Terasing

3009 Words
Bramantyo menghirup udara segar di taman rumah sakit, tubuhnya penat, kurang tidur dan sedikit bingung. Berulang kali dia bertanya pada diri sendiri, apa yang sedang dia lakukan memboyong dua orang yang tak dikenal ke rumah sakit dan bertanggung jawab penuh atas pengobatan mereka? Dimanakan kewarasannya yang selalu ia jaga selama ini? Lalu kenapa ia melakukan hal gila seolah-olah mereka adalah keluarga terdekat? Namun kembali nuraninya mengalahkan logika. Ada magnet yang sangat kuat menarik hatinya untuk tidak mengabaikan Alisha. Satu hal telah disadari Bramantyo, yang cukup membuatnya terhenyak. Dia jatuh cinta. Jatuh cinta kepada orang yang bahkan belum pernah melihat dirinya sama sekali. Bramantyo merasa sangat aneh dengan hal ini. Dia sadar, dengan kisah jatuh cintanya yang tidak biasa dan latar belakang Alisha, semua orang di sekelilingnya akan menentangnya, bahkan Anjingnya pun akan menentangnya. "Aargh. Kenapa aneh begini sih?" Gerutu Bramantyo dengan kesal. "Apa yang aneh mas? Mas sedang apa disini?". Tiba-tiba Sisca muncul di hadapan Bramantyo. "Lah, kamu mau ngapain ke sini?". Tanya balik Bramantyo dengan heran. "Aku check up. Mas kenapa gak pernah jenguk aku? Mas cuma nge-drop aku ke rumah sakit, terus mas gak pernah nongol lagi." Sisca langsung konfrontasi. "Aku sibuk. lagipula kelihatannya kamu sudah sembuh. Syukurlah. Mas pergi dulu." Bramantyo menjawab sekaligus pamit. Tangan Sisca refleks menarik lengan Bramantyo, sikapnya menuntut untuk mendapatkan jawaban lebih. "Ada apa denganmu Mas? Gak mau perduli lagi sama aku?". Cecar Sisca tanpa melepaskan genggamannya. Bramantyo melirik sekilas ke arah lengannya yang tercengkram tangan sisca, lalu menatap sisca dengan pandangan dingin sambil berusaha melepaskan tangan Sisca dari lengannya. "Jangan ganggu aku, aku sangat sibuk". Ujarnya ketus. Lalu berbalik dan melangkahkan kaki dengan mantap. "Siapa gelandangan itu? kenapa mas bersusah payah menolongnya? bukan mas yang mencelakainya, tapi kenapa mas siang malam mengurusnya?". Sisca bertanya setengah menjerit. Seketika Bramantyo menghentikan langkah. Mendengar pertanyaan Sisca dengan seksama. Darahnya seakan mendidih. Dia tidak terima dengan label gelandangan yang Sisca ucapkan. Bramantyo membalikkan badan, menatap Sisca dengan tajam. Seketika Aura dingin memancar, Sisca terkejut dan merasa ketakutan. Tapi dia berusaha menutupinya. "Apa kamu bilang? Gelandangan? Jaga ucapanmu, aku tidak perduli siapa kamu, ketika mulutmu menghinanya, maka sama saja kamu menghinaku, paham?" Ujar Bramantyo setengah membentak. Sejurus kemudian, Bramantyo bergegas meninggalkan Sisca yang ternganga. Emosi membuncah di d**a Sisca, nafasnya naik turun dengan cepat, kedua tangannya mengepal sampai pucat, dia tidak pernah mengalami dipermalukan oleh siapapun di tempat umum. Apalagi demi seorang gelandangan. Sisca tidak habis pikir, ada cerita apa dibalik Bramantyo dengan gelandangan itu. Siska meraih telepone genggamnya, memencet satu tombol, tak lama Sisca berkata, "Selidiki selengkapnya Alisha Diandre, apa hubungannya dengan Bramantyo. Cepat!". Sisca mengakhiri pembicaraan dengan wajah yang memerah. Tak lama kemudian, Sisca memencet satu tombol lagi. "Pagi tante, ." "Baik tante.." "Iya nih tan, Sisca mau bilang kalau mas Bram lagi deket sama perempuan lain, yang Sisca gak terima perempuan itu homeless tante. Tante tahu gak?". Sisca memberi info terselubung kepada Anastasya, ibunya Bramantyo. "Ya, Sisca susah ceritainnya tante, mas Bram sekarang di rumah sakit tante, nungguin perempuan itu yang dirawat karena kecelakaan.". "Tante mau kesini? Sisca tunggu di kantin lantai 5 ya tante, bye.." Segaris senyum tipis tersamar di wajah Sisca, misinya yang pertama adalah membuat ibunya Bramantyo tahu tentang siapa Alisha dan dia bermaksud ingin mempermalukan perempuan itu. Dengan langkah ringan, Sisca meninggalkan taman menuju lift yang akan membawanya ke lantai 5 dan menunggu tante Anastasya. Bramantyo tersenyum getir. Tentu saja dia paham bahwa setiap gerak geriknya tidak akan pernah lepas dari pantauan Sisca, bahkan identitas Alishapun bukan perkara sulit untuk Sisca korek sesukanya. Satu kesadaran muncul, Ibunya. Sisca pasti sudah kontak ibunya. "Ah s**t, kenapa kelupaan ngabarin mommy ya?". Erang Bramantyo sambil menepuk jidatnya. Telepone tersambung. "Mom, sibuk? mommy dimana?". Berondong Bramantyo, sambil melangkah pelan di lorong VVIP, menjauh dari kamar Alisha. "Iya, Bram di rumah sakit mom, temen Bram kecelakaan. Mommy mampir ya, Bram mau kenalin mommy, tapi dia belum sadar mom..". "Ok mom, Bram jemput di lobby A ya mom. See you." Bramantyo mengakhiri percakapan, lalu bergegas masuk lift menuju Lobby. Sepuluh menit berlalu sebelum akhirnya Anastasya melihat putranya dengan senyum sumringah. "Hai sayang, gak kelamaan nunggu kan?". Anastasya memeluk Bramantyo. "Ayo, mommy sudah tak sabar ingin kenal dengan temanmu.". Ajak Anastsya sambil menggamit erat lengan Bramantyo. "Ngomong-ngomong, temanmu ini siapa sih? Apa dia special buat kamu?". Celoteh berkelanjutan dari Anastasya. sambil menoleh tengadah memandang lekat wajah putranya yang tampan. "Hmm.. buat Bram sangat special mom, tapi Bram belum tahu apakah Bram bisa jadi orang special di hatinya." Jawab Bram penuh kebimbangan. "Oh, begitu ya? kalian kenal dimana?". Anastasya tidak tahan untuk terus bertanya. "Well, Bram belum bisa cerita mom, nanti aja ya.". Ucap Bramantyo mengulas senyum tipis sambil merengkuh bahu Anastasya dan mengecup rambut Anastasya. Di dalam Lift, Anastasya terpana, ini hal baru yang dilakukan anaknya setelah dewasa. Dulu waktu Bramantyo kelas 5 SD, dia pernah bilang kalau dia menemukan seorang anak yang special. "Mommy, Bram ketemu teman sangat cantik kaya mommy loh..". Anastasya mengingat masa itu. "Bram sangat suka. Pokoknya special banget mommy.". Anastasya tersenyum. Kenangan indah seakan terulang kembali. Sebagai seorang Ibu yang selalu dekat dengan putranya bahkan dalam beberapa hal, uluran campur tangan Anastasyalah yang membuat Bram mampu mengelola perusahaan besar dengan sukses. Maka, Anastasya tahu benar bahwa putranya belum pernah jatuh cinta kepada wanita lain selain seorang gadis kecil waktu SD dulu. Cinta pertama, cinta monyet. Anastasya menghentikan lamunannya tepat ketika pintu ruang rawat inap dibuka. Tampak dapur mini menyambut sebelah kiri. Ruangan ini begitu luas. Anastasya tentu familiar dengan ruang VVIP, karena dialah yang mendesain ruang-ruang rawat inap di rumah sakit ini. Anastasya semakin penasaran, se-special itukah wanita itu? sampai dirawat diruang VVIP yang harganya termahal diseluruh negri ini. Bukankah Sisca mengatakan kalau wanita ini homeless? Bramantyo menarik tangan Anastasya dengan lembut. Di bimbingnya Anastasya ke samping tempat tidur pasien. Anastasya terpana menatap Alisha. Hidung itu, bentuk hidung yang tidak biasa. berdiri indah diantara pipi dengan garis yang sempurna. Anastasya pernah melihat hidung seperti itu dan mengaguminya. "Sangat cantik". Gumam Anatasya. "Kenalkan mom, ini Alisha, Alisha Diandre.". Bramantyo mengatakannya setengah berbisik di telinga ibunya. "ALISHA DIANDRE?". Tanpa sadar Anastasya nyaris berteriak menyebut ulang nama Alisha. Dengan terkejut, Bramantyo memandang ibunya penuh tanda tanya. "Maaf, mommy hanya teringat seseorang. yang punya nama sama.". Anastasya terkekeh. "Tapi mommy lupa kapan dan dimana mommy dengar nama itu." Jelasnya sambil mendekat ke arah Alisha. Dipandanginya Alisha lekat-lekat. Samar-samar merasa pernah bertemu dengan wanita ini, tapi kapan dan dimana, Anastasya sama sekali tidak mampu mengingatnya. "Baiklah, mommy ada janji temu dengan seseorang, kamu punya utang cerita ke mommy. Sekarang mommy pamit dulu ya Bram.". Anastasya segera menyudahi kunjungan, karena teringat untuk menemui Sisca. "Alisha, cepat bangun, semangat ya.. " Anastasya menepuk lengan Alisha lembut. Bramantyo mengangguk dan bersiap mengantar Anastasya ke pintu, dimana para pengawal anastasya berjaga. "See You mom, love you" Bramantyo mengecup kening Anastasya yang dibalas dengan pelukan. "Love you too, son". balas Anastasya. Praja telah sampai kedepan pintu ruangan dan membungkuk hormat kepada Anastasya, "Selamat pagi bu," Sapanya dengan formal. "Pagi Praja. Have a nice day ya". Balas Anastasya sambil melangkah pergi dengan anggun. "Bos, neneknya Alisha harus segera operasi tapi butuh tanda tangan keluarganya.". Praja tidak berani bertanya tentang Alisha. "Apa bisa tunggu sampai satu atau dua hari lagi?". Balas Bramantyo. "Bos,..". Praja tidak melanjutkan ucapannya, karena melihat Alisha sedang berdiri di balakang Bramantyo berjarak dua meter dengan wajah pucat pasi. "Kalian lagi ngomongin nenek aku? mau operasi? operasi apa? kalian siapa?". Alisha bertanya dengan suara yang lemah, tapi jelas bisa terdengar oleh Praja dan Bramantyo. Bramantyo terkejut luar biasa, refleks membalikkan badan, tepat saat Alisha mulai ambruk akan jatuh ke lantai. Dengan sigap Bramantyo meloncat sambil mengulurkan kedua tangannya agar bisa menangkap Alisha. Brug. Alisha berhasil ditangkap dan diputar untuk menghindari Alisha jatuh duluan ke lantai. Hasilnya Alisha tetap jatuh tapi mendarat dipelukan Bramantyo. Sementara Bramantyo meringis karena jatuh lalu tertimpa tubuh Alisha dan keningnya tertimpa tiang infus. Praja menerobos masuk ruangan dan segera memencet bel darurat memanggil perawat jaga. Lalu segera membenahi tiang infus agar jarum infusnya tidak tercabut dari tangan Alisha. "Bos, bisa bangun?". Praja bertanya sambil kebingungan mau menolong bos bagaimana caranya, sementara dia tidak mungkin menyentuh Alisha demi menolong bos berdiri, bisa-bisa dipecat tanpa pesangon. "It's Ok, tunggu sebentar". Perintah Bramantyo. Bramantyo memutuskan menunggu para perawat datang, dia tidak berani bangun karena khawatir terjadi sesuatu pada tangan Alisha yang patah. Bramantyo memejamkan mata, menikmati suatu perasaan yang tiba-tiba muncul. yang tidak bisa dijabarkan. Dua orang perawat tergopoh-gopoh masuk ke ruangan dan langsung memposisikan Alisha dengan benar. Bramantyo bangkit lalu memberi isyarat kepada perawat untuk menggendong Alisha ke tempat tidur. perawat mengangguk sambil memegang gips di lengan Alisha dengan hati-hati. Dua orang dokter datang, langsung memerintahkan Bramantyo untuk menunggu di luar. Mereka segera memeriksa kondisi Alisha secara menyeluruh. Tidak ada sesuatu yang mengkhawatirkan. Alisha hanya masih lemah. Perlahan Alisha tersadar, kepalanya seperti melayang dan sakit yang menusuk di lengannya membuatnya meringis. "Alisha? Apakah sudah bisa melihat dan mengenali kami?". Salah satu dokter bertanya kepada Alisha. Pertanyaan yang sangat lucu bagi Alisha. Bagaimana mungkin Alisha mengenal mereka? "Saya dimana?". Jawaban itu yang keluar dari mulut Alisha. "Kamu di rumah sakit sehat waras, kamu mengalami kecelakaan tabrak lari. Kamu sudah menjalani operasi karena tulang sendimu patah. Kamu berada di rumah sakit terbaik. kamu akan segera sembuh.". Dokter menjelaskan panjang lebar. Alisha terdiam. Dia tahu telah mengalami kecelakaan. Dia hanya tidak mengerti siapa orang-orang yang telah menolongnya dan merawatnya ditempat super mewah ini. "Bagaimana dengan nenek saya?". Alisha menanyakan neneknya. "Untuk itu, bisa ditanyakan kepada Pak Bramantyo, karena bukan kami yang menangani nenekmu". Jawab salah satu dokter. "Apakah ada hal lain yang diperlukan? Kalau ada, bisa melalui perawat jaga ya". Sambung dokter sambil menunjuk perawat disampingnya. "Selamat istirahat". Pamitnya. Dokter berlalu dari ruangan, begitupun para perawat undur diri. Mendadak Alisha merasa terasing. Terasing ditengah tempat dan orang-orang yang tidak dikenalinya. Tiga puluh menit telah berlalu, Sisca Wardoyo menghentakkan kakinya. Dia tidak terima harus membuang waktu menunggu seseorang sekalipun itu adalah Anastasya, Ibu dari lelaki yang dicintainya. Dia mengedarkan pandangan dengan mimik bosan, suasana kantin mulai ramai, meskipun kantin lantai 5 adalah kantin khusus untuk tamu-tamu VIP, namun menjelang siang selalu ramai pengunjung. "Uuh, tante mana sih? kok belum sampai juga". Sisca geram. Tiba-tiba dari arah belakang ada suara menyapa, "Sisca? maaf lama menunggu, tante ada urusan sebentar tadi.". Suara Anastasya terdengar lembut. Sisca menoleh dan langsung berdiri menyambut, melebarkan kedua tangan, mencium pipi kiri dan kanan Anastasya. "Sisca sampai berlumut nungguin tante.". Suara manja Sisca terdengar. "Ahahahaha.. Kamu bisa aja, mana mungkin lumut bisa tumbuh di kulit yang mulus seperti ini.". Jawab Anastasya sambil terkekeh. Mereka duduk berbarengan. Sisca menampakkan wajah kesal. Tidak berusaha menyembunyikan suasana hatinya. Sementara Anastasya terus menyunggingkan senyumnya. "Bagaimana Sisca, apa yang terjadi?". Anastasya bertanya kepada Sisca. "Sisca kesel tante, siapa yang tidak sakit hati dikhianati, dibohongi?" Jawabnya. "Padahal mas Bram udah janji mau menetapkan tanggal buat hari tunangan kita." Sambungnya berbohong, sambil menatap Anastasya, berusaha membaca mimik muka Anastasya. Namun pemilik wajah cantik a'la barat itu tidak bergeming, ekspresi wajahnya tetap ramah dengan tidak menanggalkan senyumnya. Melihat hal itu, Sisca merasa makin kesal dan bingung. "Tante gak tahu kalau mas Bram lagi sama perempuan lain sekarang? bahkan siang malam bersamanya? lagipula perempuan itu bukan siapa-siapa tante, cuma perempuan sampah, anak haram, gelandangan lagi.". Celoteh Sisca dengan nada meninggi. "Sisca, perempuan itu namanya Alisha, dia adalah cinta pertama Bramantyo, tante sudah kenal 18 tahun yang lalu. Nah, kalau mereka berteman sekarang gak ada yang salah kan?". Anastasya berkata setengah memancing. "Apa tante?! Cinta pertama mas Bram? gak mungkin. Gak mungkin tante, sangat gak mungkin. Kapan ada kesempatan mas Bram ketemu anak gelandangan waktu kecil?". Rentetan kata Sisca dengan rasa tidak percaya. Seingatnya, dia dan Bramantyo telah berteman dari kecil dan tahu persis kalau Bramantyo tidak mempunya teman lain, apalagi dari kalangan rendahan. Nyambungnya dari mana?. "Dan gak mungkin hanya berteman saja, mas Bram seakan pindah rumah dan pindah kantor ke ruangan di mana perempuan hina itu dirawat. Di kelas VVIP tante?! Logikanya dimana?". Sisca mulai teriak. Raut wajah Anastasya berubah menggelap. Dia tidak berani menoleh kiri kanan, karena sudah yakin, semua orang yang berada di kantin tersebut sedang melihat mereka berdua. Anastasya berdiri dengan anggun, tanpa melepaskan tatapannya dari Sisca yang sedang ternganga melihat Anastasya tiba-tiba berdiri lalu sadar bahwa dia telah bersikap keterlaluan. "Tunggu kamu waras, baru kita bisa bicara lagi.". Nada datar Anastasya penuh penekanan. Anastasya memberi isyarat kepada para pengawal yang langsung mendekati Anastasya dengan langkah-langkah panjang. Sisca sungguh kaget, belum pernah ia melihat Anastasya dingin seperti itu. Sisca berdiri dan memohon, "Tante, maafkan Sisca emosi tante, Sisca khilaf tante.." Sambil meraih tangan Anastasya. Anastasya tidak memperdulikannya dan tidak menghentikan langkah. Tangan Sisca ditepis dan diraih oleh salah satu pengawal. Sisca menjadi semakin kesal. "Heh, jangan pegang-pegang. Lepasin. Siapa kamu? Lepasiin..". Sisca berteriak sambil berusaha melepaskan diri dari cengkraman kuat pengawal Anastasya. Sementara Anastasya menjauh bersama pengawal lain, menuju Lift terdekat. Sisca masih ditahan ditempat, sambil meronta-ronta. Lima orang security rumah sakit berdatangan dan mengangguk saat Anastasya memberikan isyarat. "Antarkan dia ke mobilnya". Perintah Anastasya. "Siap Bu.". Tegas security bersamaan, lalu berlari menuju Sisca yang masih dicengkram pengawal. "Heh.. Apa-apaan ini?". Seru Sisca saat dua security mengambil alih pegangan pengawal. "Mari kami antar ke mobil anda". Kata salah satu security sambil menarik tangan Sisca. "Kalian kurang ajar. Siapa kalian berani mengusir saya dari sini hah? kalian tidak tahu siapa saya? saya calon istri dari pemilik rumah sakit ini. Asal kalian tahu ya, saya bahkan bisa membeli nyawa-nyawa kalian!.". Sisca semakin berteriak kencang, sambil terus meronta-ronta untuk melepaskan diri. Mendadak langkah Anastasya berhenti. Hal ini nyaris membuat pengawal terdekat menabrak Anastasya. Tanpa menoleh Anastasya menampakkan wajah terkejut, namum sekejap kemudian, senyum tipis menghiasi sudut bibirnya. "Bravo my son. I am proud of you.". bathinnya. Anastasya dan rombongan masuk ke dalam lift, sebelum berbalik menghadap pintu lift, Anastasya mengenakan kaca mata hitam besar bermerk Hermes. Tampak begitu anggun, eksklusif, berwibawa dan kesan seksinya sangat kuat. Sisca Wardoyo, dengan rambut acak-acakan, pakaian mahalnya kusut masai, satu tangannya menjinjing sepasang high heels, tangan lainnya memukul-mukul mobilnya dengan putus asa. "Akan kubunuh perempuan laknat itu." Serunya berulang-ulang. Palmo, Supir yang setia mengantar Sisca kemanapun, dari sejak melihat Sisca setengah diseret para keamanan rumah sakit, kebingungan sampai kosong pikirannya, melihat bos besarnya diseret Security, apakah bos besarnya bukan seorang bos lagi? seingatnya, Sisca Wardoyo Putri kesayangan Lukman Wardoyo adalah konglomerat ke-8 di negri ini. Siapa yang berani mengganggu keluarga Wardoyo? apalagi putrinya? Alisha memperhatikan Bramantyo diam-diam. Sungguh dia bingung, siapa orang ini yang siang malam menungguinya seolah-olah ruangan pasien ini adalah rumahnya. Sementara Bramantyo sibuk dengan Laptopnya membaca beberapa laporan perusahaan dan memilah agenda, mana yang bisa dia lakukan, mana yang tidak. Bramantyo dikejutkan oleh suara yang terdengar merdu, samar-samar, agak serak tapi dia tahu pertanyaan di suara tersebut diperuntukkan padanya. "ehem, bagaimana dengan nenek saya?". Susah payah Alisha bertanya. Bramantyo menoleh dan terpana, wajah itu, dia pernah melihatnya, wajah yang memberikan perasaan sangat indah namun tidak sanggup ia kenang. Wajah yang pernah membuatnya jatuh cinta. Tapi kapan? Bramantyo tidak menemukan jawabannya. Bramantyo berdiri dan melangkah mendekati Alisha yang masih menatapnya dengan tajam dan sedikit perasaan tidak suka. Alisha sulit menyukai orang lain, karena hidupnya selalu dibuat susah oleh orang lain. "Saya menunggu kamu sadar untuk memberitahu perihal nenekmu. Apakah kamu sudah siap?". Tanya Bramantyo dengan lembut. "Siap apa? Kabar buruk?. Sergah Alisah dengan panik. "O bukan, bukan itu." Bantah Bramantyo yang langsung merasa menyesal karena telah salah kata pada Alisha. "Alisha, nenekmu koma sejak di Puskesmas dulu, setelah observasi ternyata ada pembuluh darah yang pecah di otaknya,". Bramantyo berusaha menjelaskan secara perlahan dengan nada yang tidak menimbulkan rasa takut. Namun Alisha semakin tegang seiring kata demi kata yang keluar dari mulut lelaki yang tidak dikenalnya itu. Kepalanya berangsur merasa pusing, tapi Alisha menekan rasa itu demi kabar selanjutnya. "Lalu?". Tanya Alisha, sambil menahan sakit. "Dokter-dokter ahli memutuskan untuk mengoperasi nenekmu, agar bisa menangani pecahnya pembuluh darah itu.". "Tapi untuk bisa ke tahap operasi, rumah sakit butuh tanda tangan persetujuan operasi dari anggota keluarga, yaitu, kamu." Bramantyo menjelaskan sesederhana mungkin dengan penuh kasib sayang. "Aku mau tanda tangan sekarang!. Eh tapi... aku gak bisa tanda tangan..". Seketika tangis Alisha pecah hampir meraung-raung. Bramantyo terkejut tidak mengerti dan bingung kenapa tiba-tiba Alisha menangis seperti itu? Bramantyo tidak berani mendekat, hanya menatap Alisha dengan iba. "Hiik, kalau nenek tidak dioperasi, apakah nenek akan meninggal? hik..". Alisha bertanya disela raungannya sehingga terdengar suara senggukannya menahan tangis. Bramantyo memberanikan diri mendekat sebelum menjawab. "Kalau km setuju, rumah sakit akan segera menjadwalkan operasinya, supaya nenekmu bisa sembuh.". Alisha tiba-tiba berhenti menangis. Dengan bola mata memerah dan penuh genangan air mata, Alisha menatap Bramantyo. "Tapi kami gak punya uang untuk biaya operasinya.". Alisha mengatakan yang sebenarnya. Bramantyo tersenyum lega. Jadi itu yang menyebabkan Alisha menangis seperti anak kecil? "Ah betapa lucunya dia". Gumam bathin Bramantyo. "Operasinya gratis, karena rumah sakit sedang mengadakan program amal, khusus untuk mereka yang sakit parah tapi terkendala biaya.". Bramantyo terpaksa berbohong. Karena dia tahu, akan sulit menjelaskan bahwa biaya operasi ditanggung olehnya, sementara neneknya Alisha butuh penanganan sesegera mungkin. "Su su su sungguh??!". Nyaris berteriak Alisha bertanya kepada Bramantyo mengabaikan sakit di kepalanya. Dengan tersenyum lembut Bramantyo mengangguk, "Iya, sungguh. Jadi kamu setujukah? kapan siap untuk tanda tangan berkasnya?". Tanya Bramantyo "Sekarang, sekarang..". Seru Alisha, bersemangat. Tapi detik berikutnya, Alisha terkulai lemas menutup mata, yang membuat Bramantyo panik ketakutan. "Alisha.. Alisha...". Seru Bramantyo sambil mengguncang lembut bahu Alisha. "Aku mau tanda tangan sekarang.". Lirih suara Alisha tanpa membuka matanya. "Sebentar aku ambilkan berkasnya." Jawab Bramantyo tergesa. "Tapi, apakah setelah operasi, nenek akan sembuh?". Alisha bertanya penuh keraguan. "Berdo'a saja, manusia berusaha, Tuhan yang tentukan hasil akhirnya." Bramantyo menjawab bimbang. "Hhh... Tuhan, Tuhan, apakah Tuhan benar-benar ada? apakah fungsi Tuhan didunia ini?" Batin Alisha dengan pedih. Matanya menatap Bramantyo dengan rasa syukur sekaligus penuh keraguan namun juga tersirat kesedihan. Dia tidak mengenal siapa sebenarnya orang ini, yang tiba-tiba hadir bagai Peri, membantunya, merawatnya, menemaninya siang malam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD