayah aja, gak mau sama Tante!” “Iya sama aja, ya udah kita sholat dulu sekarang.” Aku salat berdua dengan Qia. Beres salat, aku pun membawa Qia ke ruang TV, di sana ada Bi Marni yang sedang menjaga Attar. Aku pun menyuruh Bi Marni shalat dulu, sedangkan aku menjaga Qia dan Attar. “Qia ngajinya udah iqro berapa, Sayang?” “Iqro 3!” jawabnya kembali ketus. “Nanti tante ajarin ngaji nanti abis isya ya.” “Gak mau, mau sama ayah aja.” “Sama tante juga asyik loh. Nanti bonusnya sebelum tidur tante bacain cerita-cerita nabi dan rasul mau gak?” Kulihat anak itu mulai tertarik dengan tawaranku, namun gengsi masih menguasainya. Akhirnya ia mengangguk tanda setuju. Kali ini aku akan jadi perempuan yang agresif untuk mengambil hati anak dan suamiku. === Sesuai janjiku tadi, sehabis salat isya, aku mengajari Qia mengaji. Qia termasuk anak yang cerdas. Ia bisa dengan cepat dan mudah menangkap apa yang aku ajarkan. Beres mengajarkan Qia, aku pun membaca Al Qur’an beberapa lembar. Sesudah itu, aku  keluar kamar dan melihat kedua anakku itu tengah bermain bersama ayahnya. Mas Zaidan sudah pulang ternyata. “Sudah pulang, Mas?”tanyaku sambil mengambil tangannya untuk kucium. “Iya,” jawabnya singkat dan datar. “Mau mandi atau makan dulu, Mas? Biar aku siapkan.” “Mandi dulu saja,” jawabnya sambil beranjak menuju kamar sedangkan aku menyiapkan makan malam untuk suami dan anak-anakku. Takut akan penolakkan yang aku terima seperti baju kerja yang aku siapkan tadi pagi, aku pun berpesan kepada Bi Marni agar bilang bahwa Bi Eti dan Bi Marni saja yang memasak makanan seperti biasa. Sekaligus aku juga ingin melihat reaksi Mas Zaidan. Kami berempat sudah berkumpul semua di meja makan, sedangkan Attar aku dudukkan di kursi makan khusus bayi dan menyuapinya dengan pure. Jadi aku makan sambil sesekali menyuapi Attar. “Bi, ini yang masak siapa?” tanya Mas Zaidan. “Seperti biasa Pak, saya dan Eti yang masak. Kenapa, Pak?” tanya Bi Marni ketakutan. “Oh nggak apa-a pa, rasanya agak beda. Tapi yang ini lebih enak, saya suka,” ujar Mas Zaidan sambil tersenyum. “Oh, Alhamdulillah kalo bapak suka. Dihabiskan Pak, biar yang masaknya juga senang,” ujar Bi Marni sambil melirik ke arahku. Aku pun hanya bisa tersenyum getir. Andai pujian dan senyumanmu itu buatku Mas, batinku. Tapi di satu sisi aku senang karena Mas Zaidan menyukai masakanku. Kalau aku jujur ini masakanku belum tentu ia akan jujur juga menyukainya. === Menjelang sebelum tidur, aku menunaikan janjiku pada Qia untuk membacakan kisah nabi dan rasul dikamarnya. Kisah yang aku bacakan adalah kisah Nabi Muhammad SAW saat kelahirannya. Aku bersyukur karena sepertinya Mas Zaidan dan Mbak Risa membelikan banyak buku cerita yang lengkap untuk Qia. Aku melihatnya saat mengambilkan buku di rak buku Qia. Ada buku cerita tentang hewan, tentang nabi dan rasul bahkan ada juga buku cerita berbahasa Inggris. Aku membuka bukunya dan segera menceritakan isinya untuk Qia. “Nabi Muhammad SAW lahir pada tanggal 12 Rabiulawal Tahun Gajah.” “Loh, kok Tahun Gajah sih, Tante? Kenapa tahunnya bukan angka kayak tanggal lahir aku?” tanyanya bingung. Aku sudah bisa menebak bahwa Qia adalah anak yang cerdas dan pintar, sama seperti Mas Zaidan dan mungkin juga Mbak Risa. Oh pasti Mbak Risa juga pintar, kan? Aku pernah membaca suatu artikel bahwa kecerdasan dan kepintaran seseorang itu diturunkan dari genetik sang ibu. Kalau Qia cerdas dan pintar seperti ini, pasti Mbak Risa pun sama. “Iya, Sayang. Tahunnya Tahun Gajah.” “Kenapa bukan tahun kucing? Tahun kelinci? Atau hewan lainnya Tante?” Aku hanya bisa tersenyum mendengar pertanyaan kritisnya. “Karena saat itu, ada seseorang yang bernama Abrahah ingin menghancurkan Kakbah. Tahu kan bangunan Kakbah yang bangunan kotak berwana hitam yang suka ada di sajadah itu loh, Sayang.” “Oh itu, iya tahu.” “Nah, Abrahah itu ingin menguasai Mekah dengan cara menghancurkan Kakbah. Beliau menggunakan pasukan yang mengendarai gajah untuk menghancurkan Kakbah. Oleh karena itulah, tahun itu disebut Tahun Gajah karena Mekah diserang oleh pasukan bergajah.” “Oh, begitu. Terus berhasil gak pasukan gajahnya ngancurin Kakbah?” “Menurut Qia berhasil nggak?” Aku sengaja memancing kemampuan berpikirnya. Tak apa usianya masih usia TK. “Nggak tahu, Tante,” ucapnya menyerah. “Pasukan bergajah itu tidak berhasil menghancurkan Kakbah.” “Kenapa, Tante?” “Karena Allah mengirimkan pasukan burung ababil yang membawa batu-batu panas. Mereka melemparkan batu-batu itu pada pasukan bergajah. Akhirnya pasukan bergajah itu mati bergelimpangan seperti daun yang dimakan ulat. Jadilah Abrahah dan tentaranya gagal menghancurkan Kakbah dan menguasai Mekah.” “Oh gitu, kasihan dong gajahnya pada mati ya.” “Nah peristiwa tadi Allah abadikan dalam Al Qur’an surat Al Fiil yang artinya gajah. Qia dengerin Tante baca ayatnya ya.” Aku pun melantunkan surat Al Fiil hingga selesai. Lalu aku minta Qia membaca terjemahannya; (1) tidakkah engkau (Muhammad) perhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah (2) bukankah Dia telah menjadikan tipu daya itu sisa-sia? (3) dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong (4) yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar (5) sehingga mereka dijadikan-Nya seperti daun yang dimakan (ulat). Aku membantu Qia membaca terjemahan yang masih terbata-bata. Kadang aku harus mengejakan hurufnya dulu baru nanti Qia yang menyambungkan. Aku sangat menikmati waktu-waktu seperti ini. Jika sedang asyik bercerita tadi, Qia tidak judes seperti sebelumnya. Aku berharap bisa setiap malam menghabiskan waktu seperti ini dengan Qia agar anak itu luluh dan mau menerimaku sepenuhnya sebagai ibu sambungnya. Tak lama ia pun merasa ngantuk dan memutuskan menghentikan kegiatan kami. Aku menyimpan buku ke rak buku lalu membimbingnya berdoa sebelum tidur, menyelimutinya, mematikan lampu utama dan menyalakan lampu tidur yang ada di atas nakas. Setelah memastikan Qia terlelap dan jendela kamarnya terkunci, aku kemudian meninggalkannya di kamar sendirian. Have a nice dream, My Princess. Aku kembali ke kamarku dan Mas Zaidan. Dia sedang duduk di sofa kamar sambil mengerjakan sesuatu di laptopnya ketika aku masuk. Aku  mengecek Attar di boks bayinnya. Alhamdulillah Attar sudah tertidur dengan lelap. Aku membenarkan letak selimutnya yang agak sedikit berantakan dan mengambil botol s**u yang isinya tinggal setengah, lalu menuju kasur untuk tidur. Oh ya, aku tidak melepas jilbabku meski saat tidur, karena aku masih malu membuka auratku di depan suamiku sendiri meski sebenarnya ia berhak melihat seluruh auratku. Tadinya aku sempat ragu, namun sepertinya Mas Zaidan juga tidak mempermasalahkan hal itu. Tetiba suara Mas Zaidan memecah kesunyian di kamar  ini. “Tadi kamu jemput Qia pake motor?” tanyanya dengan tatapan yang masih terpaku ke arah laptop. “Iya Mas, soalnya udah telat. Takut dia nunggunya lama kalo aku jemput pake mobil, kalo pake motor kan lebih cepat,” jawabku sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhku. “Lain kali pake mobil aja, atau pake taksi online. Saya gak mau dia kenapa-kenapa kalau naik motor.” Tanganku yang sedang menarik selimut terhenti karena mendengar perkataannya. “Tapi aku pelan-pelan dan hati-hati kok bawanya, Mas. Apa kamu pikir aku mau buat Qia celaka?” tanyaku kesal. Apa aku terlihat seperti ibu tiri yang jahat di matanya? “Saya tidak menerima bantahan, kamu mau tanggungjawab kalo kejadian apa-apa sama Qia?” “Meskipun Qia bukan anak kandungku, tapi aku sekarang juga ibunya, Mas. Aku sayang sama Qia dan Attar. Aku juga bakal kayak ibu lainnya yang melindungi dia dari bahaya. Jadi Mas gak usah khawatir. Oke, kalo aku salah aku minta maaf dan aku akan nurutin perintah Mas,” ucapku kesal. Aku pun langsung menarik selimut dan tidur memunggunginya yang masih berada di sofa. “Oh iya, dalam pernikahan ini, saya gak mau ngekang kamu. Kamu bebas melakukan pekerjaan apapun yang kamu suka. Soal anak-anak gak usah khawatir, ada Bi Marni dan Bi Eti yang jagain mereka,” ucapnya. Aku hanya bisa terdiam sambil meneteskan air mata. Aku tak mau menanggapi ucapannya. Aku sudah mengira ia akan tidak peduli pada semua kegiatanku. Tak apa, aku paham. Tapi ini menyangkut anak-anaknya yang juga menjadi anak-anakku. Bukankah kemarin ia bilang aku ini hanya ibu pengganti bagi anak-anaknya? Lalu kenapa aku tidak boleh khawatir dengan mereka? Kenapa juga ia lebih memercayakan anak-anaknya diasuh oleh Bi Marni dan Bi Eti daripada aku? Apa begitu tidak percayanya kamu padaku untuk menjaga anak-anakmu, Mas?    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD