Pindah Sekolah

1255 Words
"Nayla itu bukan anaknya Bagas atau Danu, tapi anaknya lurah lama. Ningsih waktu itu diperkosa, makanya lurah itu masih dipenjara sampe sekarang." Ucapan itu terus terngiang-ngiang di telinga Nayla. Ia menutup mata rapat-rapat menekan perasaannya yang tersayat pilu, ia sangat sedih mengetahui kenyataan bahwa dirinya tidak semulia yang ia bayangkan. Meski ucapan itu hanya bisik-bisik sumbang beberapa orang di desanya, tapi hal itu justru membuatnya semakin yakin bahwa di belakang mereka tengah membicarakan dirinya. Dia memang tahu jika Bagas bukan ayah kandungnya, tapi dia tidak pernah mengetahui tentang asal usul kehidupannya, kedua orang tuanya menutup dengan rapat, tak pernah sekali pun ia mendengar mereka menceritakan hal itu kepadanya. "Mau masuk organisasi kesiswaan apa?" Suara seorang wanita di hadapannya membuat Nayla tersentak. Ia kini menyadari sedang berada di ruang tata usaha sekolah barunya. Seminggu yang lalu ia sudah resmi pindah dari sekolah lama di daerah asalnya. "Rohis," jawab Nayla mantap. Ia lupa mencentang bagian itu saat mengisi formulir tadi. "Baik. Kamu masuk kelas sepuluh IPA-2. Kamu bisa ikuti petanya di sini." Wanita itu mengangsurkan sebuah dokumen yang cukup tebal, di bagian atasnya terdapat sebuah kertas berisi peta SMA Bina Karya. "Seragam baru kamu sebentar baru datang, kamu bisa ambil di sini saat jam istirahat," ucap wanita itu lagi. "Terima kasih, Bu," ucap Nayla sambil tersenyum. "Ingat ya, aturan di sini sangat ketat. Kamu harus pelajari semuanya supaya bisa beradaptasi," pesan wanita itu dengan senyum ramah sebelum Nayla beranjak dari kursinya. Nayla meninggalkan ruang tata usaha setelah menyelesaikan urusannya. Ia akan mencari sendiri letak kelasnya, tidak akan sulit menemukannya dengan peta yang sangat lengkap di tangannya itu. Ia singgah sejenak di toilet umum yang terletak di ujung bangunan tata usaha. Bersih. Kesan pertama yang sangat menyenangkan. Ia mendekati cermin, lalu merapikan jilbabnya yang terjulur hingga pinggang. Ia memandang pantulan wajahnya di cermin, memang wajah ibunya banyak tercetak pada wajahnya, hanya bola matanya yang sedikit sipit dan bibirnya yang memiliki lekukan tajam yang membedakan. Ia memang belum pernah melihat seperti apa ayah biologisnya dan tidak akan pernah mau tahu seperti apa dia! Setelah puas menatap cermin, ia keluar toilet dan kembali melanjutkan perjalanan mencari ruang kelasnya. Ia sengaja mengurus kepindahannya seorang diri, tidak mengizinkan orang tuanya membantu atau menemaninya. Ia harus mandiri, tidak boleh terus bergantung pada orang tuanya, apalagi Bagas, ayah tiri yang telah ia anggap seperti ayah kandungnya sendiri. "Mi, Nayla mau pindah sekolah ke Balikpapan, di sana pendidikan lebih mendukung buat masa depan aku," ucap Nayla waktu meminta izin untuk pindah. Meski awalnya orang tua menolak keinginannya, tapi pada akhirnya mereka setuju juga. Apalagi pusat bisnis mereka juga ada di kota ini, jadi Nayla tidak akan terlepas dari pengawasan orang tuanya. Brugh! Karena melamun, Nayla menabrak seseorang di depan perpustakaan. Tumpukkan buku-buku yang sedang dibawa oleh orang tersebut terjatuh berhamburan. Cepat-cepat Nayla turut berjongkok memunguti buku-buku yang berserakan itu, lalu menyerahkan pada pemiliknya. Tatapan mata mereka beradu beberapa saat ketika menyerahkan buku di tangannya, lalu cepat-cepat ia menunduk begitu menyadari pemilik mata itu seorang pemuda tampan. "Maaf, aku buru-buru, malah nabrak kamu," ucap Nayla dengan nada takut-takut. "Iya, tidak apa-apa," jawabnya singkat, lalu pergi meninggalkan Nayla begitu saja setelah bukunya terkumpul kembali di tangan. Nayla menghembuskan napas lega, ia sudah khawatir jika pemuda itu akan marah karena membuat buku-bukunya berantakan. Ia kembali meneruskan langkahnya menuju ruangan yang terletak paling ujung, di seberang koridor perpustakaan. Sekolah itu sangat luas, bangunannya bahkan berlantai lima. Di sekolahnya dulu, meski luas tapi tidak seluas sekolah ini, juga bangunannya tidak setinggi itu, hanya dua tingkat. Dulu ia sekolah di sebuah yayasan Islam sehingga tidak perlu khawatir akan bertemu --apalagi bertabrakan-- dengan murid laki-laki. Ia menghentikan langkahnya di depan kelas yang tertulis X-IPA-2. Ini awal semester dua, tentu pelajaran baru akan dimulai. Ia menghela napas sejenak, menetralisir hatinya yang menjadi panik tidak karuan. Bertemu teman-teman baru dengan latar belakang berbeda membuatnya sedikit gugup. Ia berharap dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Dengan prestasinya sebagai lulusan terbaik SMP se-kota Palu dan juara umum semester satu di SMA asalnya tidak sulit bagi Nayla untuk bisa masuk ke sekolah unggulan kota Balikpapan ini, tapi tetap saja rasa gugup menghadapi suasana baru menghinggapi hatinya. "Permisi," ucapnya sambil mengetuk pintu. Sekarang jam pelajaran sudah dimulai, apakah ia diperbolehkan masuk? Suara di dalam kelas terhenti, berganti sebuah seruan tegas, "Masuk!" Dengan ragu Nayla memutar gagang pintu dan membuka dengan perlahan. Ia tersenyum pada seorang wanita yang sedang berdiri di depan kelas, mungkin sedang mengajar. "Maaf, saya murid baru. Baru masuk hari ini," ucap Nayla memperkenalkan diri. Guru wanita itu menatap Nayla dengan tajam, ia menurunkan kacamatanya memindai Nayla dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Murid baru? Baiklah, siapa namamu?" tanya guru wanita itu. "Nayla Azzura," jawabnya. "Baiklah, Nayla, karena kamu murid baru silakan cari tempat duduk dan ikut pelajaran saya. Berikutnya tidak boleh lagi terlambat!" ucap guru itu dengan tegas. Nayla mengangguk, lalu menghembuskan napas lega. Ia melangkah ke barisan kursi-kursi yang telah terisi penuh oleh para siswa sambil mengedarkan pandangannya, tampak seorang gadis dengan rambut bergelombang melambaikan tangan, lalu mengisyaratkan agar ia duduk di sebelahnya. Nayla berjalan menuju tempat duduk yang ditunjukan gadis itu, lalu duduk di sebuah yang tersedia. Gadis itu tersenyum ramah padanya. "Hai, Nayla, aku Chaca," ucapnya memperkenalkan diri dengan suara rendah. Nayla menyambut uluran tangannya dan membalas senyumnya. "Itu bu guru Melda, guru Kewarganegaraan." Nayla mengangguk mengerti, berarti pelajaran pertamanya hari itu adalah tentang Kewarganegaraan, salah satu pelajaran yang ia tidak sukai. Bel panjang berbunyi menandakan waktu istirahat tiba. Wajah-wajah para siswa di kelas itu tampak lega, termasuk Nayla. Ia segera membereskan buku pelajarannya, lalu berniat hendak keluar kelas, tapi Chaca kembali mengajaknya bicara. "Kamu dari sekolah mana?" tanya Chaca penasaran. Beberapa siswa dan siswi turut bergabung dengan wajah-wajah penasaran. "Di kelas kita baru kali ini ada siswa baru, kelas lain udah dapat semua," celetuk yang lain. "Dari SMA Islam Terpadu di luar kota, jauh dari sini," jawab Nayla sedapatnya. "Kota Palu." "Oh, jauh. Kenapa pindah ke sini?" Nayla mengangkat bahu, karena sebenarnya ia memang tidak bisa mengatakan alasannya pindah sekolah. "Ikut orang tua." "Maaf, aku mau ke tata usaha dulu, mau ambil seragam," ucap Nayla pamit. "Kamu udah punya jadwal pelajaran di kelas kita? Kalo belum ambil ini, kamu bisa baca-baca," ucap Chaca menyerahkan selembar kertas berisi jadwal pelajaran. Dengan senyum termanis Nayla menerimanya, lalu berpamitan sekali lagi pada teman-teman barunya untuk kembali ke ruang tata usaha. *** Nayla memilih untuk mencari tempat menyendiri yang nyaman ketika waktu istirahat kedua tiba. Ia sedang malas berbicara dengan siapa pun, karena semua orang pasti akan menanyakan asal usulnya. Semua pertanyaan itu membuatnya tidak nyaman. Bahkan ia melupakan rasa laparnya, keinginannya hanyalah menyendiri, merenungi semua yang terjadi dalam hidupnya. Ia berjalan mengikuti koridor panjang hingga ke belakang sekolah. Semua tempat di sekolah itu di desain dengan indah, bahkan hingga ke belakang sekolah semua tempat nyaris penuh berisi dengan para siswa. Ia melihat sebuah jalan setapak di antara rerimbunan pohon dan bunga-bunga, juga sebagiannya masih berupa semak-semak. Pasti di sana tidak ada orang! Nayla berbelok ke tempat itu. Ia sudah terbiasa dengan rumput dan semak di desanya, bukan hal baru atau menakutkan. Ternyata jalan setapak itu membawanya sampai di depan gerbang belakang sekolah. Gerbang itu sudah tua dan karatan, tapi ada sedikit celah terbuka menandakan ada seseorang yang baru saja melewatinya. "Mati kamu sekarang juga!" Terdengar seruan seseorang dari luar pagar. "Tolong, jangan, tolong." Suara satu lagi terdengar lemah dan sepertinya sangat kesakitan. Bersambung... ***WF*** Terima kasih... Ketemu lagi di karya kedua aku, semoga suka... Jangan lupa tap LOVE dan FOLLOW akun aku ya... Mau kepo akun medsos aku, bisa ke sss dan Ig @winafaathimah Hehehe...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD