Misi Penyelamatan

3031 Words
Sisca Wardoyo mendapat tepukan tangan yang meriah. Pesonanya begitu menebar membuat orang-orang merasa senang melihatnya. Tidak ada yang tahu, hatinya sedih sekali karena Bramantyo telah pergi tanpa pamit kepadanya. Lebih tepatnya dia tidak dilihat oleh Bramantyo. Sebenarnya Sisca telah merancang acara malam ini. Ingin membuat Bramantyo mabuk berat. Dia sudah merencanakan semua dengan matang bersama teman-teman sosialitanya. Sisca tampak murung dan enggan untuk bersalaman dengan para tamu yang sengaja menghampirinya. “Saya ke belakang dulu.” Pamit Sisca kepada orang-orang yang mengerumuninya. Sisca merasa yakin, Bramantyo tidak ke luar negri. Melainkan pergi ketempat perempuan itu. “Tunggu saja pembalasanku.” Sorot mata Sisca penuh dendam. Dulu, setidaknya sampai beberapa bulan lalu, Bramantyo selalu bersikap manis padanya, bahkan cenderung memanjakannya. Hal ini pulalah yang membuat Sisca salah membaca perhatian Bramantyo kepadanya. Sejak Bramantyo mengetahui perjodohan mereka, berubah total sikap Bramantyo kepadanya. Penolakan yang sangat menyakitkan. Bramantyo menganggap Sisca adik bungsunya. Sementara Sisca terobsesi olehnya. Sisca mempunyai harapan yang tinggi, menjadi nyonya Bramantyo berarti puncak kerajaan baginya. Kekayaan yang melimpah, bisa membuatnya lebih kaya dari orang tuanya. Dari itu, Sisca tidak punya pilihan lain selain terus maju memperjuangkan obsesinya. Sisca mulai merancang strategi. Informasi dari pengawalnya bahwa Bramantyo meninggalkan kota menuju arah timur bukan ke bandara, membuat Sisca geram. “Benar-benar dikacangin.” Keluh Sisca. ....... Kreeekk... blaaakk... Dua puluh lima menit sudah seluruh paku dari tiga palang pada pintu telah lepas. Satu-persatu dengan sangat hati-hati palang diturunkan. Pintu terkunci dari dalam. Kunci yang berjenis selot itu hanya mengait pada mata selotnya. Untungnya tidak digembok, sehingga memudahkan untuk dibongkar dengan cara menyelipkan pisau pada sela-sela pintu dan menggesernya berulang-ulang. Tanpa suara. Keterampilan tangan dan ke hati-hatian yang luar biasa. Dua orang yang menunggu dalam kewaspadaan, mulai siap-siap untuk menerobos masuk ke dalam rumah. Tidak ada penjagaan ketat dilokasi, hanya menempatkan seorang wanita tengah baya dan sejauh pantauan mereka, tidak ada yang datang untuk mengecek ke lokasi, hanya komunikasi telepone saja dengan wanita itu, justru membuat mereka makin meningkatkan kewaspadaan. Skenario penjebakan mungkin saja terjadi. Begitulah cara mereka bekerja. Alisha bergerak-gerak dengan gelisah dikursi rotan. Rasa bosan menyerangnya, setelah dia tidak menemukan jawaban kenapa dia dikurung, oleh siapa dan sampai kapan. Sementara Alisha hanya bisa pasrah. Namun berada di sini tanpa ada yang bisa dilakukan dan tidak tahu bagaimana kondisi neneknya, hampir membuatnya gila. Alisha bangkit berdiri, lalu berjalan mondar mandir sambil menggosok kedua tangannya untuk menghangatkan diri. Udara begitu dingin menggigit. Tiba-tiba dia berhenti, seperti mendengar sesuatu. Alisha menoleh kearah pintu, kini jantungnya berdebar, mendadak ada perasaan takut menyelinap di hatinya. Tapi rasa ingin tahunya lebih besar daripada rasa takutnya. Alisha melangkah pelan-pelan ke arah pintu, memiringkan wajahnya dan menempelkan telinganya di pintu itu. Mencoba mencari kejelasan dari suara-suara yang didengarnya tadi. Alisha mendengar suara langkah kaki yang samar. Jantungnya makin berdegup, telinganya makin nempel pada pintu. Siapakah? Apakah orang yang mengurungnya? Atau keluarga bibi? Alisha terus bertanya-tanya dalam hati. Alisha mendengar satu suku kata yang diucapkan oleh dua orang berbeda, “Clear.” Suara pertama “Clear.” Suara kedua Langkah kaki terdengar semakin jelas. Alisha bersiap diri, tekadnya adalah akan melawan siapapun juga yang hendak menyakiti dirinya. “Alisha, dengar aku?” Suara yang pernah dikenalnya terdengar. Alisha terlonjak kaget, mundur menjauh dari pintu. “Kalau dengar, angguk kepala saja, bayangan kamu terlihat dari sini, jangan berbicara supaya bibi tidak bangun, ok?” Lanjutnya. Alisha mengangguk-angguk dengan cepat, sambil menutup mulutnya. “Pintu akan dibuka, siap-siap ya, kamu akan keluar dari sini.” Alisha kembali mengangguk-angguk dengan cepat. Dalam keadaan tidak waspada, Alisha tidak menyadari Suminah bangun dan telah berada di belakangnya, memegang baki kayu yang diraihnya waktu turun dari ranjang dan, Buukk.. Suminah menghantam kepala Alisha bagian belakang hingga Alisha ambruk jatuh kedepan. Rasa kaget dan sedikit sengatan sakit, membuat darah Alisha mendidih marah. Suminah menjulurkan tangan kanan untuk meraih rambut Alisha, sementara tangan kirinya memegang sebilah belati ukuran sedang sekira panjangnya sepuluh senti meter. Mata Alisha menangkap gerakan Suminah, Alisha menggulingkan diri mendekat pada Suminah, menarik bajunya Suminah dengan cepat dan bertenaga, hingga suminah hilang keseimbangan dan Alisha menjadikannya tahanan untuk dia berdiri, lalu digigitnya pergelangan tangan Suminah sampai belatinya lepas dari genggaman Suminah. Suminah menjerit kaget sambil mendorong Alisha sekuat tenaga, setelah ada jarak, Suminah melayangkan pukulan pada d**a Alisha. Kali ini Alisha tidak sempat mengelak. Jatuh terjengkang ke belakang. DI saat bersamaan, suara letusan kecil terdengar. BEP.. Lolongan Suminah memecah keheningan. Alisha terengah-engah karena merasa sesak nafas, menyaksikan sebuah peluru dari senjata laras pendek menembus bahu Suminah yang besar. Dua orang lelaki menghampiri Suminah dengan gerak cepat sambil menodongkan senjata dan meringkus Suminah. Satu orang lelaki yang tak lain adalah Bramantyo, setengah melompat menghampiri Alisha, tanpa buang waktu, langsung menggendong Alisha dan bergegas keluar kamar, belok kekiri, masuk dapur lalu menerobos pintu setengah berlari. Jarak sepuluh meter terparkir mobil sedan tanpa plat nomor warna hitam dalam kondisi mesin menyala. Bramantyo memasukkan Alisha ke dalam mobil dengan hati-hati. Disusul dia ikut masuk untuk menyangga Alisha. Alisha yang sudah reda dari keterkejutannya, bertanya pada Bramantyo, “Mau dibawa kemana lagi?”. Ujarnya. “Kita akan ketempatku, disana aman, setelah ini, aku akan melindungimu terus.” Ucap Bramantyo kepada Alisha. “Melindungi dari apa? Aku bisa jaga diriku sendiri.” Jawab Alisha ketus. Bramantyo menghela nafas, lanjutnya, “Maaf aku kecolongan sampai kamu harus mengalami semua ini.” Katanya. “Dimana nenek?”. Alisha mengajukan pertanyaan dan mengabaikan ucapan Bramantyo yang terakhir. Bramantyo terdiam, dia belum tahu bagaimana caranya memberitahukan pada Alisha bahwa neneknya sudah meninggal dunia. Beruntung pada saat itu, mereka telah sampai di paviliun yang merupakan bagian dari Vila di belakangnya. Akses menuju paviliun ini harus memutar mengitari Vila. Bramantyo bergegas turun dari mobil, lalu menyodorkan satu tangannya kepada Alisha. Tapi Alisha menepisnya, “Aku bisa sendiri.” Katanya sambil bergeser ke arah pintu mobil. Bramantyo menggelengkan kepala dengan pelan, “That’s my girl.” Bathinnya Seorang pelayan wanita usia empat puluh tahunan, tergopoh-gopoh menyambut Alisha. “Non, sini ikut mbak Siti.” Ujarnya sambil menggandeng Alisha. “Terimakasih mbak.” Alisya tersenyum pada wanita itu. DIbelakangnya Bramantyo menyusul. Alisha dibawa ke tempat duduk di ruang tengah paviliun itu. Meskipun paviliun, namun tempatnya sangat besar. Ada banyak ruangan dan kamar-kamar. Dihadapan Alisha telah terhidang dua cangkir teh panas dan beberapa makanan ringan. “Silahkan non di cicipi, ini bikinan mbak, enak loh.” Katanya sambil mengangsurkan cangkir teh kedepan Alisha. “Terimakasih.” Kata Alisha sambil mengambil cangkir itu dengan tatakanya. Bramantyo menyaksikan gerak-gerik Alisha yang dimatanya semakin menarik. Kesopanan Alisha dan sikap tubuhnya yang anggun, benar-benar diluar dugaan Bramantyo. “Kalau begitu, mbak pamit ya non. Kalau perlu apa-apa, jangan sungkan cari mbak ya, mbak di ruangan pojok sana ya non.” Mbak Siti memberitahu Alisha sambil menunjuk ke pintu yang berada di pojok ruangan. “Baik mbak, maaf merepotkan.” Alisha mengangguk. “Ah, tak apa non, udah tugas mbak kok.” Jawab mbak Siti sambil meninggalkan Alisha dan Bramantyo. “Mari den.” Pamitnya pada Bramantyo yang dibalas dengan anggukan. Kini hanya tinggal Bramantyo dan Alisha di ruangan itu. Alisha menoleh kepada Bramantyo lalu bicara, “Terimakasih sudah merawat aku sampai sembuh, kalau tidak di tolong kamu, aku gak tahu bakalan gimana, Terimakasih juga sudah merawat nenek, meskipun aku gak tahu dan gak ngerti kenapa kamu sesibuk itu menolong aku dan nenek.” Kata Alisha panjang lebar. “Tidak masalah buat aku, pada saatnya nanti kamu akan tahu alasannya, kenapa aku berbuat itu. Buatku yang penting sekarang adalah memastikan kamu baik-baik saja.” Jawab Bramantyo, sambil menatap lurus-lurus pada Alisha. “Sekarang, bisa tolong ceritakan apa yang telah terjadi padaku dan nenek?”. Tanya Alisha dengan mimik serius. “Baiklah, memang kamu harus tahu.” Ujar Bramantyo. “Awalnya aku melihat kamu sedang melamun di pinggir jalan depan puskesmas. Jujur kamu mengingatkanku pada seseorang yang kutemui saat aku kecil. Itu baru aku sadari belakangan sih..” “Lalu aku turun dari mobil hendak menghampirimu, ternyata kamu sudah tidak ada di tempat itu.” Bramantyo diam sejenak. “Aku berkeliling mencari kamu, disebrang jalan, aku melihat kerumunan orang, secara refleks aja, aku menyebrang jalan dan melihat, ternyata kamu yang tergeletak bersimbah darah.” “Aku membawamu ke rumah sakit dan memerintahkan orang-orangku untuk mencari tahu kenapa dan untuk apa kamu berada di situ, sampai akhirnya aku mendapat laporan bahwa kamu telah membawa seorang nenek ke puskesmas. Maka sekalian saja aku pindahin ke rumah sakit, yang ternyata itu adalah nenekmu.” “Selanjutnya kamu menjalani perawatan, karena mengalami patah tulang di tangan kanan dan gegar otak ringan. Syukurlah kamu bisa pulih dengan cepat. Makanya aku berani ninggalin rumah sakit karena ada urusan yang mendesak.” Ketika pulang kamu sudah tidak ada. Tidak ada seorangpun yang melihat kamu. Anehnya, waktu yang diperkirakan kamu menghilang saat itu bertepatan dengan kamera CCTV yang mati secara serentak selama tiga menit.” “Dari situlah aku yakin kamu hilang karena di culik, bukan karena kamu pergi atas kehendak sendiri.” “Kami berusaha mencari jejak kamu, sampai akhirnya mendapat petunjuk tentang keberadaan kamu, sebuah tulisan di atas amplop, yang dibelakangnya tertera nama kamu.” “Kami menemukan sahabatmu, Meilani, yang menceritakan kejadian sebelum kamu kecelakaan.” “Dugaan sementara kami adalah Jafar yang menculik kamu.” Bramantyo menghela nafas panjang. Menghentikan ceritanya dan menatap Alisha. Mimik muka Alisha berubah-ubah selama Bramantyo bercerita, karena Alisha adalah seorang pendengar yang baik, maka Alisha tidak berusaha memotong pembicaraan Bramantyo. Setelah tidak ada lagi kalimat yang keluar dari mulut Bramantyo, Alisha bertanya, “Bang Jafar? Bagaimana dia bisa membawaku tanpa ketahuan dari rumah sakit? Bagaimana dia tahu bahwa aku disana? Lalu, Nenek, gimana keadaan nenek?.” Pertanyaan terakhir Alisha bernada mendesak. Bramantyo menunduk, tidak tahu harus mulai dari mana untuk memberitahu Alisha tentang neneknya. Suara deringan handphone memecah kesunyian. Bramantyo meminta ijin pada Alisha untuk menerima telepone. “Sebentar ya..” Kata Bramantyo. Sambil berdiri menjauh dari Alisha. “Ya?” Bramantyo menjawab telepone. “Ok, thanks.” Bramantyo menutup telepone dan kembali duduk didepan Alisha. “Bibi Suminah sudah mengakui kalau yang menyuruhnya menjagamu adalah Jafar dan rencananya subuh ini Jafar akan jemput kamu untuk menikahimu.” Bramantyo memberitahu Alisha. “Menikahiku? Seenak udelnya aja tuh orang.” Rutuk Alisha. “Tapi.. bagaimana caranya dia membawaku, dan siapa yang memakaikan pakaian padaku?”. Alisha bergumam, bertanya pada diri sendiri. “Jafar menyuruh orang lain, seorang pria yang menyamar menjadi perawat wanita, makanya bisa masuk ke kamarmu melewati penjagaan.” Lalu membuat kamu tidak sadarkan diri, memindahkanmu ke kursi roda, dan menurunkan kursi rodanya dari balkon pada rel yang telah dipasang sejam sebelumnya.” “Sampai lantai dua, memakai kunci akses salah satu pegawai rumah sakit, masuk memotong jalan ke ruang penyimpanan VIP, lalu keluar melalui jalur pembuangan sampah yang sudah tidak dipakai lagi.” Bramantyo melanjutkan sambil membuka handphonenya dan memperlihatkan rekaman CCTV belakang. Sambil memberitahukan bahwa CCTV itulah yang luput dipadamkan oleh Jafar. “Rupanya, ada pegawai rumah sakit yang cukup senior yang adalah anak buahnya Jafar.” Lanjut Bramantyo. Diam sejenak, memberikan waktu pada Alisha untuk mencerna ceritanya. Alisha mematung, dengan posisi tubuh tegak, matanya melihat pada satu titik. Entah kenapa Alisha begitu tampak mempesona dimata Bramantyo. Bramantyo tidak ingin berlama-lama menunda kabar tentang nenek Alisha. “Mohon maaf Alisha, mengenai nenekmu, dokter tidak bisa menyelamatkannya, beliau pergi sebelum operasi, tepat bersamaan dengan kamu di culik. Maaf dan turut berduka cita, Alisha.” Bramantyo turun dari kursinya, duduk bersimpuh diatas karpet sambil menundukkan kepalanya. Kali ini Alisha agak sulit mencerna kabar itu, dia mengulang kalimat Bramantyo dalam hatinya. Dengan nada tegar Alisha bertanya, “Apakah kondisi nenek seburuk itu? Bukankah nenek sudah disiapkan untuk operasi? Ada yang salah?”. Nada Alisha menuntut jawaban lebih. Alisha tahu bahwa para dokter telah mengupayakan kondisi neneknya sedemikian rupa supaya bisa menjalani operasi dan selamat. “Ya, nenekmu secara keseluruhan sangat siap untuk operasi.” Bramantyo mengangguk sambil tetap bersimpuh. Keduanya diam beberapa saat. “Apa penyebab kematiannya?”. Alisha bertanya. “Belum bisa dipastikan, kecuali dilakukan otopsi.” Bramantyo berbohong. Dia gak tega untuk memberi tahu yang sebenarnya. “Dimana jasadnya?” Kembali Alisha bertanya, masih dengan nada yang datar. “Dimakamkan di desa wahana oleh orang tua Meilani.” Jawab Bramantyo. “Aku ingin menemui Mey.. Bisakah?” Tanya Alisha penuh harap. “Baiklah, sebentar.” Jawab Bramantyo bangkit, lalu menelepon Praja. “Meilani masih disini? Tolong di jemput, Alisha mau ketemu.” Perintah Bramantyo. Lalu menutup telepone. Alisha masih duduk mematung. Tanpa ekspresi, seolah tidak pernah mendengar kabar buruk. Melihat hal seperti itu, Bramantyo merasa sangat heran. Tidak ada kesedihan pada wajah Alisha. Benar-benar tanpa ekspresi. Tapi tatapannya kosong. Praja menghubungi Meilani yang langsung diangkat teleponenya oleh Meilani. “Halo pak? Ada kabar?”. Tanya Meilani was-was. “Apakah keberatan kalau mbak Mei dan suami saya jemput? Kami telah menemukan Alisha dan ingin bertemu mbak.” Praja mengutarakan maksudnya. “Serius pak? Alisha sudah ketemu? Baik, baik pak, kami siap-siap.” Jawab Meilani dan memutuskan sambungan telepone. Praja melihat layar handphone yang mati sambil geleng-geleng kepala dan tersenyum. Lalu menginjak pedal gas dan berlalu menuju rumah orang tua Meilani. Sementara itu, Suminah disekap di sebuah gudang bekas. Luka akibat tembakan di bahunya sudah di operasi ditempat dan di perban oleh salah satu pengawal yang mantan dokter di militer. Suminah dibayar mahal untuk mengaku siapa yang menyuruhnya menjaga Alisha dalam penyekapan. Serta mendapat ancaman akan dikejar sampai mati kalau berani sekali lagi melakukan penyekapan. Ketika Meilani dan Fado sampai ke paviliun dan melihat Alisha yang masih diam mematung dengan tatapan kosong, Meilani panik. “Alisha.. Alishaaa.” Teriak Mey menghampiri Alisha. Alisha masih bergeming. Bahu Alisha diguncang-guncangkan dengan keras, bahkan Fadopun ikut membangunkan Alisha dari bengongnya. Perlahan Alisha sadar, dia memandang Meilani sejenak seakan memastikan bahwa wanita muda dihadapannya adalah benar Meilani. Tiba-tiba, Alisha meraung keras memeluk Meilani, dia menangis histeris, “Nenek... neneek...” Sedu sedan Alisha. Meilani ikut menangis, Fado tampak sedih, sementara matanya Bramantyo berkaca-kaca. Rupanya Alisha butuh menumpahkan rasa sakit kehilangan neneknya pada seseorang yang dekat dengannya. Alisha terus meraung, tangisan dengan nada pedih menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Bramantyo menepuk pundak Fado lalu berbisik, “Tolong bawa Alisha ke kamar itu, biar dia merasa nyaman.” Kata Bramantyo sambil menunjuk ke arah tengah dimana ada pintu terbuka. Yang dibalas anggukan Fado tanda mengerti. Lalu Fado berbisik pada Meilani yang dibalas anggukan lemah. Meilani berusaha mengangkat Alisha agar berdiri dibantu Fado, lalu memapahnya memasuki kamar. Bramantyo kembali mendekati Fado, “Menginaplah disini, besok kita sama-sama ke makam nenek.” Ajak Bramantyo. “Kamarnya persis disebelah ya.” Lanjut Bramantyo sambil memberi isyarat keberadaan kamar dimana. Fado hanya bisa mengangguk. Bramantyo beranjak ke kamar tamu, dia membuka laptop dan menerima laporan-laporan dari kepala pengawal dan Praja. Suminah membuat pengakuan bahwa yang menyuruhnya adalah Jafar. Dia membawa Alisha tengah malam. Jadi, selama siang sampai diantar ke desa, Alisha dimana? Pikir Bramantyo. Suminah dibayar tiga juta sehari oleh Jafar. Nilai yang cukup fantastis bagi orang desa. Suminah ternyata sudah lama bekerja pada Jafar. Tugasnya adalah menjaga orang-orang yang disimpan oleh Jafar sebelum Jafar melakukan sesuatu kepada orang-orang tersebut. Sementara rumah pengasingan itu sudah tiga kali dipakai Jafar untuk menyimpan orang sementara. Tetapi Suminah merasa kaget kala Jafar meminta dibelikan ranjang baru lengkap dengan bantal guling, selimut serta sprei dan membuat kamar mandi darurat. Biasanya kamar itu tidak pernah dipakai. Tawanan hanya didudukan di kursi ruang tengah, dan selalu ada satu atau dua penjaga lelaki selain Suminah. Jafar hendak menikahi Alisha dan rencananya Suminah akan turut serta untuk mempersiapkan segala kebutuhan Alisha. Untuk membuat Suminah membuka mulut adalah tawaran uang sebesar seratus juta. Uang tersebut bisa membuat Suminah hidup nyaman di desa sampai akhir hayatnya. Laporan dari kepala laboratorium forensik; Angkutan kota telah ditemukan dua jam setelah pria misterius pembunuh Ibu Hamidah menghilang diarea Bazaar. Berdasarkan jejak kaki yang sangat akurat, pria itu duduk dipojok sederetan supir. Ditemukan jejak plastik yang mengandung pembersih steril rumah sakit dan cocok dengan rumah sakit sehat waras. Akan tetapi, tidak ditemukan benda apapun disitu. Hasil interview dengan supir angkutan, diketahui bahwa ada ibu muda membawa anak balita yang pindah tempat duduk ke tempat yang sama dengan pria misterius itu duduk sebelumnya. Ibu muda tersebut turun persis didepan sebuah gang, untungnya supir angkutan sempat melihat ibu tersebut memasuki gang. Penelusuran hari pertama, mereka tidak menemukan ibu muda dengan anak balita di gang tersebut, berdasarkan ciri-ciri yang dinfokan supir angkutan. Hari ke-dua ada berita mengejutkan. Seorang anak perempuan yang belum genap satu tahun, meninggal tanpa sebab. Dua orang yang dikirim Bramantyo menyamar sebagai polisi yang berpakaian preman dan berhasil menyita beberapa barang yang dimainkan oleh anak tersebut dalam dua hari terakhir, salah satunya adalah sebuah pipet tanpa jarum, sekilas mirip mainan dokter-dokteran. Dengan seksama labolatorium memeriksa sisa-sisa cairan yang telah mengering, menguraikannya dengan zat tertentu dan menemukan bahwa seratus persen itu identik dengan racun yang dipakai untuk membunuh Ibu Hamidah. Laboratorium juga memilah beberapa sidik jari yang menumpuk dalam pipet tersebut. Ditemukan tiga sidik jari. Salah satunya adalah milik anak kecil yang meninggal. Dua sidik jari lainnya sedang dalam proses pencocokan data. Sementara itu laporan dari lapangan yang mengawasi gerak gerik Jafar dengan ketat, membuat Bramantyo shocked. Dikatakan bahwa Jafar menemui Sisca Wardoyo di sebuah warung makan kecil dipinggiran kota. Tepat pada saat ini. Beberapa poto masuk beriringan di handpone Bramantyo. Sisca masih mengenakan gaun perak dibalik jaket kulit mewahnya. Duduk menyamping, sedangkan wajahnya disangga oleh tangannya, memandang lekat pria dihadapannya yang tak lain adalah Jafar. Di poto lainnya, dengan beda posisi. Tapi semuanya sama. Mereka berbincang dengan santai, tidak peduli betapa kontrasnya penampilan mereka yang sangat tidak cocok untuk berada disitu. Sayangnya, orang yang mengikuti Jafar tidak bisa merangsek maju untuk merekam pembicaraan mereka, sebab baik Jafar maupun Sisca Wardoyo, masing-masing membawa pengawal yang berjaga dengan penuh kewaspadaan. Bramantyo menilai kalau Jafar tidak tahu bahwa Alisha telah lepas dari genggamannya. Mimik wajah Jafar tampak santai dan sesekali tertawa. Hanya saja Sisca sedikit kusut wajahnya, meskipun bersikap santai. Bramantyo merasa lemas. Apa yang mereka lakukan? Sejak kapan mereka saling mengenal? Bramantyo sulit menemukan benang merah antara Sisca Wardoyo dengan Jafar. "Perketat pengawasan. Tambah personil." Tulis Bramantyo yang ditujukan kepada pengirim poto. "Bersiap untuk Subuh, pohon tetap digunakan." Bramantyo memberi perintah kepada Praja. "Perketat kawasan Vila. Sebarkan garis merah untuk Sisca, cek CCTV." Lanjut Bramantyo. Bramantyo khawatir bahwa Sisca mengetahui tentang Alisha, bisa saja dia ikut datang dan berkunjung ke Vila. Tiba-tiba Bramantyo bergidik. Rasa mual juga menyerangnya. Merasa sangat aneh atas kedekatan Sisca dengan Jafar. Bagaimanapun juga, Bramantyo sebenarnya menyayangi sisca seperti kepada adiknya Ajeng Laksono. Tapi saat ini, perasaan Bramantyo kepada Sisca sedang merasa jijik. Bramantyo teringat Alisha, dia pun menutup laptopnya lalu bangkit, keluar kamar. Pintu kamar masih terbuka, terdengar suara isak tangis dari dalam. Alisha masih menangis. Perasaan Bramantyo menjadi tidak karuan, betapa dia tidak tega pada Alisha, tapi tidak bisa menghiburnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD