Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam, sudah empat jam semenjak Reinald membeli buket bunganya dan menunggu kekasih tercinta datang dan menerima buket itu dengan wajah sumringah. Namun, hingga saat ini, buket itu masih terletak manis di atas nakas.
Reinald berkali-kali menatap buket itu. Kali ini, perasaannya bercampur aduk, antara khawatir dan juga curiga.
Vivi mengatakan jika Andhini akan bertemu dengan calon investor dari Malaysia, apakah ia akan bertemu dengan Ammar? Atau ada mantan kekasih lainnya? Bukankah Andhini dekat dengan beberapa pengusana Malaysia? Tapi ... Ah, tidak mungkin Andhini melakukan hal itu. Aku tahu betul siapa Andhiniku. Tapi kemana dia?
Reinald berkali-kali berpikir keras. Pria itu kembali keluar dari kamarnya dan berjalan menuju taman depan rumahnya. Reinald berpapasan dengan Asri di tangga rumah.
“Papa, apa papa masih belum bisa menghubungi mama Andhini?” tanya asri seketika.
“Belum, Sayang ... papa jadi semakin khawatir, sebab ini sudah terlalu malam.”
“Apa sebaiknya papa tidak susul ke butik saja?”
“Kata pegawainya, mama kamu tidak ada di sana.”
“Mungkin saja mama sudah kembali, Pa.”
Reinald menggeleng, “Tidak, Nak. Mama belum kembali lagi ke butik.”
“Terus bagaimana? Apa kita harus berdiam diri seperti ini? Apa tidak sebaiknya kita lapor polisi saja, Pa?”
“Ini masih empat jam, dan mama kamu itu adalah wanita dewasa normal. Polisi tidak akan menerima pengaduan kita. Tapi akan papa lihat nanti sampai jam dua belas malam. Jika mama masih belum kembali, maka papa akan segera lapor polisi.”
Reinald mulai melangkahkan kakinya menuruni anak tangga.
“Papa mau kemana?”
“Papa hanya ingin duduk di taman depan sembari menunggu mama. Ingin rasanya papa menyusul, tapi papa tidak tahu harus menyusul kemana.”
“Asri akan menunggu di kamar saja.”
“Hhmm ... pergilan, Nak.”
Reinald melanjutkan perjalanannya menuruni anak tangga menuju taman depan rumahnya. Perasaannya semakin tidak keruan.
Satu jam sudah Reinald menunggu, ia mulai lelah. Kulitnya yang putih, mulai memerah akibat gigitan nyamuk. Reinald bangkit dan memutuskan untuk kembali ke dalam kamarnya.
Reinald melirik buket itu sesaat, kemudian kembali merebahkan tubuhnya ke atas ranjang. Jam dinding sudah menunjukkan puku sepuluh lewat lima belas menit. Sementara belum ada tanda-tanda kepulang Andhini.
Aku akan coba hubungi lagi, gumam Reinald dalam hatinya.
Reinald pun kembali mengambil gawainya dan mencoba menghubungi Andhini kembali.
Nihil, tak ada jawaban dari telepon itu selain jawaban dari sang operator.
Ya Allah, kemana Andhini?
Reinald melempar ponselnya dengan kasar ke atas ranjang. Pria itu kembali terduduk dan menyugar kasar serta meremas rambutnya dengan ke dua tangannya. Ia semakin dilema.
Kembali netra Reinald menatap ke arah dinding rumahnya. Tempat yang sering dilirik oleh dirinya dan Anhini, sebab di tempat itu tergantung dengan cantiknya sebuah jam dinding bulat berwarna putih.
Jam dinding itu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Reinald yang semakin gelisah, segera bangkit dan menekan langkah kasar menuju lantai dasar. Ia mengambil Hodie yang ia gantung di sudut ruang keluarga. Reinald mengenakan Hodie itu dan menyambar kunci mobilnya dengan kasar.
Namun, baru saja Reinald membuka pintu ...
“Mas ... mau kemana?” Andhini langsung berhadapan dengan Reinald dan bertanya.
“Aku yang seharusnya bertanya, kamu dari mana saja? Kamu tidak lihat ini sudah jam berapa?” Reinald menatap Andhini dengan tatapan penuh amarah.
“Mas, aku minta maaf, tapi aku bisa jelasin semuanya. Ponsel aku mati dan aku gak bawa charger, Mas. Aku bis—.”
“Alasan klise.” Reinald membanting pintu dan kembali menekan langkah kasar menuju kamarnya.
Andhini yang masih berada di luar rumah, tersentak melihat perlakuan Reinald. Ia hanya bisa menarik napas berat, sebab dilihat dari sudut mana pun, ia memang salah.
Andhini pun membuka pintu utama dan mulai masuk ke dalam rumahnya. Baru saja ia melangkah sebanyak tiga langkah, asisten rumah tangganya langsung menghampiri Andhini.
“Sudah pulang, Bu? Mau saya buatkan teh hangat?”
“Tidak usah, Imah. Aku mau langsung ke kamar saja. Aku lelah.”
Imah—asisten rumah tangga Andhini, 32 tahun—mengangguk dengan hormat.
Andhini kembali menekan langkah menuju kamarnya. langkahnya sangat lemah dan sedikit kaku. Baru saja ia akan menaiki tangga pertama, seseorang menyapanya.
“Andhini, baru pulang, Nak?” Bi Titin yang baru saja keluar dari kamarnya, melihat Andhini. Kamar wanita senja itu memang berada di samping tangga paling bawah.
“Bi Titin? Iya, Bi. Andhini mau ke atas dulu.”
“Andhini, hadapi Reinald dengan tenang. Bibi percaya jika Andhini punya alasan tersendiri hingga pulang larut seperti ini. Apalagi dengan tidak mengabari siapa pun. Percayalah, Reinald pasti mengerti.”
Andhini mengangguk, “Iya, Bi. Dhini mau ke atas dulu.”
“Iya, pergilah ....”
Andhini pun kembali melangkah menuju kamarnya. Dengan pelan, ia mulai membuka pintu kamar itu dan masuk ke dalamnya. ia melihat Reinald sudah kembali berbaring di atas ranjang dengan posisi membelakangi dirinya.
Andhini menarik napas berat, sesaat kemudian kembali melepasnya. Wanita itu melakukan hal itu berkali-kali untuk menetralisir debaran jantungnya.
Setelah dirasa cukup tenang, Andhini pun mulai melangkahkan kaki secara perlahan menuju mejas riasnya. Ia meletakkan tas miliknya di atas meja itu. Perlahan, Andhini mulai melepaskan kerudung yang ia kenakan.
Baru saja kerudung itu terlepas, Andhini melihat sesuatu yang unik dan cantik lewat pantulan cermin yang ada di hadapannya. Ia segera membalik tubuh untuk memastikan jika penglihatannya tidak salah.
Andhini segera mendekat dan menatap buket itu dengan perasaan sumringah. “I Love You, istriku” tulisan itu tersemat di kartu ucapan yang terdapat dalam buket bunga.
Andhini memeluk dan menciumi buket itu. Ia segera naik ke atas ranjang dan menghampiri suaminya. Andhini memeluk Reinald dari belakang, “Mas ... maaf, jika hari ini aku sudah membuatmu khawatir dan marah. Aku bisa jelaskan semuanya. Oiya terima masih atas bunganya, aku suka.” Andhini menciumi pipi dan leher Reinald.
Reinald menyentak tubuh istrinya dengan kasar. Buket yang ada di tangan kiri Andhini seketika terlepas dan jatuh ke lantai.
Reinald tidak menjawab. ia segera bangkit dan kembali menyambar Hodie yang ia lempar sembarangan di atas ranjang.
“Mas kamu mau kemana?” tanya Andhini seraya memeluk Reinald dari belakang.
“Terserah aku mau kemana! Bukankah kamu juga bebas pergi kemana saja dan pulang seenaknya, iya’kan?”
Reinald membalik tubuhnya, ia menatap tubuh Andhini yang masih berbalut gamis dari ujung rambut hingga ujung kaki. Reinald membuang hodie-nya ke lantai, membalik tubuh Andhini dengan kasar dan membuka resleting baju itu dengan keras. Setelah itu ia menyentak ke bawah dengan kasar hingga tubuh bagian atas itu hanya tertutupi bɾa.
Reinald kembali memerhatikan tubuh istrinya. Ternyata tubuh itu mulus, tidak ada bekas tanda kepemilikan seperti yang sudah diduga oleh Reinald. Reinald mendorong tubuh andhini dengan pelan, lalu kembali membuang muka.
“Mas apa maksudmu menatapku seperti itu?” Andhini mulai curiga dengan sikap Reinald.
Reinald berkacak pinggang, “Habis berkencan di mana kamu, ha? Investor Malaysia mana yang sudah kamu temui? Pertemuan apa yang hingga sampai tengah malam begini? Halus sekali permainannya hingga tidak menyisakan bekas apa-apa!”
Andhini tersentak mendengar pernyataan suaminya. Dengan cepat, Andhini menarik kembali gamisnya tapi masih membiarkan bagian resleting terbuka.
Tiba-tiba hati Andhini mendidih, ia tidak menyangka jika suaminya sudah mengganggap dirinya wanìta muɾahan yang dengan gampangnya bisa bercinta dengan siapa saja.
“Apa maksud kamu, Mas?” Kali ini suara Andhini bergetar.
Reinald membalik tubuhnya, “Apa ucapanku kurang jelas?” Reinald menatap Andhini, sinis.
Plak ...
Sebuah tamparan melayang ke pipi Reinald.
“Jahat kamu, Mas. Bisa-bisanya kamu berpikiran seperti itu, ha? Kamu belum bertanya apa-apa, aku juga belum menjelaskan apa pun, tapi kamu sudah menganggapku semurah itu. Jahat kamu, Mas!” Andhini membuang muka seraya terisak.
Reinald semakin bingung. Bersikap lunak, itu tidak mungkin sebab hatinya sudah terlalu sakit dan kecewa. Sedari sore, pikiran buruk selalu menghantuinya. Selama berjam-jam, ia membayangkan istrinya tengah bermain panas dengan pria lain. Pikiran yang sangat kotor.
“Beri aku nomor ponsel Investor Malaysia itu!” tegas Reinald.
Andhini kembali mebalik badannya dan menghadap ke arah Reinald, “Untuk apa?”
“Mengapa kamu tidak mau memberikannya kepadaku, ha? Takut rahasiamu terbongkar, iya!” Tatapan Reinald semakin mengerikan.
Andhini ingin melayangkan sebuah tamparan lagi, namun Reinald dengan cepat menyambar lengannya dan menggenggam tangan itu dengan kuat.
“Aauuhh ... mas, tanganku sakit, kamu sudah menyakitiku!”
“Sakit ya ... aku akan tambah rasa sakit itu!” Reinald segera mengangkat tubuh Andhini dan membanting tubuh itu dengan kasar ke atas ranjang. Ia kembali bersikap brutal, sama seperti ketika Andhini masih hidup dengan Soni.
“Mas, kamu mau apa?”
“Mau apa? Mengapa kamu harus bertanya. Aku berhak melakukan apa pun terhadap milikku.”
Reinald kembali menarik gamis itu dengan kasar, hingga gamis itu terlepas sempurna dari tubuh Andhini.
“Mas, kamu bisa memintanya baik-baik. Jangan bersikap seperti ini. Kamu sudah menyakitiku!” Andhini berusaha mencegah Reinald bersikap kasar.
Namun, Reinald sudah berada di puncak amarah. Semakin Andhini memberontak, ia semakin bringas. Reinald semakin yakin jika istrinya ada main dengan laki-laki lain.
Dengan cepat, Reinald melepaskan celana panjang dan pengaman bawah istrinya. Ia juga menarik kasar bɾa Andhini hingga menyisakan bekas merah dan perih di bagian punggung Andhini.
“Mas, kam—.”
Kali ini, Andhini tidak mampu berkata apa pun lagi. Reinald sudah melumat bibir itu dengan kasar.
====
=======
Hai man-teman yang baik ...
Masih ada nggak ni, mampir terus minta cerita ini tetap free tapi NGGAK MAU FOLLOW author, hiks ...
Katanya sayang sama author, tapi pencet FOLLOW dan taplove aja nggak mau, itu artinya SAYANGMU PALSU, hahaha ....
BTW, maaf kalau keseringan darah tinggi sama cerita ini ya ...
Percayalah, senam jantung itu sehat, wakakaka ...
Semangat pagi, kiss ...