Tanggungjawab

1069 Words
“Cindy, mau lanjut kuliah ke mana?” Reyhan tetap tanggungjawab terhadap istrinya yang baru saja lulus SMA. Di ruang keluarga di kediaman orangtuanya Reyhan ingin memberikan fasilitas yang baik. Ya dia sudah menikah sekarang, tidak akan ada anak, tidak akan ada sentuh menyentuh sampai Cindy lulus kuliah. Itu janji Reyhan terhadap mamanya. Diana juga senang kalau Reyhan sedikit perhatian pada istrinya. “Kuliahnya barengan aja sama, Aisha.” “Tinggal di indeks bareng?” “Kakak ih, kalian kan suami istri. Masa sih aku tinggal sama Cindy? Nggak dong kak. Kakak yang harus tinggal sama dia. Aku tinggal sendiri.” Sela Aisha yang ingin melihat kakaknya tinggal bersama dengan Cindy. Sebenarnya dia mengharapkan keponakan. Jujur saja kalau dia senang memiliki ipar sebaik Cindy. Dan sekarang mereka bisa bertemu setiap hari dan berbagi cerita. Diana juga setuju dengan ucapan Aisha kali ini. “Kakak harus tinggal sama Cindy pokoknya.” “Reyhan, kamu kan punya apartemen. Kamu sama Cindy tinggal berdua dong. Kan kamu juga waktu itu udah pernah bilang kalau kamu ingin tinggal sama dia. Tapi ingat! Nggak boleh sentuh dan nggak boleh hamil dulu. Kamu kan udah janji kemarin malam sama mama tentang nunda punya anak.” Reyhan berdecih pelan. “Astaga, mama. Baiklah aku tinggal sama dia, biar mama puas.” “Papa juga puas, Reyhan. Laki-laki sejati itu tinggal sama istrinya. Terus harus tanggung jawab sama istrinya.” “Iya terserah kalian.” Padahal dia memang berencana ingin tinggal berdua saja dengan Cindy agar orangtuanya tidak terlalu ikut campur terhadap rumah tangganya. Tapi mengingat Cindy yang akan mendaftar di perguruan tinggi, ia harus membiarkan Cindy mengejar masa depannya. “Jurusan yang kamu mau apa?” “Aku coba lewat jalur beasiswa kak. Aku mau ambil kedokteran.” Kedokteran? Adalah jurusan yang memang cukup sulit juga dan membutuhkan konsentrasi yang baik. “Yakin?” “Iya kak, aku serius.” “Ya udah. Kalau memang kamu maunya itu, terus nanti nggak lulus lewat beasiswa. Nggak masalah. Kamu masuk aja di jurusan itu, aku yang tanggung.” “Uh anak Mama, gitu dong sama istri sendiri.” “Apaan sih, Ma? Cuman tanggungjawab aja kok.” “Ya memang harus gitu.” Sindir Afnan pada anak tertuanya. Yang sebenarnya mereka sudah menghadapkan cucu di rumah ini. Tapi mengingat yang menikah sekarang ini bukanlah Mona, melainkan adik dari perempuan itu. Namun sekarang mereka lebih bersyukur kalau Cindy adalah orang yang cukup baik di rumah ini. Dia akan mengejarkan pekerjaan rumah tanpa disuruh. Bagi Reyhan, menikah masih dalam pengecualian dalam dirinya. Karena sudah terlanjur, mau tidak mau dia harus bisa menyesuaikan diri. “Jadi kapan kamu ajak Cindy tinggal bareng sama kamu?” “Secepatnya, Pa. Tunggu saja.” “Ya sudah, ingat tanggungjawab kamu sebaik mungkin, Reyhan. Papa nggak mau kamu lepas dari tanggungjawab setelah ini.” “Papa nggak usah ragu.” Afnan melirik ke arah menantunya yang sangat murah senyum. “Cindy beneran mau jadi dokter?” “Iya, Pa. Memang keinginan aku.” “Cindy pinter, Pa. Jadi di sekolah kan selalu juara, terus kalau mau ambil kedokteran aku rasa oke juga.” Jawab Aisha ikut nimbrung di pembicaraan mereka. “Tapi jangan isi dulu lah, nggak apa-apa kan pakai KB dulu, Ma?” “Nggak usah, nanti malah lama. Kakak kamu dong yang harus kontrol diri.” Reyhan menatap mamanya tidak suka. Siapa juga yang mau menyentuh Cindy. “Apanya, Ma?” “Kontrol diri, jangan di dalam.” Merasa semua orang yang ada di sini sudah dewasa. Jadi mamanya tidak takut lagi bicara seperti itu. “Haaaaah?” “Udah nggak usah hah huh segala. Mama cuman mikirin kamu, Reyhan. Apa kamu bisa nggak bikin Cindy hamil dulu?” “Tergantung.” “Mama udah bilang sama kamu jangan sentuh dulu. Kan masih muda.” “Biarin aja, Ma. Toh udah sah kok.” Jawab Afnan menengah karena tidak yakin jika Reyhan bisa tahan selama empat tahun lebih untuk tidak menyentuh Cindy. Cindy itu polos-polos tapi manis, Afnan malah suka melihat menantunya sering salah tingkah ketika berhadapan dengan Reyhan. Ia gemas melihat Cindy kalau berusaha menghindari Reyhan setiap mereka berpapasan. “Bikin keponakan aja, Kak. Kan seru nanti ada yang nangis di sini. Aku bisa bantuin kok buat jaga.” “Nggak.” “Sekarang bilang nggak. Nanti malah kelolosan lho. Terus tiba-tiba aja Cindy hamil, tahu rasa.” Afnan memberi kode pada putrinya yang juga setuju dengan ucapannya Aisha. “Papa setuju kalau yang ini. Mungkin nanti kamu juga bakalan lakukan hal yang sama kayak gitu, Reyhan. Tiba-tiba Cindy hamil, kan?” “Cindy masih belum mau, Pa.” Jawabnya tiba-tiba. “Pengen kuliah dulu. Pengen kejar cita-cita biar bisa jadi dokter beneran. Cindy pengen wujudin cita-cita biar nggak jadi beban orangtua.” Mereka semua langsung terdiam tanpa ada yang membahas mengenai anak lagi. Reyhan pun demikian, dia tidak menjawab apa-apa. “Soal Mona, Mama harap kamu bisa ikhlasin dia, Reyhan. Mama nggak mau nanti tiba-tiba di tengah pernikahan kalian dia ada. Mama nggak mau bikin Cindy kecewa. Karena kalian juga sudah sah menjadi suami istri meski siri. Tapi suatu saat nanti, Mama harap kamu juga bikin buku nikah, Reyhan.” Reyhan tidak menjawab karena masih belum mengerti ke mana arah pernikahan ini. Apakah nanti dia akan melanjutkan atau akan menyudahi. Sedangkan orangtuanya sangat mengharamkan yang namanya perceraian. “Aku pikirkan nanti, Ma.” “Ya udah kalian tidur aja. Cindy juga nggak usah sekamar lagi sama, Aisha. Sudah punya suami kan sekarang. Harus tidur sama suami.” Gadis itu mengangguk pelan tanpa protes apa-apa lagi pada mamanya Reyhan. “Reyhan, bagi tempat tidur juga untuk, Cindy.” “Iya, Ma.” “Ya udah sana istirahat!” Mereka berdua ke kamar dan nampak kamar Reyhan cukup luas dan juga sangat bersih. Ada barang-barang tertata rapi juga yang ada di atas meja. “Jangan sentuh apa pun!” “Iya kak.” Mereka tidur di kamar yang sama. Tapi dengan pembatas bantal guling yang ada di tengah. Reyhan sebenarnya terpaksa karena mamanya. Saat suaminya sudah terlelap, Cindy menyadari kalau pria ini lebih tenang ketika sedang tertidur. Buktinya Reyhan terlelap sambil memeluk guling yang ada disebelah. Cindy sebenarnya tidak pernah mau menikah muda, tapi paksaan dari orangtuanya memaksa dia untuk menggantikan kakaknya. Tapi merasa lebih baik usai keluar dari rumah itu karena tidak akan disiksa lagi oleh kedua orangtuanya. Dimarahi setiap hari jika rumah tidak dibersihkan. Seolah dia adalah pembantu di rumahnya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD